Gerakan pendidikan Taman Siswa pada masa kolonial masih sangat relevan dengan situasi hari ini. Ketika dunia semakin terbuka dan arus globalisasi bukan saja menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kota, melainkan juga masyarakat desa. Dikatakan masih relevan karena pada awal abad ke-20, arus budaya Barat (kolonial Belanda) di Indonesia juga sangat kuat.
Sebagai gerakan budaya yang memilih metode pendidikan, Taman Siswa merupakan bagian dari identitas Yogyakarta. Bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono X menyebutkan bahwa Taman Siswa merupakan pilar Yogyakarta selain keraton dan UGM. Oleh karena itu, mempelajari kembali Taman Siswa pada masa kolonial dalam konteks melihat pendidikan dan pembangunan jati diri masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta pada masa kini merupakan hal yang penting.
Pendidikan dan Budaya Kolonial pada Awal Abad ke-20
Keberhasilan Politik Etis dalam pendidikan di antaranya dapat diukur melalui perkembangan budaya kolonial dalam masyarakat bumiputra yang pada awal abad ke-20 menunjukkan perkembangan yang pesat. Sebagaimana digambarkan Takashi Shiraishi, "kemajuan" dan "modernitas" menjadi semboyan baru masyarakat.
Daya tarik "kemajuan" dan "modernitas" tersebut membawa konsekuensi terhadap menguatnya keinginan bersekolah, terbukti dengan Departemen Pengajaran yang tidak dapat menampungnya. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh guru-guru pensiunan dan juga beberapa orang Jawa untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta yang bersifat Barat.
Selain terkait dengan status sosial dan gaya hidup, daya tarik pendidikan modern Barat juga terkait dengan kepentingan untuk mendapatkan pekerjaan. Pendidikan modern Barat membentuk kelas elit baru dalam stratifikasi sosial serta menciptakan standar budaya dan gaya hidup baru di lingkungan masyarakat bumiputra.
Pengubahan nama panggilan dari nama-nama Jawa menjadi nama-nama asing merupakan salah satu potret bagaimana masyarakat bumiputra bermimpi menjadi bagian dari kelompok masyarakat pemilik budaya Kolonial Belanda. Ki Hadjar Dewantara menggambarkan kondisi tersebut dengan mengemukakan:
"Kita merasa ada semu kebahagiaan dan kepuasan sedikit dalam diri kita, kalau kita berkesempatan untuk bergaul dengan orang Eropa, berbitjara Belanda, sekalipun dengan bangsa sendiri, atau berpakaian setjara barat, mengatur rumah kita setjara barat. Malah kita masih lebih landjut dalam ketjondongan meniru kita: suatu pesta keluarga akan terpandang kurang atau tidak sopan, kalau tanpa makanan barat, tanpa jazz-band, tanpa minuman keras dari Schiedam sendiri, hal-hal jang perlu untuk kesenangan "modern" dan kebebasan setjara "eropa". Meniru-niru kebaratan ini kita lakukan djuga dalam hidup intim kita di lingkungan rumah. Sedapat mungkin jang dalam pandangan orang Barat tidak baik atau tidak indah kita buang. Anak laki-laki kita namakan "Johnny" kalau namanya Soedjono atau "Marietje" kalau sebagai anak perempuan ia mempunjai nama Soemariah. Dengan begitu kita berdiri sedjadjar dengan Belanda."
Demikianlah gambaran singkat bagaimana pendidikan modern Barat menjadi daya tarik bagi masyarakat bumiputra dan menciptakan sistem sosial budaya dengan standar Kolonial Belanda.
Namun, dominasi kultural Barat pada awal abad ke-20 tersebut kemudian memicu reaksi dengan kemunculan institusi-institusi pendidikan yang bertujuan untuk membangun jati diri masyarakat bumiputra dengan standar yang berbeda. Pendidikan Taman Siswa merupakan sistem pendidikan nasional yang memperjuangkan pembangunan masyarakat Indonesia dengan jati diri dan budaya yang berbeda dengan kolonial.
Membangun Jati Diri Masyarakat Modern Indonesia
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo, sejak diperkenalkannya lembaga pendidikan modern, baik penguasa lokal maupun masyarakat Yogyakarta memberikan respon yang baik dan memberikan dukungan terhadap perkembangannya.
Dengan landasan filosofi Taman Siswa pada budaya ketimuran, penyelenggaraan pendidikannya merupakan upaya untuk meng-counter dominasi budaya kolonial. Di tengah arus modernisasi dan masyarakat yang menggandrungi identitas modern, Taman Siswa memperkenalkan identitas modern "lain". Oleh karena itu, lahirnya pendidikan Taman Siswa pada dasarnya merupakan bagian dari proses modernisasi pada awal abad ke-20.
Taman Siswa yang mengkampanyekan "Kembali dari Barat ke Timur" memiliki kecenderungan tercitrakan sebagai lembaga pendidikan yang bersifat tradisional. Di antara para peneliti Taman Siswa, Ruth T. McVey yang menilai Taman Siswa sebagai pendidikan modern. Bahkan McVey berpandangan bahwa pendidikan Taman Siswa lebih modern dibandingkan institusi lain karena Taman Siswa menggunakan standar modernitas internasional, yang pada awal abad ke-20 bukan lagi diukur dengan standar Eropa dan Amerika melainkan bagaimana mereka mampu menentukan jalan sendiri menuju masa depan. Kenji Tsuciya juga menilai bahwa gagasan-gagasan dalam Taman Siswa melebihi gagasan-gagasan Barat.
