Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rion Nofrianda
Pengantaran mahasiswa PKL tahun 2025 di PTPN IV Jambi (Dok.pribadi/Rion Nofrianda)

Praktek Kerja Lapangan (PKL) bagi mahasiswa merupakan sebuah fase penting yang kerap dianggap sebagai jembatan penghubung antara dunia akademik dengan realitas lapangan yang sebenarnya. Bukan sekadar memenuhi syarat kurikulum atau menggugurkan kewajiban akademis, PKL memiliki kedalaman fungsi yang jauh lebih kompleks dan strategis dalam membentuk karakter, kompetensi, dan kesiapan profesional mahasiswa. Jika pendidikan tinggi diibaratkan sebagai dapur intelektual, maka PKL adalah ruang makan tempat hasil masakan diuji oleh lidah kehidupan nyata. Ia menjadi proses penyelaman langsung ke dalam dinamika kerja dan budaya organisasi, mempertemukan idealisme kampus dengan fakta-fakta keras dunia kerja.

Salah satu esensi dari pentingnya PKL adalah peluang belajar yang bersifat kontekstual. Teori-teori yang selama ini dipelajari dalam ruang kelas seringkali terasa abstrak, mengawang, bahkan kehilangan daya aplikatif jika tidak segera diuji dalam konteks dunia kerja yang nyata. Di sinilah PKL memainkan peran krusialnya: mempertemukan teori dengan praktik. Mahasiswa tidak lagi hanya belajar tentang bagaimana sebuah sistem organisasi bekerja, melainkan turut terlibat dalam mengelola realitasnya dari mengamati alur komunikasi internal, menyaksikan dinamika relasi antarprofesional, hingga menghadapi tantangan nyata yang menuntut fleksibilitas berpikir dan ketangkasan sosial. Ini adalah pembelajaran hidup yang tidak tertulis di dalam buku teks, namun memiliki dampak luar biasa terhadap cara berpikir dan bertindak mahasiswa ke depan.

Namun sayangnya, dalam banyak kasus, PKL belum sepenuhnya dihargai sebagai proses pembelajaran yang mendalam. Banyak institusi, bahkan mahasiswa sendiri, masih memandang PKL sebagai fase formalitas cukup hadir, cukup absen, dan cukup membuat laporan untuk lulus. Tidak jarang pula PKL dimaknai hanya sebagai "turun ke lapangan" tanpa adanya integrasi pemikiran yang mendalam mengenai apa yang harus dipelajari, bagaimana cara belajar dari lapangan, dan bagaimana mengkritisi pengalaman tersebut. Padahal, PKL yang dilakukan secara reflektif dan kritis akan sangat membantu mahasiswa dalam membangun self-awareness, self-regulation, serta professional identity tiga aspek penting yang seringkali diabaikan dalam sistem pendidikan tinggi konvensional.

Pengalaman PKL seharusnya menuntut mahasiswa untuk keluar dari zona nyaman intelektual mereka. Mahasiswa harus mulai menyadari bahwa kenyataan lapangan kerap kali tidak ideal: pekerjaan bisa membosankan, birokrasi bisa menjengkelkan, budaya organisasi bisa penuh intrik, dan sistem kerja tidak selalu rasional. Namun justru di dalam ketidaksempurnaan itulah mahasiswa ditantang untuk mengembangkan kedewasaan berpikir, belajar bersikap realistis tanpa menjadi sinis, serta menemukan cara untuk berkontribusi tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka pelajari di bangku kuliah. PKL, dengan segala tantangannya, merupakan laboratorium kehidupan yang sangat penting dalam membentuk keutuhan diri sebagai calon profesional yang bukan hanya kompeten, tetapi juga tangguh dan berintegritas.

