Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rion Nofrianda
Ilustrasi karyawan yang bahagia di tempat kerja (pexels/ Yan Krukau)

Dalam dunia kerja modern yang semakin menuntut, isu keseimbangan kerja dan keluarga (work-family balance) telah menjadi topik sentral dalam berbagai diskusi manajemen sumber daya manusia dan psikologi organisasi. Apalagi dalam sektor ritel, yang sarat dengan sistem kerja bergilir, tekanan target penjualan, dan ekspektasi layanan prima dari konsumen.

Dalam konteks ini, studi berjudul “Work-Family Balance Ditinjau dari Conscientiousness dan Beban Kerja: Peran Family Supportive Supervisor Behaviors sebagai Moderator” yang dipublikasikan oleh Nufaisah Andini Putri dan rekan-rekannya (2025) menawarkan pembacaan baru yang bernas sekaligus menggugah terhadap kompleksitas keseimbangan kerja-keluarga. Penelitian ini bukan hanya relevan secara akademik, namun juga penting secara praktis bagi organisasi yang tengah mencari cara untuk mempertahankan produktivitas tanpa mengorbankan kesejahteraan psikologis karyawannya.

Hal pertama yang layak diapresiasi dari penelitian ini adalah keberanian penulis untuk menautkan secara simultan tiga dimensi yang sangat berbeda namun saling berkelindan: faktor kepribadian individu (dalam hal ini conscientiousness), tekanan situasional berupa beban kerja, serta pendekatan relasional yang diwujudkan dalam bentuk perilaku supervisor yang mendukung keluarga karyawan (Family Supportive Supervisor Behaviors/FSSB).

Dalam menguji pengaruh langsung maupun peran moderasi FSSB, studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi moderasi terhadap 317 karyawan ritel PT Indomarco Prismatama Lampung. Temuan dari penelitian ini tidak hanya menegaskan asumsi teoritis yang selama ini banyak dipercayai, tetapi juga membuka ruang refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi manajerial yang kadang terlalu simplistik dalam memahami work-family balance.

Secara konseptual, conscientiousness yang kerap diterjemahkan sebagai ketekunan, ketelitian, dan tanggung jawab tinggi selama ini dianggap sebagai kualitas kepribadian yang positif. Orang-orang yang conscientious dinilai mampu merencanakan hidup secara teratur, memenuhi tuntutan pekerjaan dengan baik, dan menunjukkan tingkat self-regulation yang tinggi. Namun dalam realitas kerja yang berat, kelebihan ini bisa menjadi pedang bermata dua.

Mereka yang sangat conscientious justru berisiko lebih tinggi mengalami konflik kerja-keluarga, karena standar internal mereka yang tinggi membuat mereka merasa harus tampil sempurna di dua ranah sekaligus: pekerjaan dan keluarga. Ketika dihadapkan pada beban kerja tinggi, tanpa dukungan lingkungan, individu seperti ini akan lebih rentan terhadap kelelahan emosional.

Ini menjelaskan mengapa studi ini menemukan bahwa FSSB secara signifikan memoderasi hubungan antara conscientiousness dan work-family balance. Dukungan atasan yang konkret baik dalam bentuk fleksibilitas jam kerja, pemahaman atas kebutuhan keluarga, atau sekadar empati ternyata mampu meredam tekanan internal yang dirasakan individu conscientious.

Di sisi lain, beban kerja terbukti menjadi prediktor negatif yang kuat terhadap work-family balance. Tidak mengherankan memang, mengingat tumpukan tugas dan ekspektasi yang berlebihan kerap menyita energi, waktu, dan bahkan emosi karyawan. Namun yang menarik sekaligus menggelitik dari temuan ini adalah bahwa FSSB ternyata tidak mampu memoderasi pengaruh beban kerja terhadap keseimbangan kerja-keluarga. Ini menandakan adanya batas dari efektivitas dukungan atasan.

