Hikmawan Firdaus | Thedora Telaubun
Fotografi Seorang Pria dan Wanita Tertawa (Pexels/ Min An)
Thedora Telaubun

Di banyak keluarga Indonesia, topik tentang pacaran sering kali terasa lebih sensitif daripada pembicaraan soal politik atau uang. Begitu kata “pacar” terucap, suasana ruang tamu mendadak berubah hening. 

Orang tua memilih diam, anak buru-buru mengganti topik. Dalam banyak kasus, percakapan seperti ini berhenti bukan karena tidak penting, tetapi karena dianggap tabu.

Tabu ini bukan muncul begitu saja. Ia tumbuh dari nilai-nilai budaya yang menempatkan urusan cinta sebagai hal yang “terlalu pribadi” untuk dibicarakan. 

Padahal, bagi banyak remaja, fase kedekatan dan relasi romantis merupakan bagian penting dari pembentukan identitas dan kematangan emosional.

Tabu yang Dibentuk Budaya dan Agama

Fenomena ini berakar dalam struktur sosial masyarakat Indonesia yang masih menempatkan pembicaraan soal relasi romantis sebagai wilayah sensitif. 

Setiawan (2019) dalam Buletin Psikologi Universitas Gadjah Mada mencatat bahwa pandangan orang tua dan masyarakat terhadap pacaran masih bersifat ambivalen: di satu sisi, relasi romantis dianggap wajar dalam perkembangan remaja, tetapi di sisi lain, pembicaraannya masih dianggap “tidak pantas”.

Budaya dan agama turut membentuk cara masyarakat memandang cinta. Norma sosial yang menekankan kesopanan sering kali membuat topik seputar hubungan romantis dianggap terlalu pribadi untuk dibicarakan secara terbuka, bahkan di lingkungan keluarga sendiri.

Nilai kesopanan dan moral sering kali diterjemahkan menjadi larangan untuk terbuka.

Akibatnya, banyak remaja tumbuh dengan pemahaman bahwa cinta adalah sesuatu yang sebaiknya disembunyikan.

Mereka belajar dari teman sebaya, sinetron, atau media sosial, bukan dari orang tua yang seharusnya menjadi sumber nilai dan arahan.

Saatnya Menormalisasi Percakapan

Menganggap pembicaraan soal pacaran sebagai hal tabu hanya memperlebar jarak emosional antara orang tua dan anak.

Di satu sisi, orang tua ingin anaknya berhati-hati; di sisi lain, anak merasa tidak dipercaya. Ruang keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru menjadi ruang penuh diam.

Sudah saatnya keluarga Indonesia menormalisasi pembicaraan tentang cinta. Tujuannya bukan untuk membebaskan anak, tetapi untuk memberi arah dan nilai dalam menjalin hubungan.

Ketika percakapan ini terjadi dengan hangat, anak tidak hanya belajar mencintai orang lain, tetapi juga belajar memahami dirinya sendiri.

Selama tabu ini dipertahankan, keluarga akan terus kehilangan perannya sebagai “sekolah pertama” dalam belajar mencintai.

Dan selama itu pula, topik pacaran akan tetap menjadi percakapan yang gagal lolos di ruang tamu, padahal justru di situlah tempat terbaik untuk mulai membicarakannya.