Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Alfino Hatta
Ilustrasi seorang prajurit militer dengan seragam lengkap, berdiri dengan latar belakang yang dramatis. Gambar ini menangkap esensi kedisiplinan, kekuatan, dan kesiapan tempur seorang tentara dalam menjalankan tugasnya. (unsplash.com/@mufidpwt)

Akhir-akhir ini, wacana tentang penempatan militer aktif di lembaga sipil menjadi sorotan publik di Indonesia. Hal ini terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang mengatur kemungkinan perluasan keterlibatan prajurit TNI aktif dalam berbagai jabatan di kementerian dan lembaga sipil.

Dalam RUU ini, jumlah posisi sipil yang dapat dijabat oleh militer aktif bertambah dari 10 menjadi 16 lembaga. Perubahan ini memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat, akademisi, hingga aktivis hak asasi manusia.

Latar Belakang dan Alasan Revisi UU TNI

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bahwa revisi UU TNI ini didasarkan pada kebutuhan strategis untuk meningkatkan sinergi antara instansi pemerintah dan TNI.

Salah satu alasan utamanya adalah untuk memperkuat pengelolaan isu-isu keamanan nasional, seperti ancaman siber, terorisme, dan pelanggaran kedaulatan wilayah.

Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, penempatan tentara aktif di 16 kementerian/lembaga sipil dirancang sesuai perkembangan zaman, di mana tantangan keamanan semakin kompleks dan memerlukan pendekatan lintas sektor.

Selain itu, Panitia Kerja (Panja) RUU TNI di DPR juga menyetujui penambahan jabatan sipil yang dapat diisi oleh militer aktif karena pertimbangan efisiensi dan profesionalisme.

Beberapa posisi yang diusulkan meliputi Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Namun demikian, usulan ini menuai kritik tajam, terutama dari organisasi non-profit seperti Transparency International Indonesia (TII) dan Imparsial, yang khawatir akan potensi pelemahan supremasi sipil dan independensi lembaga hukum jika militer aktif ditempatkan di posisi strategis.

Menurut laporan Transparency International Indonesia (TII) dalam Indeks Persepsi Korupsi 2022, rendahnya independensi lembaga peradilan sering kali dipengaruhi oleh intervensi eksternal, termasuk dari pihak militer.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penempatan militer aktif di lembaga sipil dapat memperburuk persepsi publik terhadap transparansi dan akuntabilitas sistem hukum.

Contoh Nyata: Penempatan Militer Aktif di Kejaksaan Agung

Salah satu contoh nyata yang menjadi sorotan adalah rencana penempatan militer aktif di Kejaksaan Agung, sebuah lembaga yang seharusnya independen dan bebas dari intervensi eksternal.

Pada tahun 2022, seorang mantan perwira tinggi TNI aktif ditunjuk sebagai Jaksa Agung Muda (JAM) di Kejaksaan Agung. Meskipun penunjukan ini disebut-sebut sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalisme dalam penegakan hukum, banyak pihak merasa bahwa hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan.

Menurut laporan dari Komisi Yudisial Republik Indonesia (KYRI), ada indikasi bahwa beberapa keputusan hukum yang diambil selama masa jabatan tersebut cenderung condong mendukung kebijakan pemerintah pusat.

Misalnya, kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi militer atau anggota keluarga dekat pejabat negara sering kali tidak diproses secara transparan atau bahkan dihentikan tanpa penjelasan yang jelas.

Hal ini memicu spekulasi bahwa hierarki komando militer, yang bersifat vertikal dan mutlak, memengaruhi keputusan hukum yang seharusnya independen.

Sebagai contoh konkret, kasus korupsi pengadaan alat pertahanan yang melibatkan seorang perwira tinggi TNI pada tahun 2021 sempat menjadi sorotan media.

Penyidikan kasus ini dilaporkan mandek setelah seorang pejabat militer aktif ditempatkan di posisi strategis di Kejaksaan Agung. Meskipun tidak ada bukti langsung bahwa penempatan tersebut memengaruhi proses hukum, publik mulai mempertanyakan independensi lembaga tersebut.

Laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyoroti bahwa penempatan militer aktif di institusi hukum dapat menciptakan persepsi bahwa hukum hanya berpihak pada kelompok tertentu, yang pada akhirnya merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Kasus Dwifungsi ABRI: Pelajaran dari Masa Lalu

Untuk memahami risiko penempatan militer aktif di lembaga sipil, penting untuk melihat contoh nyata dari masa lalu, yaitu dwifungsi ABRI pada era Orde Baru.

Dwifungsi adalah doktrin yang memungkinkan militer tidak hanya bertugas sebagai alat pertahanan negara tetapi juga terlibat langsung dalam politik dan administrasi sipil.

Salah satu contoh paling mencolok adalah penempatan perwira militer aktif di kursi legislatif, seperti DPR dan MPR, yang memberikan mereka kekuasaan besar dalam pembuatan kebijakan publik.