Dalam situasi beban kerja yang sangat tinggi, seberapa pun baiknya niat dan perilaku atasan, tidak akan mampu menggantikan kebutuhan sistemik seperti pengurangan beban tugas, desain ulang kerja, atau kebijakan kerja fleksibel yang lebih struktural. Artinya, kita perlu berhenti menaruh beban terlalu besar pada individu atau supervisor semata dalam menyelesaikan persoalan struktural organisasi. FSSB penting, tetapi tidak cukup. Ada peran manajerial yang lebih besar yang harus diambil alih oleh pihak pengambil kebijakan organisasi.

Penelitian ini pun memberi pelajaran berharga bahwa kebijakan sumber daya manusia tidak bisa mengandalkan satu solusi tunggal. Ketika perusahaan hanya berfokus pada pelatihan supervisor agar lebih suportif tanpa merombak sistem kerja yang berlebihan dan tidak manusiawi, maka upaya tersebut hanya menjadi tambal sulam. Ini seperti mengoleskan balsem pada luka terbuka yang sebenarnya membutuhkan pembedahan. Terlebih, dalam konteks ritel yang diwarnai dengan sistem kerja shift, target kinerja harian, dan budaya kerja cepat, kebutuhan untuk mengintegrasikan intervensi struktural dan pendekatan relasional menjadi sangat penting. Supervisi yang suportif tidak boleh berhenti pada empati, tetapi harus didukung dengan otoritas untuk merekayasa ulang pola kerja agar lebih manusiawi.

Selain itu, hasil studi ini juga mengajak kita untuk meninjau ulang bagaimana organisasi memaknai dan memanfaatkan kepribadian karyawan dalam konteks kerja. Dalam banyak praktik seleksi dan pengembangan SDM, individu dengan tingkat conscientiousness tinggi sering dianggap sebagai kandidat ideal mereka rajin, dapat diandalkan, dan efisien. Namun, seperti yang ditunjukkan dalam penelitian ini, conscientiousness yang tidak didukung oleh lingkungan kerja yang mendukung justru dapat menjadi bumerang. Dalam istilah psikologi positif, kekuatan yang tidak seimbang dengan konteks bisa berubah menjadi kelemahan. Oleh karena itu, pemaknaan ulang terhadap peran kepribadian dalam dunia kerja menjadi agenda penting ke depan, bukan hanya bagi akademisi psikologi, tetapi juga bagi praktisi HR dan manajer lini.

Secara kritis, kita juga perlu bertanya: mengapa perusahaan-perusahaan ritel seperti PT Indomarco Prismatama baru merespon isu work-family balance setelah tekanan itu begitu terasa? Bukankah isu ini seharusnya sudah menjadi perhatian utama dalam perencanaan tenaga kerja sejak awal, terutama karena sektor ritel memang terkenal dengan ketidakpastian jam kerja dan tekanan performa tinggi?

Jika organisasi hanya bergerak ketika tingkat turnover melonjak atau ketika kepuasan kerja menurun drastis, maka yang terjadi bukan transformasi organisasi, melainkan reaksi panik. Penelitian ini seharusnya menjadi alarm keras bagi manajemen bahwa aspek-aspek psikologis karyawan tidak boleh diremehkan. Lebih dari itu, keseimbangan kerja-keluarga bukanlah sekadar isu personal yang harus diselesaikan karyawan secara individual, melainkan persoalan institusional yang harus direspons secara sistemik.

Pada akhirnya, studi yang dilakukan Putri, Malay, dan Islamia menyuguhkan lebih dari sekadar statistik hubungan antarvariabel. Ia menawarkan lensa kritis terhadap dinamika kerja kontemporer yang sering kali memaksakan produktivitas tanpa menyediakan ruang regenerasi psikologis.

Di tengah obsesi efisiensi dan keuntungan, riset ini menjadi pengingat bahwa manusia bukan mesin. Individu, dengan segala kompleksitas kepribadian dan konteks hidupnya, membutuhkan dukungan yang bersifat relasional dan struktural agar bisa menjalani peran sebagai pekerja dan anggota keluarga secara utuh. Organisasi yang gagal memahami ini bukan hanya akan merugi secara produktivitas, tapi juga akan kehilangan nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar dari setiap sistem kerja yang beradab.

Rion Nofrianda