Dalam gemuruh digitalisasi dan globalisasi yang mendera Indonesia saat ini, sosok Ki Hadjar Dewantara berdiri kokoh sebagai monumen perjuangan yang menawarkan kearifan transendental. Seorang tokoh yang aktivisme politiknya berlangsung satu abad lalu, namun prinsip-prinsipnya memancarkan relevansi yang tak lekang oleh waktu.
Bagaimana idealisme politik Ki Hadjar Dewantara dapat menjadi kompas moral bagi Indonesia kontemporer yang tengah bergulat dengan polarisasi politik, krisis identitas nasional, dan tantangan pendidikan di era digital?
Fondasi Politik Ki Hadjar: Menolak Diskriminasi, Merangkul Kemandirian
Ki Hadjar Dewantara, yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, memulai perjuangan politiknya dengan pendirian Indische Partij bersama E.F.E Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1912. Partai ini menjadi manifestasi awal dari nasionalisme Indonesia yang menolak segala bentuk diskriminasi rasial dan kolonialisme. Tulisannya yang terkenal, "Als Ik Eens Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), menjadi kritik tajam terhadap pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaan Belanda sementara menjajah Indonesia.
Pemikiran politik Ki Hadjar tidak dapat dipisahkan dari pandangannya tentang pendidikan sebagai instrumen pembebasan. Baginya, politik dan pendidikan adalah dua sisi mata uang yang sama dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika ia mendirikan Perguruan Tamansiswa pada tahun 1922, hal ini merupakan tindakan politik subversif yang menantang hegemoni pendidikan kolonial.
Seperti yang ia nyatakan, "Pendidikan ialah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya."
Prinsip Politik Ki Hadjar dan Resonansinya di Indonesia Kontemporer
Dalam lanskap politik Indonesia saat ini, tiga prinsip politik Ki Hadjar menemukan relevansinya yang mendalam:
1. Kemandirian Politik (Zelfbestuur)
Ki Hadjar menekankan pentingnya kemandirian dalam menentukan nasib bangsa. Dalam konteks Indonesia saat ini, prinsip ini mengajak kita untuk mengevaluasi kembali relasi ekonomi-politik global yang sering kali menghasilkan ketergantungan struktural. Ketika Indonesia masih bergantung pada utang luar negeri dan investasi asing, dengan ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, semangat kemandirian Ki Hadjar menawarkan alternatif pembangunan yang lebih berdaulat.
Kebijakan pemerintah dalam mendorong penggunaan produk lokal dan pengembangan teknologi dalam negeri dapat dilihat sebagai upaya untuk mewujudkan kemandirian yang diperjuangkan oleh Ki Hadjar. Namun, tantangannya jauh lebih kompleks di era digital, di mana arus informasi dan modal melampaui batas-batas geografis dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
2. Politik Kebudayaan
Ki Hadjar memahami bahwa perjuangan politik tidak dapat dipisahkan dari perjuangan kebudayaan. Ia menegaskan pentingnya mempertahankan akar budaya sebagai fondasi identitas nasional. Dalam era globalisasi dan homogenisasi budaya, prinsip ini semakin relevan. Ketika generasi muda Indonesia semakin terpapar pada budaya global, pertanyaan tentang identitas nasional menjadi semakin mendesak.
Program pemerintah seperti "Gerakan Literasi Nasional" dan upaya pelestarian bahasa daerah dapat dilihat sebagai kelanjutan dari semangat politik kebudayaan Ki Hadjar. Namun, tantangan yang dihadapi jauh lebih besar, terutama dengan dominasi platform media sosial transnasional yang secara tidak langsung membentuk nilai dan perilaku masyarakat.
3. Politik yang Mengutamakan Kemanusiaan (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani)
Prinsip kepemimpinan Ki Hadjar yang terkenal—memberi teladan di depan, membangun semangat di tengah, dan memberi dorongan dari belakang—menawarkan paradigma politik yang memanusiakan. Dalam lanskap politik Indonesia yang sering diracuni oleh ujaran kebencian dan polarisasi, prinsip ini mengingatkan kita akan tujuan hakiki politik: memajukan kemanusiaan.
