Di era serba digital ini, siapa sangka bahwa generasi yang paling melek teknologi justru menjadi yang paling kesepian? Gen Z menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan smartphone di tangan, namun justru merasa semakin sulit untuk terhubung secara emosional dengan orang lain di dunia nyata.
Kehidupan serba cepat, tekanan pekerjaan atau pendidikan, serta kebiasaan menggunakan media sosial sebagai sarana utama bersosialisasi justru membuat koneksi yang mereka bangun terasa dangkal dan melelahkan.
Data juga menunjukkan bahwa 85% Gen Z di Inggris merasa kesepian, terutama mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Menariknya, meski banyak yang mengaku kesepian, sebagian besar Gen Z juga merasa cemas untuk bertemu langsung dengan orang baru.
Beberapa faktor yang menyebabkan keterampilan sosial Gen Z melemah di antaranya, pandemi COVID-19, penggunaan smartphone yang berlebihan, dan hilangnya ruang publik untuk bersosialisasi.
Di Indonesia sendiri, masa pandemi memaksa jutaan pelajar dan mahasiswa untuk belajar dari rumah selama dua tahun lebih. Interaksi terbatas, ditambah tekanan akademik dan sosial, membuat banyak dari mereka tumbuh menjadi pribadi yang canggung saat harus berinteraksi secara langsung.
Hal ini terasa di berbagai lingkungan, dari sekolah hingga tempat kerja. Banyak Gen Z yang lebih nyaman menyampaikan pendapat lewat chat dibandingkan bicara langsung.
Bahkan saat berada di tongkrongan, tak jarang mereka justru tenggelam dalam layar masing-masing. Koneksi yang dibangun pun terasa rapuh, penuh kecanggungan, dan mudah hilang begitu saja.
Namun kini, solusi datang dari tempat yang tidak terduga: aplikasi kencan. Di negara barat, aplikasi kencan seperti Tinder, Bumble, dan Hinge dulunya identik dengan mencari pasangan romantis. Tapi kini, mereka mulai bergerak ke arah baru: mempertemukan anak muda lewat acara-acara sosial offline.
Salah satunya adalah Hinge, yang baru-baru ini mengumumkan dana sebesar $1 juta untuk mendukung acara sosial di kota-kota besar seperti New York, Los Angeles, dan London. Program ini dinamakan One More Hour—sebuah program yang mendanai berbagai kegiatan komunitas, mulai dari kelas memasak, eksplorasi alam, kelas yoga, diskusi buku, hingga pelatihan kreativitas.
Tujuannya? Mengajak orang-orang bertemu dan berinteraksi secara langsung, bukan hanya saling kirim emoji atau basa-basi lewat teks. Yang menarik, kegiatan ini dirancang tanpa embel-embel romantis. Jadi, tekanan untuk “cocok secara cinta” tidak lagi menjadi beban utama.
Tren seperti ini sebenarnya sangat mungkin diterapkan di Indonesia. Budaya nongkrong sudah mendarah daging di kalangan anak muda, apalagi dengan menjamurnya kafe tematik, co-working space, hingga taman-taman kota yang mulai direvitalisasi.
Komunitas kreatif, kegiatan volunteer, hingga acara-acara seni dan budaya bisa menjadi titik kumpul yang ideal. Yang dibutuhkan adalah wadah yang lebih terstruktur, aman, dan inklusif—yang mungkin bisa difasilitasi oleh aplikasi kencan atau platform sosial lokal.
Bayangkan jika aplikasi kencan lokal seperti Setipe, Taaruf ID, atau bahkan media sosial seperti TikTok dan Instagram mulai menyelenggarakan acara offline tematik: dari jalan santai pagi di CFD, kelas yoga sore di taman kota, hingga diskusi buku di kafe-kafe lokal. Dengan pendekatan seperti ini, bukan tidak mungkin Gen Z Indonesia bisa membangun koneksi yang lebih dalam dan bermakna.
Namun untuk benar-benar terealisasi di Indonesia, pertemuan offline ini harus dirancang dengan matang. Faktor keamanan sangat penting—baik dari segi lokasi, sistem registrasi, maupun pendampingan atau moderasi acara. Sebab, stigma terhadap aplikasi kencan masih cukup kuat di masyarakat, dan belum semua orang merasa nyaman datang ke acara yang diselenggarakan oleh platform semacam ini.
Lebih dari sekadar mencari jodoh, aplikasi kencan bisa menjadi jembatan untuk membangun komunitas baru, memperluas pertemanan, dan yang paling penting: mengembalikan esensi dari koneksi manusia yang sebenarnya.
Jadi, apakah aplikasi kencan akan menjadi tempat mencari teman, bukan hanya pasangan? Bisa jadi. Dan kalau langkah ini berhasil, mungkin inilah awal dari perubahan cara kita bersosialisasi di era digital yang makin terasa sepi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Tarif Baru AS: Pukulan Telak bagi Ekspor Indonesia?
-
Sentilan Luhut dan Demokrasi Sopan Santun: Ketika Kritik Dianggap Ancaman
-
Demokrasi atau Diktator? Brutalisme Aparat di Balik Demonstrasi UU TNI
-
Penurunan Harga BBM: Strategi Pertamina atau Sekadar Pengalihan Isu?
-
Indonesia Krisis Inovasi: Mengapa Riset Selalu Jadi Korban?
Artikel Terkait
-
Tren Es Krim di Era Gen Z: Inovasi, Media Sosial, dan Maskot Lucu
-
Menikmati Libur Lebaran dengan Spiritual Holiday: Tren Baru yang Bermakna bagi Gen Z
-
Viral Isu Akun Alter Diduga Milik Anggota DPR Muda, Kenapa Gen Z Suka Punya Second Account?
-
Mengupas Kesiapan Gen Z Menghadapi AI di Dunia Kerja: Ancaman Atau Peluang?
-
Menjadi Asing di Dunia Sendiri: Review Novel 'No Longer Human'
Lifestyle
-
4 Moisturizer dengan Cooling Effect, Segarkan Wajah di Cuaca Panas!
-
Gaya Street Style ala Moon Sua Billlie, Ini 4 Ide OOTD yang Bisa Kamu Coba!
-
4 OOTD Minimalis ala Yerin GFRIEND, Cocok untuk Gaya Harian yang Effortless
-
Penalaran Kata 'Mundhut': Sama-sama Predikat Kalimat, tapi Dilarang Ambigu!
-
Mudah Ditiru! 4 Gaya Hangout ala Bona WJSN yang Wajib Dicoba
Terkini
-
Surat Ki Hadjar Dewantara untuk Generasi Z: Jangan Jadi Penonton Perubahan
-
Review Anime My Stepmoms Daughter Is My Ex: Ketika Mantan Jadi Saudara Tiri
-
Novel Four Aunties and A Wedding: Pesta Pernikahan Berubah Menjadi Mencekam
-
Kembali Naik Peringkat, Timnas Indonesia Berpotensi Tempel Ketat Vietnam di Ranking FIFA
-
Review Film Broken Rage: Ketika Takeshi Kitano Menolak Bertele-tele