Di ruang-ruang kantor yang dipenuhi target, rapat dadakan, dan jam lembur yang tak berkesudahan, satu fenomena psikologis diam-diam menjalar seperti virus tak kasat mata: prokrastinasi.
Terlambat memulai tugas, menunda laporan, hingga mencari pelarian dalam kesibukan semu semuanya menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang patah dalam cara kita memahami dan mengelola kerja. Pertanyaannya: apakah beban kerja yang kian membuncah menjadi biangnya?
Sebuah riset mutakhir Huda dkk dari Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, yang dimuat dalam Proyeksi: Jurnal Psikologi edisi April 2024, mencoba menjawab pertanyaan ini dengan pendekatan kuantitatif.
Penelitian yang melibatkan 121 karyawan dari sektor industri dan jasa di Samarinda itu menemukan bahwa beban kerja tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap prokrastinasi (p = 0,095). Nilai R² yang hanya 0,037 menegaskan bahwa beban kerja hanya menjelaskan 3,7% variasi perilaku menunda pekerjaan.
Sekilas, temuan ini tampak kontraintuitif. Bukankah beban kerja yang berlebih membuat karyawan kewalahan dan cenderung menunda? Bukankah waktu yang tersita oleh terlalu banyak tugas menyebabkan pekerjaan tak kunjung selesai?
Bukankah logika produktivitas modern menyatakan bahwa semakin tinggi beban, semakin tinggi tekanan, dan semakin besar kemungkinan penundaan?
Tetapi barangkali di sinilah akar masalahnya. Kita terlalu percaya pada logika mekanistik dalam memahami manusia bekerja. Kita melihat pekerja sebagai entitas rasional yang bekerja seperti mesin; diberi beban, ditekan dengan waktu, dan diminta menghasilkan tanpa henti.
Padahal manusia bukan mesin. Mereka adalah makhluk psiko-sosial, dengan emosi, makna, dan subjektivitas. Maka, ketika sebuah studi menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan antara beban kerja dan prokrastinasi, kita tidak semestinya berhenti pada angka. Kita justru harus menggali lebih dalam: apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam ekosistem kerja kita?
Dalam banyak organisasi modern, terutama di kota-kota yang sedang bertumbuh seperti Samarinda, produktivitas telah menjadi semacam agama baru.
Karyawan dinilai dari seberapa sibuk mereka tampak, seberapa cepat mereka merespons e-mail, dan seberapa banyak pekerjaan yang bisa mereka selesaikan dalam waktu sesingkat mungkin. Waktu istirahat dianggap kemewahan, jeda dianggap pemborosan, dan perlambatan dinilai sebagai kemunduran.
Logika semacam ini menciptakan ekosistem kerja yang secara struktural menolak kemanusiaan. Beban kerja pun menjadi simbol status: siapa yang paling sibuk, dia yang paling dihargai.
Akibatnya, banyak pekerja yang tidak punya ruang untuk mengelola stres, menyusun prioritas, atau memproses emosi. Di titik inilah prokrastinasi muncul bukan sebagai kelemahan pribadi, tetapi sebagai gejala dari sistem kerja yang disfungsional.
Prokrastinasi sering kali dilihat sebagai kegagalan individu dalam mengatur waktu, sebagai ekspresi kemalasan, atau ketidakdisiplinan.
Namun, pendekatan psikologi kritis menawarkan cara pandang yang lebih radikal: prokrastinasi bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan psikologis terhadap tuntutan kerja yang tidak manusiawi. Ia adalah ekspresi non-verbal dari tubuh dan pikiran yang kewalahan sebuah jeritan yang tak terdengar.
Dalam riset ini, meski secara statistik tidak signifikan, gejala-gejala yang ditemukan cukup gamblang. Sebanyak 14,2% responden mengaku menunda pekerjaan, 11,5% terlambat memulai tugas, 9,4% terdistraksi oleh aktivitas lain.
Ini bukan sekadar perilaku acak, melainkan pola yang menunjukkan bahwa ada ketidaksesuaian antara tuntutan organisasi dan kapasitas internal karyawan.
Mengapa beban kerja tidak selalu menyebabkan prokrastinasi? Jawabannya mungkin terletak pada satu variabel yang luput dari perhatian: dukungan psikososial.
Seorang karyawan yang dibebani tugas berat tetapi merasa dihargai, memiliki atasan yang suportif, dan bekerja dalam tim yang kooperatif, bisa jadi tetap termotivasi.
Sebaliknya, karyawan dengan beban kerja moderat tetapi hidup dalam iklim organisasi yang toksik justru lebih mudah mengalami kelelahan mental dan akhirnya menunda pekerjaan.
Ini menunjukkan bahwa beban kerja bukan hanya soal kuantitas, melainkan tentang bagaimana beban itu dimaknai dan dikelola. Dua karyawan dengan jumlah tugas yang sama bisa bereaksi sangat berbeda tergantung pada kualitas hubungan kerja, rasa otonomi, dan kejelasan peran yang mereka rasakan.