Kepemimpinan di berbagai tingkatan pemerintahan dapat belajar dari prinsip ini untuk mengembangkan model politik yang lebih inklusif dan partisipatif. Gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak minoritas dan kelompok marjinal juga mencerminkan semangat kemanusiaan yang diperjuangkan oleh Ki Hadjar.
Tantangan dan Peluang di Era Digital
Era digital membawa tantangan sekaligus peluang bagi implementasi prinsip-prinsip politik Ki Hadjar. Di satu sisi, platformisasi politik—di mana media sosial menjadi arena utama pertarungan wacana politik—berpotensi menciptakan polarisasi dan tribalisme politik. Di sisi lain, teknologi digital juga membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas, memungkinkan suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan untuk didengar.
Dalam konteks ini, prinsip "Tut Wuri Handayani" Ki Hadjar dapat diinterpretasikan ulang sebagai dorongan untuk mengembangkan literasi digital yang kritis. Pendidikan politik di era digital tidak hanya tentang pemahaman sistem demokrasi formal, tetapi juga tentang kemampuan untuk menyaring informasi, berpartisipasi dalam diskursus publik dengan etika, dan menggunakan teknologi untuk memperjuangkan keadilan sosial.
Penutup: Meneruskan Estafet Perjuangan
Refleksi atas perjuangan politik Ki Hadjar Dewantara tidak sekadar latihan nostalgia, tetapi merupakan imperatif moral untuk meneruskan estafet perjuangannya dalam konteks kontemporer. Dalam pusaran perubahan yang sangat cepat akibat revolusi digital dan krisis global, prinsip-prinsip politik Ki Hadjar—kemandirian, politik kebudayaan, dan politik yang memanusiakan—menawarkan fondasi untuk membangun Indonesia yang lebih adil, berdaulat, dan berkeadaban.
Tantangan bagi generasi saat ini adalah menerjemahkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam kebijakan konkret dan aksi kolektif yang responsif terhadap konteks kekinian. Dengan demikian, semangat politik Ki Hadjar Dewantara akan terus hidup, tidak hanya sebagai pengingat masa lalu, tetapi sebagai pembimbing untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
________________________________________
Sumber Referensi:
1. Dewantara, Ki Hadjar. 1967. Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
2. Tsuchiya, Kenji. 1992. Democracy and Leadership: The Rise of the Taman Siswa Movement in Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press.
3. McVey, Ruth T. 1967. The Rise of Indonesian Communism. Ithaca: Cornell University Press.
4. Latif, Yudi. 2020. "Pendidikan yang Berkebudayaan: Refleksi atas Pemikiran Ki Hadjar Dewantara." Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 5(1): 1-15. jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jpnk/article/view/1652
5. Rahardjo, M. Dawam. 2018. "Memaknai Kembali Ajaran Ki Hadjar Dewantara dalam Konteks Indonesia Kontemporer." Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 8(2): 119-134.
6. Tim Peneliti Sejarah Tamansiswa. 2017. Tamansiswa: Sejarah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Sekolah adalah Hak Asasi, Namun Masih Menjadi Impian bagi Banyak Anak
-
Jusuf Kalla Lulusan Apa? Itung-itungan Tarif Trump di Papan Tulis Tuai Sorotan
-
Aktivisme Ki Hadjar Dewantara dalam Peta Politik dan Pendidikan Bangsa
-
Di Bawah Bayang Taman Siswa, Politik Kini Tak Lagi Mendidik
-
Banyak Lulusan Gen Z Menganggur, Sistem Pendidikan Dipertanyakan
Kolom
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Jadi Alarm Penting Taat Berlalu Lintas
-
Blaka Suta: Kejujuran dalam Daily Life dan Hukum Tabur Tuai Lintas Generasi
-
Ketika Seni Menjadi Musuh Otoritarianisme
-
Refleksi Kelabu Kebebasan Berkesenian di Indonesia
Terkini
-
Dim Sum of All Fears: Teka-Teki Kematian Dua Mayat di Restoran China
-
Tatap Perempat Final Piala Asia U-17, Timnas Indonesia Punya Modal Bagus
-
3 Anime Orisinal Netflix Tayang April 2025, Jangan Sampai Kelewatan!
-
Potret Kehidupan Sub-Urban di Kota Besar dalam Buku Komik Gugug! Karya Emte
-
Membongkar Karakter dan Isu Sosial dalam Series Bidaah