Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Aulia Omar Nugraha
Pidato sambutan Ki Hadjar Dewantara dala reepsi Rapat Besar VIII Tamansiswa (2 Mei 1970). — (Koleksi istimewa Museum Dewantara Kirti Griya)

Sang pencetus semboyan tersebut adalah Ki Hadjar Dewantara yang bernama lahir Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ki Hadjar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 dari keluarga bangsawan Kadipaten Pakualam. Beliau merupakan putra dari G.P.H. Soerjaningrat dengan Raden Ayu Sandiah dan cucu dari Paku Alam III.

Status ningrat yang ia miliki membuatnya mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School. Meskipun sudah ditinggalkan ibunya sejak umur 7 tahun karena meninggal, Soewardi tetap semangat untuk menjalani pendidikan. Setelah lulus dari ELS, Soewardi lalu melanjutkan pendidikan ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), sekolah dokter bumiputera pada 1905-1910.

Namun, karena sakit ia tidak naik kelas hingga beasiswanya dicabut. Konon, ada alasan besar lain yang membuat beasiswa Soewarji dicabut. Soewarji membacakan sajak tentang Ali Basah Sentor Prawirodirdjo, seorang panglima Perang Pangeran Diponegoro. Sajak tersebut membuat Soewardi dianggap pemicu timbulnya pemberontakan terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Setelah keluar dari STOVIA, Di sinilah karier jurnalis, aktivisme dan politik Soewardi dimulai.

Beberapa tempat surat kabar yang ia pernah tulis yaitu Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Muoeda, Tjahaja Timur, dan Poesara. Gaya penulisannya dianggap koheren, kritis, dan patriotik. Hal tersebut memicu banyak sentimen dari pihak Belanda karena karya-karya beliau memantik semanagat dan pemberontakan rakyat Indonesia kala itu. Soewardi bergabung dengan Budi Utomo sejak 1908. Soewardi berprinsip bahwa kemajuan bangsa harus diawali dengan kesadaran rakyat Indonesia akan pentingnya persatuan dan kesatuan. 

Partai Politik Pertama di Hindia Belanda

Selepas dari Budi Utomo, Soewarji bertemu Ernest Douwes Dekker di De Express dan akhirnya mereka bertiga dengan Tjipto Mangoenkoesoemo mendirikan partai politik yaitu Indische Partij. Pada tahun 1912, organisasi politik ini merupakan wadah pergerakan nasional yang pertama di Indonesia, di sini pula julukan Tiga Serangkai tercipta.

Para penggagas Indische Partij ini memiliki peran yang sangat vital dalam menyuarakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di hari kemerdekaan Belanda dari jajahan Prancis (1993), rakyat Indonesia dibebankan dengan pemungutan sumbangan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Dana tersebut digunakan untuk merayakan kemerdekaan Belanda dari jajahan Prancis

Peristiwa tersebut memicu Soewardi menuangkan reaksi kritis lewat tulisannya yang paling terkenal yaitu "Als Ik Eens Nederlander Was" (Andai aku seorang Belanda) dan "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu) pada 1913. Karya ini membuat Soewardi ditangkap pemerintah Hindia-Belanda dan diasingkan bersama dua rekannya Ernest Douwes Dekker serta Tjipto Mangoenkoesoemo ke Belanda.

Masa Pengasingan Belanda Menjadi Berkah Terselubung

Hidup jauh dari Indonesia tidak lantas membuat semangat perjuangan Tiga Serangkai luntur. Di sana mereka bersahabat dengan surat kabar "Het Volk" dan "De Nieuwe Groene Amsterdammer". Surat kabar tersebut mengijinkan Tiga Serangkai ini untuk menyalurkan pikiran-pikirannya tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia lewat tulisan. Efek domino dari peristiwa itu ternyata membuat para mahasiswa Indonesia di Belanda yang tergabung dalam "Indische Vereeniging" berani mengubah nama organisasinya menjadi "Perhimpunan Indonesia"

Menjalani masa pengasingan di negeri Belanda malah membuat Soewardi mendapat banyak pelajaran, utamanya tentang masalah pendidikan dan pengajaran. Ia bahkan berhasil memperoleh Europeesche Akta, sebuah ijazah dalam bidang Pendidikan. Soewardi bertekad setelah masa pembuangannya selesai pada 1918, ia ingin membebaskan rakyat Indonesia dari kebodohan.