Dalam konteks budaya Indonesia yang hirarkis dan penuh rasa sungkan, banyak karyawan enggan menyampaikan ketidaknyamanan mereka atas beban kerja.
Mereka takut dianggap lemah, tidak loyal, atau tidak punya semangat kerja. Akibatnya, banyak yang memilih diam, menyembunyikan kelelahan, dan secara tidak sadar melampiaskannya dalam bentuk penundaan pekerjaan.
Ini menegaskan bahwa prokrastinasi bukan hanya masalah personal, melainkan masalah struktural yang berakar pada budaya kerja yang menindas.
Organisasi yang tidak menyediakan ruang dialog, tidak peka terhadap kondisi psikologis karyawan, dan menilai semua dari output, berkontribusi besar pada terciptanya ekosistem prokrastinasi.
Dari sisi ilmiah, pendekatan regresi sederhana dalam penelitian ini memang memiliki keterbatasan. Nilai R² sebesar 0,037 menunjukkan bahwa 96,3% variasi prokrastinasi dipengaruhi oleh faktor lain mungkin self-regulation, kepuasan kerja, kejelasan tugas, bahkan motivasi intrinsik. Maka, ke depan, kita perlu model yang lebih komprehensif dan multivariat untuk memahami perilaku kerja manusia.
Namun yang lebih penting dari metodologi adalah kesadaran bahwa manusia tidak bisa direduksi menjadi angka, skor, atau indeks produktivitas. Mereka adalah subjek dengan pengalaman, harapan, dan rasa lelah. Setiap penundaan bukan semata-mata kegagalan manajemen waktu, melainkan potensi cermin dari krisis makna dalam kerja itu sendiri.
Temuan riset ini adalah cermin sekaligus peringatan. Ia menunjukkan bahwa logika produktivitas yang kita anut selama ini berbasis kecepatan, efisiensi, dan beban kerja maksimal tidak lagi memadai untuk menjelaskan dinamika psikologis pekerja kontemporer. Kita butuh paradigma baru: paradigma kerja yang humanistik, reflektif, dan relasional.
Organisasi mesti mulai mengembangkan sistem evaluasi yang bukan hanya mengukur hasil, tetapi juga menghargai proses. Bukan hanya menghitung output, tetapi juga mengamati wellbeing.
Bukan hanya mengejar efisiensi, tetapi juga membangun empati. Karena pada akhirnya, tidak ada produktivitas yang bisa bertahan dalam jangka panjang tanpa fondasi kesejahteraan psikologis.
Dan barangkali, prokrastinasi yang selama ini kita pandang sebagai musuh, adalah sinyal terakhir dari tubuh yang sedang mencoba berkata: "Berhenti sebentar. Dengarkan aku."
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ketika Kepuasan Kerja Menjadi Bahan Bakar Loyalitas Organisasi
-
Tingkatkan Skor SINTA, Psikologi UIN Suska Riau Gelar Workshop Publikasi
-
Sang Tendik, Perlukah Pendidikan Tinggi Mengejar Estetika Profesional?
-
Menikmati Mie Rebus Bengkalis, Kuliner Tradisional yang Memikat
-
Generasi Layar, Ketika Game Online Mengganti Dunia Nyata
Artikel Terkait
-
Perusahaan Migas Terbesar di Inggris Pilih PHK 250 Karyawan
-
Penahanan Ijazah Karyawan: Jaminan Keseriusan atau Modus Intimidasi Perusahaan?
-
Gelombang PHK Bakal Incar Perusahaan E-Commerce, Ini Bocorannya
-
Keuangan Berdarah-darah, Perusahaan Radio Ini PHK Karyawan
-
Perusahaan Permen Terkenal Asal Swedia Pilih PHK 100 Pekerja
Kolom
-
Kurusnya Anak Negeri: Gizi Buruk dan Krisis Stunting di Indonesia
-
Stok Beras 3,5 Juta Ton, tapi Harga Tetap Mahal: Ilusi Ketahanan Pangan?
-
Ketika Kepuasan Kerja Menjadi Bahan Bakar Loyalitas Organisasi
-
Dedy Mulyadi: Cepat Viral, Cepat Pudar?
-
MBG dan Matematika Kekuasaan: Mengapa 0,01% Keracunan Masih Terlalu Banyak?
Terkini
-
4 Ide OOTD ala I.N STRAY KIDS yang Kekinian dan Mudah Ditiru
-
Sah! FIM Izinkan Pembalap MotoGP yang Absen untuk Lakukan Latihan Bebas
-
Review Film Wonderland: Kisah Haru di Balik Teknologi yang Canggih
-
5 Karakter Anime Cowok yang Terobsesi dengan Kebersihan, Ada Husbu-mu?
-
Pesona Pantai Atapupu NTT, dari Pasir Putih hingga Sunset Memukau