Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Christina Natalia Setyawati
Smartphone (Pixabay/Iqbalstock)

Isu keamanan perangkat seluler dan potensi penipuan daring terus menjadi perhatian publik. Di tengah perdebatan mengenai efektivitas berbagai kebijakan, muncul gagasan bahwa Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dapat mengambil peran lebih aktif dalam mendorong adopsi embedded SIM (e-SIM) sebagai salah satu langkah preventif. Meskipun gagasan ini bukannya tanpa kontroversi, potensi e-SIM dalam meningkatkan keamanan patut untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

E-SIM, yang merupakan kartu SIM digital tertanam langsung di perangkat, menawarkan beberapa keunggulan keamanan dibandingkan kartu SIM fisik tradisional. Salah satunya adalah mempersulit pelaku kejahatan untuk melakukan penggantian kartu SIM tanpa sepengetahuan pemilik. Proses penggantian kartu SIM fisik seringkali menjadi celah bagi penipu untuk mengambil alih nomor telepon korban dan menguras rekening bank atau melakukan tindakan kejahatan lainnya.

Dengan e-SIM, proses pemindahan nomor telepon ke perangkat lain memerlukan verifikasi yang lebih ketat dan sering kali melibatkan otentikasi dari pemilik perangkat secara langsung. Hal ini secara signifikan dapat mempersulit upaya SIM swap yang menjadi momok bagi pengguna ponsel.

Namun, gagasan untuk menjadikan e-SIM sebagai solusi utama pencegahan penipuan juga menuai kontroversi. Beberapa pihak berpendapat bahwa fokus seharusnya lebih kepada peningkatan literasi digital masyarakat dan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kejahatan siber. Selain itu, ketersediaan infrastruktur dan dukungan operator seluler untuk e-SIM juga perlu menjadi perhatian agar adopsinya dapat merata di seluruh lapisan masyarakat.

"Makasih sosialisasinya, Bu. Tapi HP saya belum support e-SIM. Jadi untuk kali ini skip dulu ya," komentar salah satu pengguna media sosial tentang postingan yang mengusut informasi ini.

"Skip dulu. E-SIM di Indonesia masih belum support migrasi antar-device, jadi ribet kalo ganti HP."

"Beberapa brand HP udah ngasih fitur keamanan ekstra. Coba urusin yang mendasar dulu. Data KTP bocor yang banyak di google contohnya."

"Ha, mbok maksimalin dulu app pemerintah yang kurang fungsional itu, Bu. App harga miliaran pada malfungsi kok. E-KTP yang masih fotokopi, SIM pakai cip ya tetep diminta fisik, akta lahir digital, dan kartu keluarga digital ya tetep ngurus apa-apa harus fisik, cetak, dan copy. Terus web pemerintah muncul iklan judolnya."

"Gak perlu sosialisasi, Bu. Keluarin aja kebijakan tiap perusahaan HP harus memproduksi dengan sistem E-SIM full. Tapi gak ada sosialisasi, gaada uang sama tampil ke permukaan yak?"

"Bu, bukan masalah e-SIM atau enggaknya. Yang terjadi di masyarakat, data banyak yang bocor sehingga mereka di telepon-telepon."

Meskipun demikian, potensi e-SIM sebagai lapisan keamanan tambahan tidak dapat diabaikan. Komdigi memiliki peran strategis untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai manfaat dan keamanan e-SIM. Kerja sama dengan operator seluler juga krusial untuk memastikan ketersediaan layanan e-SIM yang terjangkau dan mudah diakses.

Terlepas dari potensi yang ditawarkan, Kominfo perlu menghindari euforia berlebihan terhadap e-SIM sebagai silver bullet pemberantasan kejahatan seluler. Implementasi e-SIM secara terburu-buru tanpa mengatasi akar permasalahan seperti lemahnya sistem verifikasi operator dan rendahnya literasi digital masyarakat justru berisiko menciptakan ilusi keamanan semata. 

Alih-alih menjadi solusi instan, e-SIM harus dilihat sebagai salah satu elemen dalam ekosistem keamanan digital yang lebih luas. Pemerintah, melalui Komdigi, memiliki tanggung jawab besar untuk tidak hanya mendorong adopsi teknologi baru, tetapi juga memastikan bahwa infrastruktur pendukungnya kuat, regulasinya jelas dan berpihak pada konsumen, serta penegakan hukum terhadap kejahatan siber berjalan efektif. Tanpa langkah-langkah komprehensif ini, harapan bahwa e-SIM akan secara signifikan menekan angka penipuan seluler bisa jadi hanya akan menjadi angan-angan belaka. Diskursus publik yang jujur dan evaluasi yang ketat terhadap efektivitas e-SIM dalam konteks keamanan digital Indonesia menjadi krusial sebelum kebijakan ini didorong lebih jauh.

Sebagai penutup, penting untuk ditekankan bahwa inisiatif mendorong adopsi e-SIM oleh Komdigi, meskipun menjanjikan dari sudut pandang keamanan, tidak boleh dilihat sebagai pengganti upaya fundamental lainnya. Peningkatan literasi digital masyarakat agar lebih waspada terhadap berbagai modus penipuan, pembenahan sistem keamanan dan verifikasi di tingkat operator seluler, serta penegakan hukum yang tegas dan transparan terhadap pelaku kejahatan siber tetap menjadi pilar utama dalam memberantas penipuan melalui perangkat seluler.

E-SIM, dengan implementasi yang tepat dan terukur, berpotensi melengkapi upaya-upaya tersebut, namun efektivitasnya akan sangat bergantung pada sinergi dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan terpercaya bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Christina Natalia Setyawati