Dengan meminjam pandangan dua ilmuwan di atas, dapat dikemukakan bahwa prinsip dasar pendidikan Taman Siswa yaitu kemerdekaan dan kemandirian merupakan modernitas yang menggunakan standar dunia internasional pada awal abad ke-20. Pendidikan nasionalis yang menjadi identitasnya merupakan kesadaran untuk menentukan masa depan dengan kemampuan sendiri. Pemahaman dan kesadaran tentang tren yang terjadi di dunia internasional tersebut selain diwujudkan melalui konsep pendidikannya, juga tercermin dengan kampanye Taman Siswa tentang pentingnya penguasaan bahasa Inggris.
Ki Hadjar Dewantara berpandangan bahwa awal abad ke-20 merupakan zaman asosiasi antara Timur dan Barat, yaitu zaman adanya percampuran kultur yang bisa menimbulkan efek baik dan buruk. Dalam menghadapi perkembangan dunia tersebut Ki Hadjar Dewantara berpendapat:
"Alotnja untuk mengurangi bahaja itu ialah pendidikan. Pendidikan pada anak-anak kita, pada orang-orang banjak dalam masyarakat. Dan jang tidak boleh kita lupakan jaitu: pendidikan nasional, joitu mendidik rakjar kita untuk keperluan kita dengan mengindahkan kultur Idasar dasar kehidupan kita."
Dasar penyelenggaraan pendidikan Taman Siswa adalah perpaduan antara kebudayaan sendiri dan kebudayaan asing yang unsur-unsurnya masih dapat digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, ketika Ki Hadjar Dewantara menggali kesenian daerah sebagai bagian metode pendidikan, hal tersebut dilakukan bukan sekedar untuk memperkuat budaya Timur, melainkan juga dilandasi dengan teori psikologi pendidikan hasil penelitian Rudolf Steiner, seorang ilmuwan Swiss, yang menganjurkan pelajaran wirama (rythme) di dalam perguruan.
Dasar pemikiran dalam Taman Siswa tersebut menghadirkan ciri-ciri modern yang dalam hal-hal tertentu tidak berbeda dengan perkembangan modernitas di Indonesia. Hal tersebut diantaranya teridentifikansi dari keberadaan atau kepemilikan media massa yang berupa majalah, toko buku, dan usaha percetakan.Dengan menelusuri karakternya, dapat dikemukakan bahwa pendidikan Taman Siswa pada dasarnya bertujuan untuk membangun masyarakat nasionalis yang modern dengan cirikhas merdeka dan mandiri.
Apa yang dikonsepsikan dalam pendidikan Taman Siswa menunjukkan bahwa jati diri adalah sesuatu yang harus digali dan dibentuk. Jati diri masyarakat dibangun tidak hanya dengan menggali kembali budaya lokal, melainkan juga mendialogkannya dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Taman Siswa yang mengembangkan pendidikannya untuk meng-counter dominasi budaya kolonial Belanda. Tidak menunjukkan sikap anti terhadap semua budaya tersebut, melainkan melakukan filter terhadapnya. Demikian pula tentunya yang seharusnya dilakukan masyarakat, termasuk kita saat ini. Arus globalisasi semakin tidak bisa dibendung, dan kita tidak mungkin mampu bersembunyi atau menghindarinya. Dunia yang 'tanpa batas' menuntut manusia-manusia dengan jati diri yang kuat agar tidak terombang-ambing arus.
Referensi:
- Surjomihardjo, Abdurrachman. 2000. Sejarah Perkembangan Sosial, 1880-1930. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
- Dewantara, Ki Hajar. 1962. "Pendidikan Nasional: Pengantar Kata" Bagian Pertama. Yogyakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hajar. 1967. Bagian II A. Kebudayaan. Yogyakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa. - McVey, Ruth T. 1967. "Taman Siswa and the Indonesian National Awakening". Indonesia, (4) hlm. 132. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. jstor.org.
- Shiraishi, Takashi. 1997. Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, hlm. 35-36. Jakarta: Grafiti.
- Tsuchiya, Kenji. 1986. "Perjuangan Taman Siswa dalam Pendidikan Nasional". Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Artikel Terkait
-
Ki Hadjar Dewantara dalam Revitalisasi Kurikulum yang Relevan
-
Menghidupkan Semangat Ki Hadjar Dewantara dalam Politik Pendidikan Era AI
-
Mahasiswa PPG FKIP Unila Asah Religiusitas Awardee YBM BRILiaN Lewat Puisi
-
Meneropong Kehidupan Pendidikan di Era AI dan Kehilangan Nilai Literasi
-
Menyelami Filosofi Ki Hadjar Dewantara di Era Pendidikan Deep Learning
Kolom
-
Perantara Melalui Sang Dewantara: Akar Pendidikan dan Politik Bernama Adab
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Ngopi Sekarang Bukan Lagi Soal Rasa, Tapi Gaya?
-
Penurunan Fungsi Kognitif Akibat Kebiasaan Pakai AI: Kemajuan atau Ancaman?
-
Komitmen Relawan Mahasiswa, Sekadar Formalitas atau Pilihan Hati?
Terkini
-
5 Rekomendasi Film Baru Sambut Akhir Pekan, Ada Pengepungan di Bukit Duri
-
Mengenal Chika Takiishi, Antagonis Wind Breaker Terobsesi Kalahkan Umemiya
-
4 Tampilan OOTD ala Tzuyu TWICE, Makin Nyaman dan Stylish!
-
Banjir Cameo, 4 Karakter Hospital Playlist Ini Ramaikan Resident Playbook
-
The Help: Potret Kefanatikan Ras dan Kelas Sosial di Era Tahun 1960-an