Ki Hadjar Dewantara merupakan figur sentral dalam sejarah pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Dengan latar belakang yang kaya dan kiprah yang luas, ia layak menyandang gelar Bapak Pendidikan Nasional.
Tulisan ini bertujuan merefleksikan peran Ki Hadjar Dewantara dalam lakon pergerakan nasional sebagai pelopor pendidikan Indonesia. Pendekatan spirit-performatif digunakan untuk membaca "laku" dan "lakon" kehidupannya—sebagai bentuk kinerja spiritual dan kultural dalam pengabdian kepada bangsa.
Hasil kajian menunjukkan bahwa spiritualitas menjadi daya hidup utama dalam setiap tindakan Ki Hadjar, yang menjelma menjadi kinerja kebudayaan dan pendidikan. Ia tidak hanya tokoh, tetapi juga pelaku aktif yang menghidupkan semangat kedaulatan melalui pendidikan.
Kesimpulan dari tulisan ini menegaskan bahwa "laku dalam lakon" pergerakan Ki Hadjar Dewantara menjadi bentuk daya-kinerja dalam membangun dan memperjuangkan pendidikan nasional yang berdaulat.
Pendahuluan
Ki Hadjar Dewantara bukan hanya tokoh pendidikan, tetapi juga politisi kultural yang merumuskan jalan politiknya melalui praksis pendidikan. Dalam sejarah Indonesia, ia memainkan peran strategis yang memadukan spiritualitas, kebudayaan, dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Laku hidupnya bukan hanya pengabdian, tetapi juga perlawanan yang performatif—suatu bentuk politik kultural yang berakar dari nilai-nilai keindonesiaan. Tulisan ini mencoba merefleksikan jalan politik Ki Hadjar melalui pendekatan spirit-performatif, dengan membaca bagaimana laku hidupnya menjadi daya-kinerja dalam mewujudkan kedaulatan pendidikan Indonesia.
Jalan Politik Melalui Pendidikan
Ki Hadjar Dewantara memulai kiprah politiknya lewat kritik terbuka terhadap kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tulisan terkenalnya “Seandainya Aku Seorang Belanda” (1913) adalah bentuk perlawanan intelektual yang membuatnya dibuang ke Belanda.1 Pengasingan ini justru menjadi titik balik: di sana ia menyerap gagasan-gagasan pendidikan progresif dari tokoh seperti Rabindranath Tagore dan Maria Montessori.
Namun, jalan politik Ki Hadjar berbeda dari aktivisme revolusioner para tokoh sezamannya. Ia tidak memilih jalan senjata, tetapi jalan budaya—dengan membangun kedaulatan pikiran melalui pendidikan. Bagi Ki Hadjar, pendidikan bukan hanya alat reproduksi pengetahuan, melainkan medan pembentukan manusia merdeka. Di sinilah politiknya menjadi unik: ia menolak dikotomi antara guru dan politisi. Baginya, pendidik adalah pejuang, dan kelas adalah medan politik.
Spirit-Performatif: Laku dalam Lakon
Gagasan laku dalam lakon dapat digunakan untuk membaca praksis hidup Ki Hadjar secara performatif. Dalam kerangka ini, laku bukan sekadar tindakan, melainkan pengabdian yang konsisten terhadap nilai spiritual dan kultural. Lakon berarti peran yang dijalani dalam panggung kehidupan sosial-politik.
Melalui Tamansiswa (didirikan 3 Juli 1922), Ki Hadjar tidak hanya menciptakan institusi pendidikan, tetapi juga ruang politik alternatif. Di sini, siswa diajarkan bukan sekadar ilmu, tetapi nilai—termasuk trilogi pendidikan Tamansiswa: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.2 Ini bukan sekadar slogan pedagogis, tetapi fondasi politik etis yang membentuk karakter bangsa.
Dalam hal ini, Ki Hadjar bisa dibaca sebagai figur spirit-performatif—seseorang yang menjadikan spiritualitas dan budaya sebagai energi penggerak politik. Ia tidak membentuk partai, tetapi mendidik manusia yang akan memperjuangkan bangsa. Dengan demikian, tindakan politiknya bersifat jangka panjang, tidak populis, dan bersandar pada daya batin bangsa.
