Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Alfino Hatta
Ki Hadjar Dewantara, Pelopor dan Menteri Pertama Pendidikan Indonesia (Perpusnas)

Pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara, adalah ladang subur untuk menanam benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam pandangannya, pendidikan harus berpijak pada kodrat alam dan kodrat zaman, berakar pada kebudayaan lokal, dan berkelanjutan dengan nilai-nilai luhur masa lalu. Namun, di tengah arus globalisasi dan komersialisasi pendidikan, gagasan Ki Hadjar tampak semakin tersisih.

Pendidikan nasional kini cenderung mengejar standar global dengan mengorbankan identitas budaya lokal, bahasa daerah, dan kearifan tradisional. Fenomena ini diperparah oleh minimnya perhatian terhadap pelestarian kebudayaan dalam sistem pendidikan formal, sebagaimana tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan laporan organisasi non-profit.

Pendidikan sebagai Fondasi Kebudayaan

Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan sebagai ruang sakral untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang berpangkal pada kebudayaan lokal. Menurut Pranata SSP dalam buku Ki Hadjar Dewantara: Perintis Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1959), semboyan Taman Siswa berbunyi: “Dari natur ke kultur, dari kodrat alam ke kebudayaan, kodrat alamlah pangkalnya dan kebudayaanlah ujung usaha pendidikan.” Semboyan ini menegaskan bahwa pendidikan harus berakar pada kodrat alam—sifat dan lingkungan alami peserta didik—menuju kebudayaan yang mencerminkan identitas nasional.

Kebudayaan yang dimaksud mencakup khazanah lokal seperti kesenian, sastra, dongeng, hikayat, cerita rakyat, tari, dan peninggalan sejarah seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Mempelajari warisan ini tidak hanya memperdalam cinta terhadap kebudayaan, tetapi juga mendorong refleksi kritis tentang posisi kebudayaan kita saat ini. Sebagaimana diungkapkan Radhar Panca Dahana, capaian kebudayaan kita mengalami penurunan signifikan dibandingkan masa lalu.

Melansir Badan Pusat Statistik dalam Statistik Pendidikan 2023, hanya 10% kurikulum pendidikan dasar dan menengah mengintegrasikan muatan lokal seperti bahasa daerah atau kesenian tradisional, dengan alokasi waktu kurang dari 5% jam pelajaran. Ini menunjukkan rendahnya prioritas pelestarian kebudayaan dalam pendidikan formal.

Yayasan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) melaporkan bahwa komunitas lokal di Indonesia Timur kesulitan mempertahankan tradisi budaya karena kurangnya dukungan pendidikan formal. Globalisasi telah menjadikan kebudayaan sekadar atraksi komersial, seperti festival seni, tanpa makna mendalam.

Pergeseran Pendidikan di Era Globalisasi

Globalisasi telah mengubah paradigma pendidikan di Indonesia. Pemerintah dan dinas pendidikan menyesuaikan kurikulum dengan tuntutan global, menempatkan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sebagai prioritas. Politik bahasa ini bertentangan dengan prinsip Ki Hadjar yang menekankan pelestarian bahasa lokal. Mengutip Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), hanya 12% sekolah dasar mengajarkan bahasa daerah secara konsisten pada 2022/2023. Akibatnya, bahasa daerah terpinggirkan, dan kebudayaan lokal dimanfaatkan secara artifisial untuk pariwisata atau festival budaya.

Pergeseran ini juga terlihat dalam praktik pendidikan. Kurikulum Barat, pola berpakaian, cara bergaul, hingga tata cara pendidikan meniru budaya asing tanpa penyaringan kritis. Menurut Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) Kemendikbudristek, hanya 15% sekolah menengah atas memiliki ekstrakurikuler berbasis budaya lokal pada 2022. Pendidikan yang seharusnya memanusiakan terjebak dalam logika pasar, mengukur keberhasilan dari kemampuan bersaing global, bukan penguatan identitas budaya.

Prinsip Trikon dan Budi Pekerti

Ki Hadjar menawarkan tiga kerangka kebudayaan: kodrat alam dan kodrat zaman, asas trikon, serta budi pekerti. Kodrat alam berkaitan dengan lingkungan peserta didik, sedangkan kodrat zaman menuntut keterampilan abad 21. Melansir USAID, distribusi guru yang tidak merata menghambat pendidikan berbasis konteks lokal, dengan banyak daerah kekurangan guru yang memahami budaya setempat. Pendidikan harus peka terhadap keragaman, bukan menyeragamkan kurikulum global.

Asas trikon mencakup kontinuitas (dialog kritis dengan sejarah), konvergensi (penguatan nilai kemanusiaan), dan konsentrisitas (menghormati keberagaman). Mengutip Balitbang Kemendikbudristek, hanya 20% kurikulum nasional 2023 mengintegrasikan nilai kemanusiaan berbasis budaya lokal, jauh dari visi holistik Ki Hadjar. Budi pekerti, perpaduan cipta, karsa, dan karya, menekankan pendidikan seimbang. Semboyan “Kita berhamba kepada Sang Anak” mencerminkan pengabdian guru untuk peserta didik, bebas dari motif komersial. Menurut World Top 20 Education Poll, sistem pendidikan Indonesia peringkat 67 dari 203 negara pada 2023, lemah dalam pembentukan karakter berbasis budaya lokal.

Tantangan Komersialisasi Pendidikan

Komersialisasi menjauhkan pendidikan dari gagasan Ki Hadjar, berfokus pada output material seperti peringkat sekolah atau kemampuan berbahasa asing. Mengutip Integritas: Jurnal Antikorupsi, korupsi seperti penyalahgunaan dana BOS memperparah komersialisasi, dengan sekolah mengutamakan keuntungan finansial. Melansir Badan Pusat Statistik, investasi pendidikan berbasis kebudayaan hanya 5% dari anggaran pendidikan nasional 2022.

Solusi Mengembalikan Esensi Pendidikan

Untuk mengatasi komersialisasi, kurikulum harus mengintegrasikan muatan lokal secara substansial. Mengutip Kemendikbudristek, Kurikulum Merdeka memungkinkan pengembangan muatan lokal, tetapi hanya 30% sekolah mengimplementasikannya efektif pada 2023 karena minimnya pelatihan guru. Pemerintah harus meningkatkan investasi pelatihan guru untuk mengajar bahasa daerah dan kesenian tradisional.

Pendidikan harus menanamkan sikap kritis terhadap globalisasi, memilah nilai global yang sesuai dengan kodrat alam dan zaman. Peran guru sebagai fasilitator nilai kemanusiaan harus diperkuat. Menurut USAID Partnerships for Productivity (PADU), kemitraan pemerintah dan swasta dapat meningkatkan pelatihan guru berbasis kebudayaan. Koordinasi data pendidikan berbasis kebudayaan juga perlu diperkuat, sebagaimana diusulkan Balai Pengembangan PAUD dan Dikmas NTT melalui Dapodik PAUD-DIKMAS.

Gagasan Ki Hadjar tentang pendidikan sebagai persemaian kebudayaan tetap relevan. Pendidikan berbasis kodrat alam, kodrat zaman, asas trikon, dan budi pekerti menawarkan kerangka holistik dan memanusiakan. Dengan mengintegrasikan nilai lokal, memperkuat peran guru, dan meningkatkan koordinasi data, kita dapat mewujudkan cita-cita Ki Hadjar: generasi cerdas, berbudaya, dan bermartabat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Alfino Hatta