Bagi mahasiswa, kritik dari dosen atau teman bukan sekadar catatan di pinggir tugas, melainkan undangan untuk menatap diri lebih dalam. Entah kamu bergelut dengan rumus kimia, kode pemrograman, atau analisis bisnis, feedback adalah lensa yang mempertajam pandanganmu terhadap ilmu dan diri sendiri. Dengan sikap santai namun penuh kesadaran, menerima dan memanfaatkan kritik bisa mengubahmu dari sekadar pengejar nilai menjadi pembelajar sejati, siap menaklukkan dunia.
Mengapa feedback begitu esensial?
Dalam artikel berjudul Constructive Feedback as a Learning Tool to Enhance Students’ Self-Regulation and Performance in Higher Education oleh Du Toit (2012), ditegaskan bahwa feedback konstruktif mendorong mahasiswa untuk mengatur diri sendiri dan meningkatkan performa akademik. Penelitian ini menunjukkan bahwa kritik yang terarah membantu mahasiswa merefleksikan kekurangan dan merancang langkah perbaikan. Bayangkan feedback sebagai cermin ajaib: tanpa itu, kamu mungkin tak pernah tahu bahwa presentasimu membingungkan atau laporanmu kekurangan data. Dengan kritik, kamu mendapat kesempatan untuk memoles diri, langkah demi langkah, menuju versi yang lebih cemerlang.
Tapi, jujur saja, menatap cermin kritik itu tak selalu menyenangkan. Kalimat seperti “argumenmu lemah” atau “tugas ini kurang rapi” bisa terasa seperti tamparan di tengah deadline yang sudah bikin pening. Sebagai mahasiswa, saya paham betul bagaimana ego kadang jadi tembok yang lebih kokoh dari buku pegangan kuliah. Namun, bukankah kuliah mengajarkan kita untuk rendah hati? Feedback bukan serangan, melainkan ajakan untuk introspeksi. Singkirkan rasa tersinggung, dan lihat kritik sebagai cat baru untuk melukis ulang karya akademikmu. Toh, dosen atau teman yang mengkritik biasanya cuma ingin melihatmu bersinar, bukan tenggelam.
Bagaimana caranya menjadikan feedback sebagai alat refleksi?
Pertama, dengarkan dengan hati terbuka, seperti pelukis yang siap menerima saran untuk menyempurnakan kanvasnya. Ketika dosen bilang esaimu “kurang mendalam,” jangan buru-buru defensif; catat dan cari tahu apa yang bisa diperbaiki. Kedua, jadilah proaktif—tanyakan jika kritik terasa samar. Misalnya, saat teman bilang presentasimu “kurang menarik,” minta contoh konkret: “Apa yang bisa aku tambahkan?” Sebagai mahasiswa, keterampilan ini ibarat kaca pembesar: membantu kita melihat detail kecil yang sering terlewat, dari struktur laporan hingga gaya bicara di kelas.
Namun, tak semua cermin feedback berkilau indah. Ada kalanya kritik datang dengan bingkai kasar—disampaikan dengan nada sinis atau terasa tak relevan. Di sinilah seni menyaring berperan. Anggaplah feedback sebagai sungai: ambil air jernihnya, buang lumpurnya. Fokus pada saran yang membangun, seperti “tambahkan referensi” atau “perjelas argumenmu,” dan lepaskan yang hanya bikin hati panas. Kuliah adalah latihan untuk jadi penyaring ulung, keterampilan yang bakal berguna saat menghadapi bos atau kolega di dunia kerja. Dengan menyaring kritik, kamu belajar mana yang layak jadi bahan refleksi dan mana yang cuma bayangan kosong.
Feedback juga punya kekuatan untuk membentuk mahasiswa jadi pribadi yang tangguh dan adaptif. Dunia kampus, dengan segala tugas dan tekanannya, adalah panggung untuk melatih ketahanan. Kritik dari dosen atau teman mengajarkan kita untuk merangkul kekurangan tanpa kehilangan semangat—seperti pelukis yang tak menyerah meski sketsanya dikoreksi berulang kali. Bayangkan jika ilmuwan seperti Marie Curie menolak masukan atas penelitiannya—mungkin dunia tak akan mengenal radium. Feedback, sekecil apa pun, adalah benang yang menjahit keterampilan dan karakter kita, menyiapkan kita untuk tantangan di luar kelas.
Feedback adalah cermin yang tak pernah lelah mengajarkan. Bagi mahasiswa, kritik adalah pelajaran tentang kepekaan—terhadap ilmu, orang lain, dan diri sendiri. Jadi, lain kali dosen atau teman memberikan saran, jangan buru-buru menutup mata. Tatap cermin itu, renungkan bayangannya, dan poles dirimu dengan setiap saran. Seperti lukisan yang terus disempurnakan, diri kita pun dibentuk oleh kritik yang kita terima dengan lapang dada. Di kampus, setiap feedback adalah sapuan kuas dalam kanvas pendidikan kita—teruslah melukis, teruslah bertumbuh.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
-
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
-
Ekonomi Bahasa Gen Z! Galgah Adalah Shortcut Anti-Ribet Komunikasi
Artikel Terkait
-
Bangun Kesadaran Self-Compassion, Psikologi UNJA Adakan Lomba dan Seminar
-
Sentil Dedi Mulyadi, Dokter Gamal: Rp6 M untuk Anak Nakal, Ratusan Ribu yang Tak Sekolah Terabaikan?
-
Video Lama Jokowi dan Kasmudjo Soal Pembimbing Skripsi Viral, Rismon Sianipar: Menipu Publik!
-
Ngajar di Negeri Orang, Pulang Cuma Jadi Wacana: Dilema Dosen Diaspora
-
Dari Uang Saku ke Anggaran! Gimana Perjalanan Kemandirian Finansial Gen Z?
Kolom
-
Menikah Tak Punya Batas Waktu: Saatnya Berhenti Bertanya Kapan?
-
Masalahnya Bukan di Netflix, tapi di Literasi Digital Kita
-
Mengapa Remaja Perempuan Jadi Target Favorit Kekerasan Digital? Yuk Simak!
-
Eco-Anxiety Bukan Penyakit: Saat Kecemasan Iklim Menggerakkan Perubahan
-
Antara Keluarga dan Masa Depan, Dilema Tak Berujung Sandwich Generation
Terkini
-
Poster Toy Story 5 Dirilis, Woody dan Buzz Hadapi Tantangan Era Digital
-
Ancaman Hoaks dan Krisis Literasi Digital di Kalangan Pelajar Indonesia
-
Bukan yang Pertama di Asia, Indonesia Lanjutkan Tradisi Tuan Rumah FIFA Series
-
Putusan Bersejarah: Pengadilan Jepang Nyatakan Cloudflare Bertanggung Jawab atas Pembajakan
-
OOTD Dress ala Kim Hye Joon: 4 Gaya Effortless Cocok di Semua Mood!