Mengutip dari buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (2017). Berkenan dengan politik, M. Yamin memberikan catatannya bahwa "Dalam pandangan Ki Hadjar, politik tidak mampu mengubah keadaan bangsa Indonesia. Politik justru semakin melahirkan kekisruhan yang semakin besar bagi dinamika kehidupan bangsa sebelum ada penguatan pendidikan dalam tubuh bangsa ini…"

Soewardi meyakini bahwa politik bukanlah cara mengubah keadaan bangsa. Politik malah menjadi bahan bakar kekacauan bangsa jika tidak ada fundamental pendidikan. Politik hanya akan menjadi instrumen propaganda yang dapat menghancurkan bangsa. Istri beliau, Nyi Hadji Dewantara juga membenarkan hal tersebut, bahwa Soewardi tidak cocok untuk berjuang di garis politik karena sifat emosionalnya.

Soewardi akhirnya menemukan rute lain untuk berjuang dalam aktivisme dan politik, yaitu sebelum berpolitik sebaiknya terlebih dahulu mengedukasi dan mendidik para rakyat. Keadaan tersebut membuatnya berpikir untuk mengarahkan konsentrasinya ke pendidikan.

Berganti Konsentrasi Arah Perjuangan

Peralihan perjuangan Soewardi tercapai pada tahun 1922 ketika beliau mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa guna memasukkan rasa kebangsaan dalam mencapai kemerdekaan. Taman Siswa memberikan kesempatan dan hak Pendidikan yang setara bagi para pribumi yang tidak didapatkan seperti orang-orang Belanda.

Tempat ini juga membuat Dewantara mengubah namanya yang sebelumnya adalah Soewardi Soerjononingrat menjadi Ki Hadjar Dewantara dan melepas gelar bangsawan agar memudahkan beliau berbaur dan mendekat kepada rakyat tanpa ada sentimen atau isu kelas sosial.

Taman Siswa menjadi saksi terciptanya salah satu semboyan legendaris di Indonesia yaitu, "Ing Ngarsa Sung Tuladha" berarti siapa yang di depan haruslah memberikan teladan atau contoh yang baik. "Ing Madya Mangun Karsa" berarti yang di tengah harus memberikan ide atau gagasan. "Tut Wuri Handayani" berarti yang di belakang harus memberikan dorongan.

Ki Hadjar Dewantara mengkombinasikan antara model pendidikan sekolah Maria Montessori di Italia dan Rabindranath Tagore di India pada sekolah Taman Siswa. Pemikiran politik Ki Hadjar Dewantara dilakukan dengan multifaset, bukan hanya bidang politik melulu tetapi juga sosial dan kultural. Ia juga sangat menekankan nilai kesetaraan, tidak ada kelas sosial antara kaya dan miskin, penjajah dan terjajah, kuat dan lemah. Taman Siswa juga mengarah dan menonjolkan kepada sifat kerakyatan atau kesetaraan yang mengarahkan kepada politik pembebasan atau kemerdekaan. 

Taman Siswa Adalah Monumen

Pada akhirnya kegelisahan dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara berhasil dituangkan dalam bentuk Taman Siswa. Taman Siswa merupakan bukti konkret bahwa Dewantara berhasil menyerasikan antara pendidikan dan politik harus berjalan beriringan untuk mencapai kemerdekaan bersama.

Ki Hadjar Dewantara berpikir bahwa sebelum berpolitik rakyat harus cerdas terlebih dahulu, supaya bisa memilih prinsip politik yang adil dan transparan serta sesuai dengan prinsip masing-masing. Demikian, secara tidak langsung Dewantara tetaplah aktif berpolitik untuk perjuangan memajukan Indonesia hanya saja jalan yang dipilih adalah pendidikan dan Taman Siswa sebagai sarana terbaiknya.

Aulia Omar Nugraha

Baca Juga