Contoh nyata dari dampak dwifungsi adalah kasus pemberantasan gerakan separatis di Aceh dan Papua pada tahun 1980-an. Militer tidak hanya bertindak sebagai aparat keamanan tetapi juga mengambil alih fungsi pemerintahan lokal, termasuk pengelolaan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Akibatnya, muncul ketegangan sosial-politik yang berkepanjangan, serta pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis.

Setelah reformasi 1998, dwifungsi ABRI resmi dihapuskan, dan militer diminta untuk fokus pada tugas pertahanan negara. Namun, wacana RUU TNI yang memperluas keterlibatan militer aktif di lembaga sipil dinilai sebagai langkah mundur yang berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi tersebut.

Organisasi non-profit seperti Imparsial telah menyuarakan keprihatinan mereka dalam laporan berjudul “The Risk of Civil-Military Relations in Indonesia”, yang menyoroti bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil dapat menciptakan ketegangan sosial-politik dan merusak stabilitas negara.

Potensi Bahaya: Mengaburnya Batas Sipil-Militer

Salah satu kekhawatiran utama terkait RUU TNI ini adalah risiko hilangnya independensi lembaga sipil. Dalam sistem demokrasi modern, lembaga sipil harus sepenuhnya independen, bebas dari intervensi militer atau kekuasaan lainnya.

Namun, jika militer aktif ditempatkan di posisi strategis seperti Kejaksaan Agung, ada potensi bahwa keputusan hukum tidak lagi didasarkan pada prinsip keadilan, melainkan dipengaruhi oleh hierarki komando militer.

Sebagai tambahan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia masih relatif rendah, dengan angka rata-rata hanya mencapai 45% dalam beberapa tahun terakhir.

Hal tersebut menunjukkan urgensi untuk memperbaiki citra dan integritas lembaga peradilan, bukan malah melemahkannya dengan menempatkan figur militer aktif di posisi strategis.

Kritik Publik dan Respons Pemerintah

Kritik terhadap RUU TNI ini tidak hanya datang dari organisasi masyarakat sipil, tetapi juga dari tokoh-tokoh nasional. Sejumlah petisi telah diluncurkan untuk menolak rencana ini, salah satunya adalah petisi "Tolak Kembalinya Dwifungsi ABRI," yang menyerukan agar pemerintah tidak mengembalikan praktik dwifungsi yang pernah merusak sistem demokrasi Indonesia.

Para aktivis menegaskan bahwa perluasan keterlibatan militer aktif dalam jabatan sipil dapat menciptakan konflik kepentingan dan merusak prinsip negara hukum.

Di sisi lain, pemerintah berusaha meredam kekhawatiran tersebut dengan menjanjikan adanya batasan yang jelas terkait tanggung jawab dan kewajiban prajurit TNI selama bertugas di instansi sipil.

Dalam RUU TNI, disebutkan bahwa penempatan militer aktif di lembaga sipil akan diatur secara ketat, termasuk melalui mekanisme pengawasan yang transparan. Namun, banyak pihak skeptis apakah mekanisme ini akan benar-benar efektif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Prospek ke Depan: Perlukah Reformasi?

Polemik seputar RUU TNI ini menunjukkan perlunya reformasi yang lebih mendalam dalam hubungan sipil-militer di Indonesia.

Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa penempatan militer aktif di lembaga sipil tidak akan mengganggu independensi dan profesionalisme lembaga tersebut.

Kedua, perlu ada evaluasi menyeluruh terkait dampak sosial-politik dari kebijakan ini, termasuk risiko terhadap demokrasi dan supremasi hukum.

Para ahli menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan strategis nasional tanpa harus melibatkan militer aktif secara langsung.

Misalnya, pemerintah dapat memperkuat kerja sama lintas lembaga melalui mekanisme koordinasi yang lebih formal dan transparan, tanpa harus menempatkan prajurit TNI aktif di posisi sipil.

Selain itu, reformasi internal TNI juga perlu dipercepat untuk memastikan bahwa mereka tetap fokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.

Menurut United Nations Development Programme (UNDP), negara-negara yang berhasil membangun sistem demokrasi yang kuat adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara supremasi sipil dan profesionalisme militer.

Oleh karena itu, Indonesia harus belajar dari pengalaman global untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak merusak prinsip-prinsip demokrasi yang telah dibangun selama ini.

Revisi UU TNI yang memperluas keterlibatan militer aktif dalam jabatan sipil merupakan langkah yang kontroversial dan sarat dengan risiko.

Contoh nyata, seperti penempatan militer aktif di Kejaksaan Agung dan praktik dwifungsi ABRI pada masa lalu, menunjukkan bahwa langkah ini berpotensi mengaburkan batas antara sipil dan militer, melemahkan supremasi sipil, serta merusak independensi lembaga hukum.

Oleh karena itu, semua pihak harus berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait RUU TNI ini. Reformasi yang inklusif dan partisipatif harus menjadi prioritas utama untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak merugikan prinsip demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.

Alfino Hatta