Dari perspektif institusi pendidikan, PKL juga semestinya tidak dilihat hanya sebagai aktivitas administratif belaka. Kampus harus lebih aktif membangun ekosistem pembelajaran yang mendukung proses PKL secara holistik. Artinya, bukan hanya sekadar mengatur lokasi PKL atau memastikan pembimbing tersedia, tetapi juga menciptakan mekanisme refleksi, supervisi kritis, dan ruang diskusi antar mahasiswa agar pengalaman PKL tidak berjalan secara terpisah dari kerangka akademik yang lebih besar. PKL seharusnya menjadi bagian integral dari kurikulum yang dikembangkan secara sadar, bukan tempelan di akhir program studi.

Bagi mahasiswa sendiri, PKL adalah panggung awal untuk membangun reputasi profesional mereka. Ini adalah momen di mana mereka diperkenalkan ke dalam dunia yang tidak lagi mentoleransi ketidaksiapan, kemalasan, atau sikap pasif. Dunia kerja menuntut initiative, responsibility, dan adaptability. PKL memberi ruang untuk mengasah semua itu dengan risiko yang relatif rendah namun dampak yang besar jika dikelola dengan benar. Mahasiswa yang mampu menampilkan kinerja positif selama PKL tidak hanya akan membawa pulang sertifikat pengalaman, tetapi juga jaringan profesional, rekomendasi yang berguna, bahkan peluang kerja nyata di masa depan.

Lebih jauh, PKL juga membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk melakukan evaluasi diri yang mendalam. Tidak sedikit mahasiswa yang setelah menjalani PKL justru menyadari bahwa bidang yang mereka tekuni selama ini tidak sesuai dengan minat atau panggilan hidup mereka. Proses ini sangat penting karena memungkinkan adanya koreksi dini terhadap arah karier. Sebaliknya, ada pula mahasiswa yang melalui pengalaman PKL justru menemukan passion-nya, bahkan merancang peta karier yang lebih matang dan terukur. Dalam konteks ini, PKL berperan sebagai kompas awal yang membantu mahasiswa menentukan arah pelayaran hidup mereka selepas wisuda.

Jika disoroti dari kacamata sosial yang lebih luas, PKL juga menjadi medium pembelajaran lintas budaya dan lintas generasi. Mahasiswa berinteraksi dengan berbagai kalangan atasan, rekan kerja, klien, bahkan masyarakat. Mereka dituntut untuk belajar tentang etika, komunikasi lintas usia, serta memahami struktur relasi kuasa dalam organisasi. Ini menjadi bekal penting dalam membentuk kepekaan sosial yang seringkali tidak bisa dibangun hanya melalui kuliah atau diskusi ilmiah. PKL mengajarkan bahwa dunia kerja adalah ruang interaksi yang kompleks, dan keberhasilan di dalamnya sangat bergantung pada kemampuan berelasi yang cerdas secara emosional.

Namun semua potensi PKL ini hanya akan bermakna jika mahasiswa, kampus, dan institusi mitra mampu memaknainya secara kritis dan reflektif. PKL bukan tentang banyaknya jam hadir, banyaknya laporan, atau banyaknya foto dokumentasi. Lebih dari itu, ia adalah ruang transformasi. PKL yang berhasil adalah yang mampu mengubah cara pandang mahasiswa terhadap profesinya, terhadap dirinya sendiri, dan terhadap dunia kerja yang akan ia hadapi. PKL yang baik tidak meninggalkan mahasiswa yang sama seperti sebelum ia turun ke lapangan ia harus mengubah, memperluas perspektif, dan menumbuhkan ketangguhan.

Dengan demikian, PKL harus diposisikan sebagai fase pendidikan yang serius dan transformatif. Mahasiswa harus masuk ke dalamnya dengan bekal kesiapan mental dan intelektual, institusi pendidikan harus merancangnya dengan sistem yang reflektif dan mendalam, serta dunia kerja harus membuka diri menjadi mitra pembelajaran yang suportif. Hanya dengan cara itulah, PKL dapat benar-benar menjadi katalis perubahan dalam proses pendidikan tinggi, bukan hanya sebagai formalitas atau jeda antara kuliah dan wisuda, tetapi sebagai proses pembentukan manusia pembelajar yang siap terjun ke medan kehidupan yang sesungguhnya.

Rion Nofrianda