Bagi mayoritas masyarakat Indonesia, pendidikan tinggi menjadi salah satu kriteria untuk dapat memperoleh pekerjaan secara layak dan menjanjikan. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk yang mengenyam atau lulus sebagai sarjana maupun bergelar master mulai mengalami peningkatan sejak 5 tahun terakhir.
Melansir dari laman dataindonesia.id, jumlah penduduk Indonesi yang merupakan lulusan Sarjana (S-1) di tahun 2024 lalu mencapai lebih dari 12 juta jiwa. Jumlah ini sendiri diprediksi akan kian meningkat di tahun 2025 ini. Selain lulusan S-1, penduduk Indonesia yang memiliki gelar master atau S-2 juga mulai mengalami peningkatan meski tak signifikan. Saat ini, diprediksi ada sekitar 900 ribu jiwa penduduk Indonesia yang memilik gelar S-2 atau master.
Tentunya jumlah tersebut disinyalir adanya tuntutan dari keberadaan lowongan pekerjaan yang meminta tenaga kerja minimal memiliki gelar Sarjana (S-1). Hal ini dipahami oleh masyarakat bahwa jika ingin memperoleh pekerjaan yang layak, harus minimal mencapai gelar sarjana. Adapula yang sampai mengejar gelar master atau S-2 untuk bisa memenuhi kriteria dari penyedia lapangan pekerjaan.
Namun, di sinilah letak sebuah fakta ironis yang terjadi saat penduduk atau individu memutuskan untuk mengejar gelar master atau S-2. Tidak banyak lowongan pekerjaan di Indonesia yang menyediakan lapangan pekerajaan khusus untuk masyarakat yang bergelar master atau S-2. Hal ini dimaknai sebagai fenomena dimana kualitas SDM yang mulai meningkat tetapi tak diiringi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai untuk kualifikasi tertentu.
Lulusan S-2 Dipaksa Kalah oleh Masyarakat yang Memiliki Gelar Lebih Rendah dalam Tingkat Pendidikan
Salah satu hal yang cukup ironis saat ini adalah para lulusan S-2 atau master tersebut harus dipaksa bersaing dengan lulusan D3, D4 ataupun S-1 dalam perburuan lapangan pekerjaan. Hal inilah yang membuat persaingan dalam dunia kerja kian ketat. Belum lagi, adanya stigma di kalahan HRD ataupun penyedia lapangan pekerjaan bahwa lulusan S-2 harus digaji dengan cukup tinggi dikarenakan kualitas dan portofolio yang mereka miliki cukup tinggi.
Kondisi inilah yang membuat para lulusan S-2 tersebut harus ‘dipaksa’ kalah dari para pencari kerja lainnya yang justru memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan mereka. Bahkan, tak jarang surat lamaran pekerjaan para lulusan S-2 tersebut hanya berakhir di meja HRD saja tanpa dilanjutkan ke tahap interview atau wawancara kerja.
Menurut data Pusat Badan Statistik Nasional, jumlah masyarakat yang memiliki gelar S-2 sejatinya hanya mencapai 0,1% dari total masyarakat di Indonesia. Namun, yang menjadi sebuah ironi adalah banyak lulusan S-2 tersebut sangat kesusahan dalam mencari lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi yang mereka miliki.
Para penyedia lowongan pekerjaan di Indonesia cukup memahami bahwa lulusa S-2 tersebut dianggap sebagai sumber daya manusia (SDM) kelas atas yang dikhawatirkan akan menuntut upah dan tunjangan tinggi apabila dipekerjakan. Padahal, tidak semua lulusan S-2 akan menargetkan upah tinggi saat baru pertama kali diterima kerja dalam sebuah perusahaan tertentu.
Tentu kondisi ini bisa menyebabkan banyaknya lulusan S-2 tersebut dipaksa untuk menganggur atau tak memiliki kerja formal dan lebih memilih melakukan pekerjaan lepas atau freelancer yang tak terikat kontrak dengan perusahaan tertentu. Di sisi lain, jika ingin berkecimpung di dunia pendidikan saat ini lulusan S-2 juga tak semudah beberapa tahun yang lalu.
Banyak perguruan tinggi yang harus mewajibkan lulusan S-2 juga sedang menempuh pendidikan S-3 jika ingin menjadi tenaga pengajar atau dosen juga kian memberatkan para lulusan S-2 tersebut dalam berkecimpung di dunia akademik atau pendidikan. Menjadi guru sekolah juga mereka harus bersaing dengan lulusa S-1 atau lulusan pendidikan yang sudah dibekali dengan pelatihan guru.
Itulah ironi lulusan S-2 di Indonesia yang mungkin masih terabaikan oleh mata masyarakat saat ini. Stigma semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka akan semakin mudah mendapatkan pekerjaan tentunya sudah tak tercerminkan di kondisi masyarakat saat ini. Tentunya hal ini harus menjadi perhatian dari banyak pihak, khususnya pemerintah jika tak ingin jumlah pengangguran kian bertambah.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Badai Cedera, Patrick Kluivert Bisa Pertimbangkan Panggil Witan Sulaeman
-
Karier Tak Bagus di Liga Australia, 3 Klub Berpeluang Rekrut Rafael Struick
-
AFF Womens Championship U-19 2025: Indonesia Tergabung di Grup Neraka
-
Jika Umumkan Pensiun dari Sepakbola, Ramadhan Sananta Ingin Geluti Dunia Ini!
-
Blak-blakan! Media Jepang Kritik Pedas Program Naturalisasi Timnas Indonesia
Artikel Terkait
-
Alexandra Daguise Kerja Apa di Paris? Kakak Alyssa Daguise Gelar Pernikahan Sederhana
-
Fenomena Brain Fog: Kesulitan Fokus Akibat Sering Konsumsi Konten Receh
-
Lowongan Kerja Tanpa Syarat Umur: Peluang Terbuka untuk Semua Usia!
-
Apa Pekerjaan Ibu Luna Maya di Bali? Ngaku Tak Pernah Cek Uang Kiriman Anak
-
Lowongan Pekerjaan Terbaru di Jakarta, Lengkap dengan Tips Cara Melamar yang Efektif
Kolom
-
Investasi Masa Depan: Antara Hidup Cuma Sekali dan Godaan Makan Enak
-
Akankah Film Jumbo Menumbangkan Film KKN di Desa Penari?
-
Mengupas Cara Netflix dan Spotify Membentuk Hiburan Gen Z
-
Guru Muda di Kantor! Gen Z dan Pesona Reverse Mentoring
-
Menilik Program, Konten, dan Viralitas: Semakin Viral, Semakin Tak Bermoral
Terkini
-
Buntut India-Pakistan, Peresmian Patung Shah Rukh Khan-Kajol Harus Ditunda
-
Thailand Open 2025 Day2: Laga 12 Wakil Indonesia, Ganda Putri Perang Saudara
-
TWS 'Lucky to be Loved' Rasa Terima Kasih Atas Dukungan dan Cinta Tulus
-
Debut Bobby/Melati di Turnamen BWF Papan Atas, Upaya Buktikan Konsistensi
-
Esensi TXT 'Love Language': Ketahui Bahasa Cinta Demi Dapatkan Hati Dia