Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Budianto Sutrisno
Tamansiswa, pusaka warisan berharga dari Ki Hadjar Dewantara (ugm.ac.id)

Di atas panggung sejarah nasional Indonesia, telah muncul sejumlah tokoh yang patut dikenang, karena mereka telah memberikan kontribusi terbaik untuk perjuangan dan pembangunan bangsa.

Salah satu tokoh penting itu adalah Ki Hadjar Dewantara. Beliau lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, arsitek yang merentang jembatan penghubung antara dua dunia yang acap kali dipandang terpisah, padahal keduanya saling berkaitan erat.

Kedua dunia tersebut adalah dunia politik, tempat kita belajar tentang dinamika perjuangan kemerdekaan, dan dunia pendidikan, tempat kita lahir dan dibesarkan untuk belajar. Kedua dunia ini dirangkul oleh Ki Hadjar dalam satu visi besar, yakni Indonesia merdeka yang berdaulat dan bermartabat.

Dari politik ke pendidikan

Ki Hadjar Dewantara memulai perjuangannya di ranah politik. Beliau tidak hanya berjuang sebagai aktivis pendidikan. Sebelum mendedikasikan dirinya di dunia pendidikan, beliau merupakan tokoh pergerakan politik yang menentang penjajah Belanda.

Sejarah mencatat, pada tahun 1908 Ki Hadjar bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo yang merupakan cikal bakal kebangkitan nasional Indonesia.

Semangat perjuangan makin membara ketika beliau bergabung dengan Ernest Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, mendirikan Indische Partij—partai politik pertama yang secara tegas melakukan permintaan kemerdekaan Indonesia pada 1912. Gema suaranya telah menggerakkan hati para pemuda dari seluruh pelosok Nusantara.

Beliau juga aktif menulis. Artikel kritisnya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) membuat dirinya diasingkan ke Belanda.

Namun, upaya pengasingan inilah yang justru membuka kesadaran Ki Hadjar tentang pentingnya pendidikan sebagai senjata perjuangan politik.

Selama berada di negeri Kincir Angin, beliau tekun mempelajari berbagai metode pendidikan. Dari sinilah, beliau mulai merumuskan konsep pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Ki Hadjar mulai membangun jembatan penghubung antara dunia politik dan dunia pendidikan.

Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hadjar mengatur siasat jitu. Beliau tidak terjun langsung ke dunia politik, tetapi memilih jalur lain yang strategis.

Ki Hadjar mendirikan lembaga pendidikan Perguruan Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Tindakan ini bukan lantas berarti dirinya meninggalkan dunia politik.

Keputusan ini merupakan sebuah transformasi strategi perjuangan. Beliau memahami bahwa untuk mencapai kemerdekaan yang benar-benar memerdekakan itu bukan hanya bergantung pada pergantian penguasa. Anak bangsa memerlukan sebuah transformasi mental melalui pendidikan yang membebaskan.

Sintesis pemikiran

Tak pelak, Tamansiswa merupakan wujud nyata dari sintesis pemikiran Ki Hadjar yang mengaitkan dunia politik dan pendidikan. Lembaga ini lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap Onderwijs Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar) yang membatasi pendirian sekolah oleh kaum bumiputra.

Dalam konteks politik kolonial, Tamansiswa merupakan pernyataan politik yang tegas menolak dominasi kultural penjajah dan mendorong kemandirian anak bangsa.

Namun demikian, bentuk perlawanan ini bersifat elegan; ia bukanlah konfrontasi fisik atau retorika politik yang gegap gempita. Sebaliknya, bentuk perlawanannya terletak pada pembentukan karakter dan penguatan identitas kultural bangsa Indonesia. Inilah kepiawaian Ki Hadjar!

Kurikulum Tamansiswa dirancang Ki Hadjar untuk tujuan politik dalam jangka panjang, yakni untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia agar dapat hidup dalam negara merdeka.

