Ada satu hal yang menarik dari kabar negosiasi antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS, Donald Trump, yang terjadi pada Selasa malam (15 Juli 2025). Negosiasi ini hanya butuh waktu 17 menit untuk menghasilkan keputusan tarif impor produk Indonesia ke AS yang turun dari 32% menjadi 19%. Bahkan, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menyebut percakapan mereka sangat serius namun penuh kehangatan dan keakraban.
17 menit sebenarnya bukan waktu yang lama untuk membicarakan masa depan ekonomi dua negara. Bahkan order makanan lewat aplikasi saja kadang butuh waktu lebih lama dari itu, dari browsing menu sampai checkout. Dan ini bukan sekadar diskon belanja online, tapi kesepakatan dagang bernilai ratusan triliun.
Salah satu hasil dari negosiasi ini adalah penurunan tarif impor produk Indonesia ke AS sebesar 13%. Tapi di saat yang bersamaan, Indonesia sepakat untuk membeli energi dari AS senilai US$15 miliar, produk pertanian sebesar US$4,5 miliar, serta 50 pesawat Boeing. Totalnya jika dihitung kasar bisa lebih dari US$40 miliar atau sekitar Rp653,2 triliun.
Bukan hanya itu, AS disebut-sebut mendapatkan akses penuh terhadap sumber daya Indonesia tanpa tarif. Termasuk tembaga yang katanya harta unggulan RI.
Hal ini sontak bikin publik geleng-geleng kepala, kok terasa seperti jual rugi? Diskon tarif untuk produk Indonesia, tapi imbal baliknya akses tanpa tarif ke kekayaan alam kita?
Kalau kita ingat lagi, ini bukan pertama kalinya Indonesia melakukan pembelian besar dari AS demi menjaga hubungan diplomatis. Dulu kita juga pernah mengimpor pesawat, daging, bahkan kedelai dalam jumlah besar. Tapi bedanya kali ini, paket belanjanya terasa lebih eksklusif, dan ironinya, semua itu disepakati hanya dalam waktu kurang dari 20 menit.
Negosiasi itu butuh logika dan pertimbangan matang. Dan dalam konteks ini, publik berhak tahu, bagaimana proses pengambilan keputusan sebesar itu dilakukan dalam waktu sesingkat itu? Apakah tim teknis sudah menghitung untung-rugi jangka panjang? Apakah DPR tahu dan dilibatkan sebelum menghasilkan keputusan?
Di saat APBN kita sedang lesu, defisit melebar, dan pemerintah sedang cari-cari cara menambah pemasukan—dari cukai, pajak, sampai potongan anggaran—negara justru menyepakati belanja impor ke negara lain. Pemerintah menyebut ini sebagai strategi geopolitik, tapi rakyat mungkin hanya melihatnya sebagai bencana.
Belum lagi soal efek domino di dalam negeri. Kalau Indonesia impor produk pertanian dari AS sebesar 4,5 miliar dolar, siapakah yang paling terdampak? Tentu petani kecil kita. Lalu, bagaimana nasib cabai, beras, kedelai, jagung lokal? Jangan sampai diskon tarif ekspor kita ke AS justru dibayar mahal oleh petani sendiri di pasar dalam negeri.
Rakyat tentu ingin percaya bahwa ada strategi bijak di balik ini. Bahwa ada perhitungan cermat, niat baik, dan perencanaan jangka panjang yang menjadi alasan setiap keputusan negara. Tapi tanpa transparansi dan keterlibatan publik, rasa-rasanya seperti keputusan elit yang dibuat dengan cepat, lalu disampaikan ke publik dengan label demi kepentingan nasional.
Lagipula, bagaimana bisa keputusan nasional yang berdampak triliunan bisa dibicarakan hanya dalam 17 menit? Bahkan skripsi saja harus dibahas berbulan-bulan. Atau bisa jadi, kita memang sedang hidup di era fast diplomacy yang sayangnya belum tentu fast thinking.
Diskon tarif tentu patut kita rayakan, tapi jangan sampai kegembiraan itu menutupi fakta bahwa di balik penurunan 19%, kita mungkin sedang menanggung beban belanja dan risiko yang lebih besar.
Kerja sama yang sehat haruslah transparan, adil, dan masuk akal, terlebih kerja sama internasional yang mempengaruhi perekonomian dua negara. Bukan sekadar hasil percakapan yang katanya hangat dan akrab selama 17 menit di malam hari.
Baca Juga
-
Ironi Hari Guru: Ketika Cokelat Murid Dianggap Ancaman Gratifikasi
-
Kegagalan Sistem: Mengkritisi Pernyataan Mendikdasmen soal Nilai TKA
-
Judicial Review: Strategi Politik Menghindari Tanggung Jawab Legislasi
-
Banjir Bukan Takdir: Mengapa Kita Terjebak dalam Tradisi Musiman Bencana?
-
Pasal 16 RKUHAP: Bahaya Operasi Undercover Buy Merambah Semua Tindak Pidana
Artikel Terkait
-
Prabowo Bakal Hadir di Sidang Umum PBB September Mendatang
-
Tarif Trump 19 Persen Ancam "Hegemoni" QRIS di Indonesia?
-
Driver Ojol Demo Lagi, Tolak Status Buruh Hingga Desak Prabowo Perppu Khusus
-
Kapolri Ajak Kementerian hingga TNI Adu Tembak, Jaga Soliditas Sambil Cari Bibit Atlet
-
Dukung Program MBG, Kapolri Resmikan 28 SPPG Demi Jaga Quality Control
Kolom
-
Masih Bertahan Setelah Diselingkuhi? Mungkin Kamu Terjebak Hopeful Bias
-
Tak Tercatat Statistik, tapi Menghidupi Pesisir: Potret Perempuan Nelayan
-
Bullying Bukan Drama Anak Sekolah, Tetapi Luka yang Menempel Sampai Dewasa
-
Salah Kaprah Budaya Bullying: Bercanda tapi kok Menyakitkan, sih?
-
Perempuan yang Menjemur Pagi: Cerita Ketangguhan dari Pesisir Demak
Terkini
-
Timur Kapadze Terima Tawaran Melatih Klub Asal Uzbekistan, PSSI Rugi Besar?
-
Buku The Apothecary Diaries Sukses Terjual 45 Juta Eksemplar
-
Pancarkan Aura Seram, Eum Moon Suk Jadi Villain Baru Tak Terduga di Taxi Driver 3
-
Bullying dan Kesehatan Mental Anak: Mengapa Sekolah Belum Menjadi Ruang Aman?
-
Review Film Ha Gom: The Darkness of the Soul, Horor Folk Thailand yang Gelap dan Atmosferik