Di era digital yang serba terkoneksi, ironi terbesar yang dialami sebagian individu justru adalah kesepian. Bagi sebagian remaja laki-laki, rasa terasing dari hubungan sosial dan romantis dapat berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap yaitu kebencian.
Salah satu fenomena yang merepresentasikan transformasi ini adalah komunitas INCEL (Involuntary Celibate), yang tidak hanya menjadi tempat pelarian dari rasa tidak diterima, tapi juga lahan subur bagi ideologi misoginis yang berbahaya.
Apa Itu INCEL?
INCEL adalah istilah yang awalnya digunakan untuk menggambarkan individu, khususnya pria, yang merasa gagal menjalin hubungan seksual atau romantis, meski menginginkannya. Namun, seiring waktu, INCEL berubah menjadi komunitas daring yang penuh dengan narasi kebencian terhadap perempuan dan laki-laki lain yang dianggap “lebih beruntung”. Mereka percaya bahwa ketidakmampuan mereka mendapatkan pasangan adalah karena sistem sosial yang tidak adil, dan bahwa perempuan hanya memilih pria berdasarkan daya tarik fisik dan status sosial.
Dikutip dari Britannica (25/03/2025), istilah INCEL awalnya dicetuskan oleh seorang wanita Kanada bernama Alana. Ia mulai menggunakan istilah INVCEL yang kemudian disingkat menjadi INCEL pada tahun 1997 untuk berhubungan dengan para lajang lainnya yang berjuang dengan kecanggungan sosial. Melalui web pribadinya, Alana mendokumentasikan pengalamannya, "Alana's Involuntary Celibacy Project," yang menjadi forum bagi orang-orang yang berjuang untuk membentuk hubungan romantis. Pada tahun 2000, Alana berhenti berpartisipasi dalam proyek tersebut.
Kesepian Jadi Kebencian
Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di dunia, termasuk penembakan massal dan serangan terhadap perempuan di ruang publik, pernah dikaitkan dengan pelaku yang mengidentifikasi diri sebagai INCEL. Dalam beberapa forum daring, kekerasan bahkan dirayakan sebagai bentuk “pembalasan” terhadap dunia yang mereka anggap telah “mengkhianati” mereka.
Tak hanya di luar negeri, pengaruh ideologi ini mulai merambat ke Indonesia. Meski tidak terlalu terekspos, beberapa kanal media sosial dan forum diskusi lokal telah mulai menyebarkan narasi serupa—mulai dari glorifikasi pria "terbuang", kebencian terhadap perempuan karier, hingga dukungan terhadap dominasi laki-laki dengan cara-cara agresif.
Bagaimana Anak Terpengaruh?
Remaja laki-laki, terutama yang kesulitan bersosialisasi dan minim pemahaman emosional, bisa sangat rentan terhadap pengaruh komunitas seperti INCEL. Saat mereka tidak menemukan tempat aman untuk mengekspresikan rasa frustasi dan kecewa, mereka bisa tertarik pada narasi-narasi ekstrem yang memberi mereka “penjelasan sederhana” atas kegagalan yang mereka alami.
Konten daring yang dipenuhi sindiran terhadap perempuan, glorifikasi kekerasan, serta propaganda gender mulai dianggap “maskulin” oleh sebagian anak muda. Ketika narasi ini dikonsumsi tanpa filter, maka tidak hanya sikap misoginis yang tumbuh, tapi juga potensi tindakan kekerasan terhadap lawan jenis.
Peran Keluarga dan Pendidikan
Menanggulangi bahaya ini tidak bisa hanya dengan menyensor konten, tapi harus dengan membangun kesadaran kritis sejak dini. Pendidikan seksualitas, empati, relasi sehat, dan kesetaraan gender harus diajarkan sejak remaja. Anak laki-laki perlu diberi ruang untuk mengekspresikan emosi mereka tanpa malu, serta diajak memahami bahwa harga diri mereka tidak ditentukan oleh jumlah pasangan atau status sosial. Selain itu, keluarga juga memegang peranan penting. Adanya komunikasi terbuka, penerimaan, dan kehadiran figur ayah dapat menjadi benteng utama agar anak tidak mencari validasi yang tidak tepat.
Kesepian yang tidak ditangani bukan hanya menimbulkan penderitaan personal, tapi bisa menjelma jadi kebencian kolektif. Fenomena INCEL adalah alarm bagi kita semua bahwa kesetaraan gender bukan hanya isu perempuan, tapi juga soal bagaimana kita mendidik laki-laki muda untuk tumbuh menjadi individu yang sehat secara emosional dan sosial.
Baca Juga
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Fenomena Brain Rot: Pembusukan Otak karena Sering Konsumsi Konten Receh
-
Ketidakadilan Sistem Kolonial "Anak Semua Bangsa", Upaya Pembebasan Rakyat
-
Quiet Quitting Karyawan sebagai Bentuk Protes Kepada Perusahaan
-
Ketika Algoritma Internet Jadi Orang Tua Anak
Artikel Terkait
-
Mission Impossible - The Final Reckoning: Aksi Gila dan Serangan The Entity
-
Ada BoboiBoy, Kartun-kartun Malaysia Turut Dukung Film Jumbo
-
5 Rekomendasi Film Sambut Akhir Pekan, Ada A Minecraft Movie hingga G20
-
Melihat Don dari Film Jumbo Hadir dalam Bentuk Balon Raksasa 10 Meter, Spot Wajib Foto!
-
Sinopsis Film Chhorii 2, Dibintangi Nushrratt Bharuccha dan Soha Ali Khan
Kolom
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Jadi Alarm Penting Taat Berlalu Lintas
-
Blaka Suta: Kejujuran dalam Daily Life dan Hukum Tabur Tuai Lintas Generasi
-
Ketika Seni Menjadi Musuh Otoritarianisme
-
Menemukan Kembali Semangat Politik Ki Hadjar Dewantara di Era digital
Terkini
-
Mission Impossible - The Final Reckoning: Aksi Gila dan Serangan The Entity
-
2 Fakta Unik Aldyansyah Taher Pemain Timnas U-17: Punya Versatility di Luar Nalar!
-
3 Pahlawan dengan Quirk yang Tampak Licik dan Keji di Boku no Hero Academia
-
Persebaya Surabaya Siap Tempur Lawan Persija, Paul Munster: Saatnya Sprint!
-
NCT Wish Jalankan Misi Pengakuan Cinta yang Unik di Teaser MV Lagu 'Poppop'