Beliau mengembangkan sistem ”Among” yang berlandaskan filosofi Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberikan teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan).

Filosofi ini tidak hanya relevan dalam proses pembelajaran di dalam kelas, tetapi juga mencerminkan pandangan Ki Hadjar perihal bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dipimpin.

Konsep yang diusung oleh Ki Hadjar ini mengaitkan pendidikan di lingkungan sekolah dengan kepemimpinan di masyarakat. Ia memberikan penghargaan terhadap kemerdekaan individu, tetapi tetap di dalam kerangka kesejahteraan bersama.

Ki Hadjar meyakini bahwa pendidikan seharusnya memerdekakan manusia secara fisik maupun mental, sekaligus mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai masyarakat yang merdeka.

Dengan demikian, pendidikan bukanlah sekadar tentang upaya mentransfer pengetahuan, melainkan juga tentang upaya membentuk karakter dan menanamkan nilai-nilai luhur pada generasi penerus bangsa.

Menurut pandangan Ki Hadjar, penting sekali untuk menjaga keseimbangan antara intelektualitas dan spiritualitas, antara keinginan dan tradisi, serta antara kepentingan individu dan masyarakat.

Beliau menafikan pendidikan yang hanya menjadikan manusia sebagai alat produksi kapitalisme, atau sekadar mencetak pegawai untuk memenuhi kepentingan pemerintah kolonial. Bangsa Indonesia harus benar-benar mampu mandiri sebagai tuan di negeri sendiri, tidak sekadar menjadi ”jongos” bagi kaum penjajah.

Relevansi di era globalisasi

Setelah lebih dari seratus tahun berdiri, Tamansiswa terus berkomitmen untuk senantiasa menjaga nilai-nilai yang sudah ditanamkan oleh Ki Hadjar. Institusi ini tetap memegang teguh prinsip pendidikan yang memerdekakan, kendati harus bersaing dengan sejumlah model pendidikan modern yang sering kali lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi semata.

Pada era globalisasi yang kita jalani sekarang, tantangan dalam pendidikan dan politik di Indonesia makin kompleks. Masuknya nilai-nilai asing, dominasi ekonomi global, dan kemajuan teknologi, telah menciptakan dilema baru.

Di tengah situasi semacam ini, pemikiran Ki Hadjar tentang pentingnya pendidikan yang berakar pada nilai-nilai lokal tetapi tetap terbuka terhadap kemajuan zaman, menjadi panduan yang sangat berharga.

Jembatan penghubung yang telah beliau bangun antara dunia pendidikan dan politik, mengingatkan kita bahwa kedua aspek tersebut tak bisa dipisahkan. Ini juga mengingatkan kita bahwa visi beliau adalah pendidikan yang memerdekakan dan politik yang menjunjung kemanusiaan.

Jembatan yang dibangun oleh Ki Hadjar adalah contoh nyata betapa perjuangan politik dapat dilakukan melalui jalur pendidikan yang damai tetapi transformatif. Revolusi itu tidak harus selalu melibatkan kekerasan. Revolusi bisa dimulai dari ruang kelas, dari pembebasan pikiran dan pembentukan karakter manusia merdeka.

Dalam konteks Indonesia di masa kini—di tengah polarisasi politik dan pragmatisme pendidikan yang cenderung mengabaikan aspek pembebasan—pusaka warisan Ki Hadjar merupakan pengingat bahwa tujuan akhir politik dan pendidikan itu adalah sama, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.

Penulis meyakini, bahwa pemikiran dan teladan yang ditinggalkan oleh Ki Hadjar akan terus hidup, tidak hanya dalam institusi Tamansiswa dan tercantum dalam semboyan Kementerian Pendidikan, tetapi juga dalam semangat setiap pendidik dan politisi.

Dalam diri insan yang menyadari bahwa kemerdekaan sejati hanya dapat dicapai melalui pembebasan pikiran dan penguatan identitas kultural bangsa.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Budianto Sutrisno