Politik Kultural sebagai Strategi Perlawanan
Sebagai anggota Boedi Oetomo dan kemudian Indische Partij, Ki Hadjar paham benar medan politik kolonial. Namun, setelah menyadari keterbatasan politik formal dalam melawan hegemoni kolonial, ia memilih strategi budaya. Tamansiswa menjadi semacam kawah candradimuka bagi para calon pemimpin bangsa. Di tengah represi politik, lembaga ini menjadi basis produksi gagasan dan karakter.
Ki Hadjar menyadari bahwa kolonialisme tidak hanya menjajah secara fisik, tetapi juga secara kognitif. Oleh karena itu, perlawanan harus dimulai dari pendidikan yang memerdekakan. Dalam hal ini, posisinya sangat dekat dengan Paulo Freire, tokoh pedagogi kritis asal Brasil, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah alat pembebasan ketika berpihak pada rakyat tertindas.3
Refleksi Kritis untuk Indonesia Kini
Di tengah krisis identitas pendidikan Indonesia masa kini—yang terlalu teknokratis dan minim nilai—gagasan Ki Hadjar kembali relevan. Ia mengajarkan bahwa pendidikan harus bertumpu pada kebudayaan dan spiritualitas bangsa. Dalam dunia yang digerus oleh industrialisasi dan globalisasi, pendidikan nasional harus kembali kepada politik kebudayaan, sebagaimana dicontohkan Ki Hadjar.
Bukan kebetulan jika saat ini banyak lembaga pendidikan kehilangan makna. Sekolah menjadi tempat ujian, bukan pembentukan karakter. Guru menjadi administrator kurikulum, bukan pembimbing hidup. Dalam konteks inilah, spirit-performatif Ki Hadjar bisa menjadi cermin: bahwa pendidikan sejati tidak hanya membentuk otak, tetapi juga nurani dan keberanian untuk berpikir merdeka.
Kesimpulan
Ki Hadjar Dewantara menjalani jalan politiknya dengan cara yang khas: melalui pendidikan sebagai medan perjuangan. Dengan semangat spirit-performatif, ia tidak hanya menciptakan institusi, tetapi menghidupkan nilai. Laku hidupnya sebagai pendidik adalah juga lakon politik yang bertujuan membebaskan bangsa dari ketertundukan. Refleksi atas perjuangan politiknya hari ini sangat penting untuk menghidupkan kembali makna pendidikan nasional—bukan sekadar sebagai proyek teknis, tetapi sebagai proyek kebangsaan yang berakar pada nilai, spiritualitas, dan kebudayaan.
Daftar Pustaka:
- Dewantara, Ki Hadjar. Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1961.
- Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum, 1970.
- Soewardi Soerjaningrat. Satu Setengah Abad Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1952.
- Tilaar, H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2002.
Kleden, Ignas. Posisi Kritik dalam Tradisi Intelektual Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1987.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Safnoviar Tiasdi Kuliah atau Gak? Begini Beda Pendidikan TikToker Dilan Janiyar dan Suami
-
Garap Gedung SD Sampai Universitas, Waskita Dukung Asta Cita Presiden Terkait Peningkatan Pendidikan
-
Merdeka Belajar dalam Perspektif Ki Hadjar atau Merdeka dari Belajar?
-
Membaca Gagasan Ki Hadjar Dewantara di Tengah Komersialisasi Pendidikan
-
CEK FAKTA: Prabowo Ganti Program MBG jadi Pendidikan Gratis Seumur Hidup
Kolom
-
Indonesia dan ASEAN: Kerja Sama Perdagangan di Tengah Ketegangan Global
-
Sekolah dan Wacana Nasional Menurut Ki Hadjar Dewantara
-
Proyek Ambisius, Eksekusi Amburadul: Mengulik Kontroversi Program Makan Bergizi Gratis
-
Demokrasi Butuh Guru: Ketika Politik Kehilangan Arah Tanpa Ki Hadjar Dewantara
-
Ki Hadjar di Zaman Now: Membangun Politik Pendidikan yang Berbudaya
Terkini
-
Kkuljaem Edu, Gerbang Menuju Impian Kuliah di Korea Selatan
-
PPG Bahasa Indonesia Tumbuhkan Minat Literasi dengan Pembelajaran yang Asik
-
Paus Fransiskus Wafat, Jumlah Penonton Film 'Conclave' Meningkat 283 Persen
-
5 Upcoming Drama China Li Hongyi, Akting Bareng Wang Churan dan Sun Zhenni
-
Jay Idzes dan Venezia: Ketika Loyalitas Serta Kesetiaan Bertarung Melawan Mimpi Besar