Indonesia mengenang sosok Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Gagasannya tentang pendidikan tidak hanya terbatas pada institusi formal, tetapi juga mencakup pembentukan karakter dan pembebasan manusia dari kebodohan serta penindasan. Di era digital yang serba cepat ini, nilai-nilai yang beliau usung menjadi semakin relevan, terutama dalam menghadapi tantangan literasi di kalangan Generasi Z.
Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh di tengah kemajuan teknologi dan akses informasi yang melimpah. Data UNESCO tahun 2023 mencatat bahwa indeks literasi Indonesia hanya sebesar 0,001%, yang berarti hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara itu, data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa rata-rata Generasi Z menghabiskan 8 jam 42 menit per hari untuk mengakses internet, namun hanya 8 menit yang dialokasikan untuk membaca.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan kemampuan Generasi Z dalam memahami informasi secara kritis, berpikir logis, dan menyelesaikan masalah dengan efektif. Salah satu ajaran Ki Hajar Dewantara yang relevan dalam konteks ini adalah falsafah "Ngandel, Kendel, Kandel, Bandel."
Falsafah ini terdiri dari empat prinsip:
1. Ngandel: Percaya pada diri sendiri dan keyakinan terhadap kemampuan pribadi.KOMPASIANA
2. Kendel: Berani dalam menghadapi tantangan dan mengambil risiko.
3. Kandel: Teguh dalam pendirian dan konsisten dalam tindakan.
4. Bandel: Tahan uji dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan.
Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya kepercayaan diri, keberanian, keteguhan, dan ketahanan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Meskipun kutipan ini sering dikaitkan dengan Ki Hajar Dewantara, sumber asli dari pernyataan ini tidak secara eksplisit ditemukan dalam karya tulis beliau. Namun, nilai-nilai tersebut sejalan dengan filosofi pendidikan yang beliau usung, yang menekankan pembentukan karakter kuat dan mandiri pada peserta didik.
Krisis literasi di kalangan Generasi Z juga diperparah oleh fenomena "brain rot," yaitu kondisi di mana kemampuan berpikir seseorang melemah akibat terlalu sering terpapar konten ringan dan kurang bernutrisi bagi otak. Dr. James Williams, seorang peneliti teknologi, menyatakan bahwa konsumsi berlebihan terhadap konten instan dapat mengurangi kapasitas untuk fokus dan berpikir mendalam. Studi dari Harvard Business Review juga menunjukkan bahwa paparan konten singkat secara terus-menerus dapat menurunkan kemampuan seseorang dalam menyerap informasi kompleks dan membuat keputusan yang matang.
Selain itu, kemajuan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) membawa dilema tersendiri dalam dunia pendidikan. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pernah mengutarakan harapannya agar AI diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Namun, hal ini menimbulkan pro dan kontra. Penelitian dari Politeknik Indonusa Surakarta dan diskusi di Workshop Karya Ilmiah Universitas Gadjah Mada menyoroti potensi dampak negatif penggunaan AI, seperti menurunnya motivasi belajar, ketergantungan pada jawaban instan, serta risiko plagiarisme dan kebocoran data pribadi.
Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi kita untuk kembali pada nilai-nilai pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan harus mampu membentuk karakter yang percaya diri, berani, teguh, dan tahan uji. Generasi Z perlu didorong untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pembelajar yang kritis dan kreatif.
Upaya meningkatkan literasi memerlukan peran serta dari berbagai pihak. Orang tua dapat memberikan teladan dengan membudayakan membaca di rumah. Sekolah perlu menyediakan fasilitas dan program yang mendukung minat baca siswa. Pemerintah diharapkan memperluas akses terhadap bahan bacaan berkualitas, terutama di daerah terpencil. Selain itu, media sosial dan platform digital dapat dimanfaatkan sebagai sarana literasi yang menarik bagi Generasi Z, dengan konten yang edukatif dan inspiratif.
Generasi Z adalah harapan masa depan bangsa. Dengan membekali mereka dengan literasi yang kuat dan karakter yang tangguh, kita mempersiapkan mereka untuk menjadi pemimpin yang cerdas, kritis, dan inovatif. Sebagaimana semangat yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan sejati adalah yang mampu memerdekakan manusia, membentuk karakter, dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan zaman.
Tag
Baca Juga
-
Kronik Dehumanisasi dalam Kebijakan: Ketika Angka Membungkam Derita
-
Demokrasi, Kesejahteraan, dan Pembangunan Bangsa: Sebuah Renungan
-
Filosofi Tongkrongan: Saring Pikiran Biar Gak Jadi Ujaran Kebencian
-
Manuver Danantara, Jadi Penjaga Napas saat IHSG Bergejolak?
-
Evakuasi Gaza ke Indonesia: Solidaritas atau Legitimasi Penindasan?
Artikel Terkait
-
Quiet Quitting Karyawan sebagai Bentuk Protes Kepada Perusahaan
-
Banyak Lulusan Gen Z Menganggur, Sistem Pendidikan Dipertanyakan
-
Aplikasi Kencan, Solusi Baru Gen Z Atasi Kesepian?
-
Surat Ki Hadjar Dewantara untuk Generasi Z: Jangan Jadi Penonton Perubahan
-
Samsung Pamer Deretan Fitur Pintar Galaxy AI di HP Seri A, Setangguh Apa?
Kolom
-
Malam Tanpa Layar! Seni Menjaga Kesehatan Tidur di Era Digital
-
Femisida dan Tantangan Penegakan Hukum yang Responsif Gender di Indonesia
-
Media Lokal Sudah Badai Selama 10 Tahun Terakhir dan Tak Ada yang Peduli
-
Saat Buku Tak Bisa Dibaca: Akses Literasi yang Masih Abai pada Disabilitas
-
Sama-Sama Pekerja Gig, Kok Driver Ojol Lebih Berani daripada Freelancer?
Terkini
-
5 Pemain Bakal Absen Melawan China di Kualifikasi Piala Dunia, Siapa yang Paling Besar Impactnya?
-
5 Pemain Timnas Indonesia Dipastikan Menepi di Laga Kontra China, Krisis Akut?
-
Selamat! RIIZE Raih Trofi Ketiga Lagu Fly Up di Program Show! Music Core
-
Punya Pribadi Tertutup, Yoo Seung Ho Diam-diam Rutin Bantu Anak Sakit dan Rawat Kucing Terlantar
-
Mengintip Kans Asnawi Mangkualam Jadi Starter dalam Duel Indonesia vs. China