Belakangan ini, istilah "Quiet Quitting" sering kali terdengar dalam dunia kerja. Fenomena ini merujuk pada sikap di mana seorang karyawan hanya melakukan tugas yang ada di dalam deskripsi pekerjaannya, tanpa lebih jauh berusaha untuk melibatkan diri atau menunjukkan inisiatif ekstra di luar kewajibannya. Dengan kata lain, mereka hanya "mengambil gaji" sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak, tanpa berkomitmen lebih dari itu.
Meskipun istilah ini baru populer, fenomena "Quiet Quitting" sebenarnya bukan hal yang baru terjadi. Fenomena ini telah terjadi sejak lama dan biasanya muncul sebagai respons terhadap tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi dan tidak adanya work-life balance. Sebagian orang merasa lelah, tertekan, atau bahkan dibakar habis karena pekerjaan mereka, sehingga mereka memilih untuk menarik diri dan hanya menyelesaikan tugas yang memang wajib dilakukan.
Dilansir dari Paychex (14/05/2024), oleh Heather Whitney yang merupakan HR Coach di Paychex, istilah "Quiet Quitting" merujuk pada karyawan yang secara diam-diam melepaskan diri dari peran mereka untuk waktu yang lama sebelum akhirnya meninggalkan posisi mereka. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah "silent quitting", "silent resignation", "soft quitting", dan "quiet resignation".
Mengapa Fenomena Ini Bisa Terjadi?
Quiet quitting banyak terjadi karena adanya ketidakseimbangan yang dirasakan karyawan. Banyak pekerja yang merasa bahwa meskipun mereka telah memberikan dedikasi dan usaha yang lebih dari tanggung jawab utama, hal tersebut tidak diimbangi dengan penghargaan yang layak, baik secara finansial maupun dalam bentuk pengakuan, promosi, atau kesempatan berkembang.
Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan perasaan tidak dihargai dan menurunkan motivasi kerja. Di sisi lain, perubahan pandangan generasi terhadap dunia kerja juga berpengaruh. Generasi muda, khususnya milenial dan Gen Z, semakin menyadari pentingnya work-life balance an kesehatan mental. Hal ini menyebabkan mereka lebih berani untuk menarik batasan yang jelas dan menolak budaya hustle yang menormalisasi kerja lembur tanpa kompensasi tambahan.
Fenomena quiet quitting juga diperkuat oleh kondisi kerja yang tidak sehat, seperti kurangnya dukungan dari atasan, budaya toxic, komunikasi yang tidak efektif, serta ketidakjelasan dalam pengembangan karir.
Ketika karyawan merasa suara mereka tidak didengar, aspirasi mereka diabaikan, dan kontribusi mereka tidak diakui, karyawan cenderung memilih untuk bertahan di pekerjaan hanya sebatas menjalankan tugas pokok. Meskipun secara formal mereka masih bekerja, keterlibatan emosional dan loyalitas mereka terhadap organisasi mulai memudar.
Dampak Quiet Quitting
Dampak dari quiet quitting cukup signifikan, baik bagi individu maupun organisasi. Bagi individu, meskipun quiet quitting dapat menjadi mekanisme perlindungan diri dalam menjaga keseimbangan hidup, dalam jangka panjang hal ini bisa menimbulkan rasa tidak puas terhadap pekerjaan, hilangnya semangat, dan berkurangnya rasa memiliki terhadap organisasi.
Kurangnya keterlibatan emosional juga bisa menghambat pengembangan diri dan mengurangi peluang untuk mendapatkan promosi atau peningkatan karier karena karyawan cenderung tidak menonjol dalam kontribusi maupun inisiatif.
Sementara itu, dari sisi organisasi, quiet quitting dapat menurunkan produktivitas secara keseluruhan. Ketika banyak karyawan hanya bekerja sesuai deskripsi tugas tanpa inisiatif atau kontribusi tambahan, hal ini akan memperlambat proses kerja, mengurangi inovasi, dan menurunkan daya saing perusahaan.
Selain itu, hal ini juga bisa membebani karyawan lain yang masih aktif terlibat secara penuh, sehingga menciptakan ketimpangan dalam beban kerja dan bisa memicu konflik internal atau bahkan memperluas fenomena quiet quitting.
Quiet quitting menjadi semacam bentuk protes pasif terhadap sistem kerja yang dianggap tidak adil dan tidak manusiawi. Dengan membatasi diri dan waktu mereka hanya untuk tugas yang diperlukan, karyawan berupaya melindungi diri dari kelelahan emosional dan burnout. Fenomena ini menunjukkan bahwa penting bagi organisasi untuk lebih memperhatikan kesejahteraan karyawan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Mind Hack Mahasiswa: Cara Otak Mengubah Stres Jadi Tenaga Positif
-
Tubuh Tak Pernah Lupa: Bagaimana Trauma Tinggalkan Luka Biologis
-
Generasi Z dan Karier Tanpa Tali: Kenapa Job-Hopping Jadi Strategi?
-
Bukan Sekadar Omon-Omon: Kiprah Menkeu Purbaya di Ekonomi Indonesia
Artikel Terkait
-
Banyak Lulusan Gen Z Menganggur, Sistem Pendidikan Dipertanyakan
-
Aplikasi Kencan, Solusi Baru Gen Z Atasi Kesepian?
-
Perjalanan Menemukan Kebahagiaan dalam Ulasan Novel The Burnout
-
Urbanisasi Pasca Lebaran, Masih Relevankah?
-
Fenomena Langka: Wanita 66 Tahun di Jerman Melahirkan Anak ke-10 Tanpa Bantuan IVF
Kolom
-
Whoosh: Antara Kebanggaan Nasional dan Tuduhan Mark-Up
-
Delman di Tengah Asap Kota: Romantisme yang Menyembunyikan Penderitaan
-
Satu Tahun Prabowo Gibran: Antara Kepuasan Publik dan Kegelisahan Kolektif
-
Boleh Cuti Haid, Asal Ada Bukti: Kenapa Hak Perempuan Harus Diverifikasi?
-
Ketika Laki-Laki Takut Sama Perempuan Sukses: Fenomena Men Marry Down
Terkini
-
Jelang FIFA Matchday November, Jabatan Pelatih 3 Negara ASEAN Ini Masih Lowong! Mana Saja?
-
15 SMK Siap Melaju ke Final Olimpiade Jaringan MikroTik 2025 di Yogyakarta
-
Sama-Sama Dipecat Sepihak, Lebih Mending Mana Nasib Masatada Ishii dan STY?
-
Kenapa Doa Tak Dikabulkan? Jawaban Habib Umar Bikin Banyak Orang Tersadar
-
Sandra Dewi Mau Harta Pribadinya Kembali, Alkitab Ingatkan Soal Integritas