Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
Ilustrasi anak SMA (pexels/Lap Dinh Quoc)

Di lorong-lorong SMA, seragam bagaikan kanvas monokrom yang membungkus jiwa-jiwa muda dalam keseragaman. Putih abu-abu atau biru-putih, seragam itu seperti mantra disiplin yang diucapkan berulang-ulang, membatasi ekspresi diri demi tatanan.

Namun, begitu kaki melangkah ke gerbang kampus, dunia berubah. Streetwear, dengan segala warna, potongan, dan keberaniannya, menjadi bahasa baru mahasiswa untuk berteriak: "Ini aku!" Perbandingan antara seragam SMA dan kebebasan streetwear mahasiswa bukan sekadar soal kain dan jahitan, melainkan cerminan pergulatan antara aturan dan kebebasan, antara identitas yang diberikan dan yang diciptakan. Bagaimana pakaian, sesuatu yang tampak sepele, mampu membentuk kepercayaan diri seseorang?

Pakaian, sebagaimana dikatakan oleh Nadiyah dan Hamid (2024) dalam The Influence of Fashion Trend and Socialization on Consumptive Lifestyle, bukan sekadar pelindung tubuh, tetapi juga cermin identitas sosial dan psikologis. Dalam penelitian mereka, ditemukan bahwa tren fashion memiliki pengaruh signifikan terhadap pola konsumsi dan gaya hidup, terutama di kalangan muda yang tengah mencari jati diri.

Seragam SMA, dengan segala keterbatasannya, sering kali memaksa siswa untuk menekan ekspresi individual. Warna yang sama, model yang seragam, hingga panjang rok yang diatur ketat, membuat siswa bagaikan burung dalam sangkar emas—terlindungi, namun terkekang. Sebaliknya, streetwear di kalangan mahasiswa menawarkan kebebasan untuk bereksperimen, memadukan kaos oversized, sneakers chunky, atau jaket bomber dengan motif nyentrik, seolah-olah setiap jahitan adalah pernyataan eksistensi.

Kebebasan itu, bagai angin segar di pagi hari, membawa dampak nyata pada kepercayaan diri. Ketika seragam SMA memaksa siswa untuk "berbaur" dalam lautan keseragaman, streetwear justru mengizinkan mahasiswa untuk menari di atas panggung individualitas. Seorang mahasiswa yang mengenakan topi bucket dengan jaket denim penuh patch mungkin sedang berkata pada dunia, "Aku unik, dan aku bangga akan itu." Penelitian Nadiyah dan Hamid menegaskan bahwa tren fashion, termasuk streetwear, memungkinkan generasi muda untuk mengekspresikan identitas mereka, yang pada gilirannya memperkuat rasa percaya diri. Namun, benarkah kebebasan ini selalu membawa kebaikan, ataukah ada jebakan di baliknya?

Di balik gemerlap streetwear, ada bayang-bayang konsumerisme yang mengintai. Mahasiswa, yang baru saja lepas dari kungkungan seragam, sering kali terjebak dalam perlombaan untuk mengikuti tren. Sneakers limited edition, hoodie merek ternama, atau aksesori yang sedang viral di media sosial—semuanya menjadi simbol status yang menggoda.

Nadiyah dan Hamid (2024) mencatat bahwa tekanan sosial untuk mengikuti tren fashion dapat mendorong gaya hidup konsumtif, di mana kepercayaan diri justru bergantung pada label harga, bukan esensi diri. Ironis, bukan? Kebebasan yang dijanjikan streetwear kadang berubah menjadi belenggu baru, di mana mahasiswa merasa harus "tampak keren" untuk diterima, tak jauh berbeda dari tekanan seragam untuk "berbaur" di masa SMA.

Namun, tak bisa dipungkiri, streetwear memberi ruang untuk kreativitas yang tak dimiliki seragam. Jika seragam adalah puisi dengan bait-bait kaku yang ditulis oleh aturan sekolah, streetwear adalah lukisan abstrak yang penuh warna, diciptakan oleh tangan pemakainya. Mahasiswa dapat memadukan budaya lokal dengan global—misalnya, mengenakan batik dengan sneakers atau kain tenun dengan ripped jeans—menciptakan pernyataan yang tak hanya personal, tetapi juga kultural.

Kebebasan ini memungkinkan mereka untuk bereksperimen dengan identitas, menemukan siapa mereka di tengah dunia yang terus berubah. Kepercayaan diri yang lahir dari sini bukan sekadar tentang penampilan, tetapi tentang keberanian untuk mendefinisikan diri.

Tapi, jangan salah sangka, seragam pun punya sisi cerahnya. Dalam keseragamannya, ada rasa kebersamaan yang terbangun. Seragam menghapus batas-batas kelas sosial—at least, secara visual—dan menciptakan rasa solidaritas di antara siswa. Tak ada tekanan untuk membeli pakaian mahal atau mengikuti tren terbaru, karena semua orang mengenakan hal yang sama.

Namun, ketika kebersamaan ini berhadapan dengan kebutuhan akan ekspresi diri, seragam sering kali kalah telak. Mahasiswa yang telah merasakan kebebasan streetwear jarang ingin kembali ke dunia di mana pakaian mereka ditentukan oleh aturan, bukan pilihan.

Perbandingan antara seragam dan streetwear adalah cerminan dari perjalanan menuju kedewasaan. Seragam mengajarkan disiplin dan kebersamaan, sementara streetwear mengajarkan keberanian dan kreativitas. Keduanya, dengan cara masing-masing, membentuk kepercayaan diri—entah melalui rasa aman dalam keseragaman atau kebanggaan dalam keunikan.

Namun, seperti dua sisi mata uang, keduanya juga punya kelemahan: seragam membatasi, streetwear menggoda konsumerisme. Maka, mungkin pertanyaan sebenarnya bukan tentang mana yang lebih baik, tetapi bagaimana kita belajar menyeimbangkan aturan dan kebebasan, agar kepercayaan diri tak lagi bergantung pada apa yang kita kenakan, melainkan pada siapa kita di dalamnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sherly Azizah