Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sabit Dyuta
Ilustrasi uang korupsi (Pexel/Cottonbro)

Dinamika pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi tantangan baru ketika Presiden Prabowo Subianto mempertanyakan dampak perampasan aset terhadap keluarga koruptor.

Dalam wawancara dengan 6 jurnalis di kediamannya di Hambalang, Jawa Barat, yang ditayangkan di kanal YouTube Najwa Shihab pada Minggu, (6/4/2025), Presiden mengajukan pertanyaan yang menyulut kontroversi di ruang publik: "Apakah adil anak dan istri koruptor ikut menderita?"

Pernyataan ini muncul di tengah desakan publik untuk mengakselerasi pengesahan RUU Perampasan Aset yang sudah bertahun-tahun tertunda di parlemen. 

Wacana "memiskinkan koruptor" yang sempat populer kini kembali menjadi perbincangan masyarakat, namun dengan nuansa yang berbeda ketika dikaitkan dengan dampaknya terhadap keluarga.

Pertanyaan Presiden ini pun menjadi sorotan tajam di tengah pembahasan RUU Perampasan Aset yang telah bertahun-tahun tertunda di parlemen. Sebuah pertanyaan yang justru memantik pertanyaan balasan dari publik: apakah adil jika rakyat terus dirampok oleh segelintir orang yang menyalahgunakan kekuasaan mereka?

Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang dampaknya merusak seluruh sendi kehidupan bangsa. Setiap rupiah yang dikorupsi adalah rupiah yang dirampas dari hak rakyat untuk mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang layak. Korupsi membunuh masa depan bangsa secara perlahan namun pasti.

Kita perlu berbicara tentang fakta, bukan belas kasihan yang salah tempat. Fakta bahwa korupsi di Indonesia telah merugikan negara triliunan rupiah.

Fakta bahwa korupsi telah membuat jutaan rakyat tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Fakta bahwa tanpa perampasan aset yang tegas, korupsi akan terus dianggap sebagai bisnis menguntungkan dengan risiko minimal.

Menanggapi kekhawatiran tentang nasib keluarga koruptor, dilansir Suara.com, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto memberikan penjelasan yang lugas di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Rabu (9/4/2025): "Terkait mengenai masalah tidak menyentuh keluarganya, tentunya itu perlu dilihat konteksnya. Apabila ada hal-hal yang dinikmati oleh keluarga dan diketahui secara nyata, ada mekanisme di undang-undang tindak pidana pencucian uang."

Pernyataan ini menegaskan bahwa sistem hukum kita sudah memiliki mekanisme untuk membedakan antara pihak yang terlibat dan tidak terlibat. Keluarga yang tidak mengetahui asal-usul harta tentu memiliki posisi hukum yang berbeda dengan mereka yang sadar bahwa kekayaan yang mereka nikmati berasal dari tindak pidana korupsi.

Perampasan aset koruptor bukanlah tindakan semena-mena, melainkan upaya pemulihan keadilan. Ketika dana hasil korupsi dikembalikan ke kas negara, rakyatlah yang diuntungkan. Dana tersebut dapat digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur yang akan memperbaiki kualitas hidup seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir keluarga koruptor.

Indonesia sudah terlalu lama digerogoti oleh budaya toleransi terhadap korupsi. Pendekatan "lembut" yang selama ini diterapkan terbukti tidak efektif dalam menimbulkan efek jera.

Para koruptor cenderung menganggap hukuman penjara sebagai "risiko profesi" yang sepadan dengan keuntungan yang mereka dapatkan, apalagi jika harta kekayaan mereka tetap bisa dinikmati oleh keluarga. Tanpa adanya konsekuensi ekonomi yang nyata, korupsi akan terus menjadi pilihan "rasional" bagi mereka yang tamak.

Keadilan sosial menuntut agar kerugian negara dikembalikan sepenuhnya. Perampasan aset bukanlah tentang menghukum keluarga koruptor, tetapi tentang memulihkan hak rakyat yang telah dirampas. Inilah esensi dari keadilan yang sesungguhnya.

Pertanyaan Presiden Prabowo seharusnya tidak mengaburkan fokus utama kita: memberantas korupsi dengan segala cara yang dibenarkan hukum. RUU Perampasan Aset harus segera disahkan tanpa dilemahkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang tidak relevan. Keadilan bagi rakyat tidak boleh dikompromikan.

Indonesia membutuhkan ketegasan dalam memberantas korupsi. Kita membutuhkan sistem hukum yang tidak ragu-ragu dalam mengembalikan kerugian negara, yang berarti mengembalikan hak rakyat. Tanpa perampasan aset yang tegas, pemberantasan korupsi hanyalah slogan kosong tanpa dampak nyata.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti mengkhawatirkan nasib para koruptor dan keluarganya, dan mulai memikirkan nasib jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban sesungguhnya dari kejahatan korupsi. Keadilan tidak boleh pilih kasih. Keadilan tidak boleh dikompromikan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sabit Dyuta