Setiap tanggal kembar seperti 7.7, 8.8, hingga puncaknya pada 11.11 dan 12.12, masyarakat Indonesia kini telah “dipanggil” untuk merayakan sesuatu yang bukan lagi hari besar nasional, tetapi pesta belanja massal. Platform e-commerce berlomba-lomba memajang hitungan mundur, diskon bombastis, dan kuota flash sale yang menggiurkan.
Namun, di balik kemeriahan visual dan narasi “penawaran terbatas”, tersembunyi sebuah pola konsumsi yang dibentuk secara sistematis dan membuat banyak orang berbelanja bukan karena perlu, melainkan karena takut ketinggalan. Masalahnya bukan sekadar uang yang habis, tetapi kesadaran yang terkikis.
Bagaimana promosi yang awalnya sekadar strategi penjualan kini telah menjelma menjadi bagian dari budaya populer yang dirayakan secara kolektif?
Di sinilah diskusi menarik terbuka, apakah kita sedang menikmati manfaat dari e-commerce, atau tanpa sadar sedang dijinakkan menjadi konsumen pasif dalam sistem kapitalistik yang lihai membungkus kebutuhan palsu sebagai kebahagiaan instan?
Budaya Diskon dan Ketergantungan Emosional
Promosi tanggal kembar bukan sekadar menawarkan harga murah, tapi juga membangun atmosfer emosional, yakni siapa cepat dia dapat, siapa lambat kehabisan. Logika ini mendorong seseorang untuk bertindak impulsif, bukan berdasarkan kebutuhan, tetapi berdasarkan dorongan emosional sesaat.
Tindakan konsumsi tidak lagi rasional, melainkan menjadi reaksi terhadap rasa takut tertinggal (FOMO atau fear of missing out) yang ditanamkan lewat iklan, notifikasi aplikasi, hingga influencer yang “ikut checkout”.
Hal ini diperkuat dengan permainan visual dan pengalaman aplikasi keranjang belanja yang berisi produk dengan label “stok tinggal 3!”, atau “diskon berakhir dalam 2 jam” menciptakan tekanan psikologis tersendiri.
Konsumen seperti dilatih untuk berpikir cepat, bukan berpikir bijak. Konsumsi pun bergeser dari aktivitas sadar menjadi kebiasaan tanpa kendali.
Perayaan yang Diciptakan, Bukan Dilahirkan
Tanggal kembar adalah simbol yang diciptakan, bukan bagian dari budaya atau peristiwa historis. Namun lewat narasi yang terus dibangun dari tahun ke tahun, ia kini mendapat tempat istimewa layaknya momen perayaan.
Perusahaan menyulap tanggal biasa menjadi festival digital, lengkap dengan countdown, jingle, dan euforia kolektif. Ini bukan lagi tentang menjual produk, tapi menjual momen yang dirancang untuk dirayakan bersama.
Efeknya, masyarakat merasa ada “kewajiban” untuk ikut berpartisipasi. Mereka tidak ingin menjadi satu-satunya yang tidak membeli sesuatu saat semua orang berbagi tangkapan layar transaksi dan paket yang datang. Tanggal-tanggal ini pun menjadi agenda tetap, bahkan kadang lebih dinanti daripada hari besar keagamaan atau nasional.
Literasi Keuangan di Tengah Euforia Konsumtif
Salah satu kekhawatiran terbesar dari fenomena ini adalah minimnya kesadaran finansial di kalangan konsumen, terutama generasi muda.
Banyak orang belum memiliki pemahaman dasar tentang pengelolaan uang, budgeting, atau membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Akibatnya, gaji baru masuk pun langsung tersedot ke akun marketplace karena iming-iming potongan harga dan cashback.
Dalam jangka panjang, kebiasaan konsumtif ini bisa berdampak pada kestabilan keuangan individu. Tanpa kontrol dan pemahaman literasi keuangan yang memadai, seseorang bisa terjebak dalam siklus "beli sekarang, menyesal nanti", atau bahkan berutang demi memenuhi hasrat konsumsi.
Ironisnya, perayaan belanja yang semestinya memberi keuntungan justru bisa menimbulkan masalah finansial yang berkepanjangan.
Promosi tanggal kembar bukan masalah pada dirinya sendiri. Ia adalah strategi pemasaran yang sah dan menjadi bagian dari dinamika ekonomi digital.
Namun, masalah muncul ketika konsumen kehilangan kendali dan tidak lagi mampu membedakan antara kebutuhan nyata dan dorongan sesaat. Ketika promosi menjadi perayaan yang dirancang secara masif, kita perlu bertanya, siapa sebenarnya yang diuntungkan?
Kini saatnya meninjau kembali pola konsumsi kita. Bukan berarti kita harus berhenti berbelanja, tetapi mulailah dari kesadaran apakah kita membeli karena butuh, atau karena ikut-ikutan budaya yang dibentuk oleh algoritma dan iklan?
Baca Juga
-
Eco-Anxiety Bukan Penyakit: Saat Kecemasan Iklim Menggerakkan Perubahan
-
Saat Emosi Mengendalikan Ingatan: Mengenal Fenomena Mood-Congruent Memory
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
-
The Power of Three: Pilar Resiliensi yang Menjaga Kita Tetap Tangguh
Artikel Terkait
-
Generasi Urban Minimalis: Kehidupan Simpel untuk Lawan Konsumerisme
-
Budaya Me Time: Self-Care, Self-Reward, atau Konsumerisme Terselubung?
-
Promo Kuliner Spesial 5.5, Berikut Deretan Makanan dan Minuman yang Menggoda
-
Lebaran di Tengah Gempuran Konsumerisme, ke Mana Esensi Kemenangan Sejati?
-
Konsumerisme dalam Tren Baju Lebaran 2025
Kolom
-
Bukan Touchscreen atau Chromebook, Guru Cuma Butuh 3 Hal Ini untuk Mendidik
-
Di Balik Penyesalan Menkes, Ada PR Besar Layanan Kesehatan Papua
-
Viral Kasus Tumbler Tuku: Benarkah Ini Gara-Gara Tren Hydration Culture?
-
Ricuh Suporter Bola hingga War Kpopers, Saat Hobi Tak Lagi Terasa Nyaman
-
Budaya Titip Absen: PR Besar Guru Bagi Pendidikan Bangsa
Terkini
-
Ulasan Novel Pusaka Candra: Kisah Politik, Mitos, dan Cinta Keraton Abad 17
-
4 Sunscreen Vitamin C Non-Comedogenic untuk Kulit Cerah Tanpa Clogged Pores
-
Review Film The Voice of Hind Rajab: Pedih dan Mengguncang Nurani
-
Review Film Agak Laen: Menyala Pantiku! Tawa dari Awal sampai Akhir, Pecah!
-
Rush Hour 4 Resmi Diproduksi Paramount Usai Adanya Permintaan dari Trump