Tepat di bulan Agustus tahun ini, kita merayakan 80 tahun usia kemerdekaan Indonesia. Pertanyaannya, benar nggak sih kita udah benar-benar merdeka? Jika ingin memaknai kemerdekaan secara lebih luas, sebenarnya merdeka itu nggak sekedar bebas dari belenggu penjajah. Tetapi juga terbebas dari ancaman krisis lainnya. Salah satu dari bentuk krisis yang cukup penting buat dibahas adalah tentang isu lingkungan.
Di tengah arus modernisasi dan perkembangan teknologi, kedua hal ini seperti pedang bermata dua.
Selain mempermudah hidup manusia, di satu sisi modernisasi dan teknologi ini sedang memperparah isu iklim. Mulai dari peningkatan emisi karbon, polusi udara, sampah dan limbah yang menumpuk, hingga gaya hidup konsumtif.
Bayangkan deh, 100 tahun dari sekarang. Kira-kira akan seperti apa jadinya bumi yang kita tinggali di tengah kecanggihan kecerdasan buatan dan segala sesuatu yang serba digital saat ini?
Selain teknologi memperluas kebebasan kita untuk hidup yang lebih efisien, teknologi juga justru menjadikan kita kembali terjajah dengan dampak negatifnya terkait kelestarian bumi dan kelangsungan hidup generasi mendatang.
Mengenai hal ini, saya jadi teringat beberapa narasi dari novel berjudul Dunia Anna karya Jostein Gaarder.
Novel yang mengangkat tema tentang isu lingkungan ini menceritakan kisah seorang remaja bernama Anna yang terjebak di mimpinya sendiri ketika bertemu gadis misterius bernama Nova di tahun 2082.
Ternyata, Nova adalah cucu dari keturunan Anna di masa depan. Awalnya Anna takjub dengan kehidupan modern yang dijalani oleh Nova.
Tapi, ia kemudian ditampar oleh kenyataan bahwa selain perkembangan teknologi yang diluar nalarnya saat itu, dunia di masa depan ternyata amat mengerikan dengan isu lingkungan yang menjadi dampaknya.
Nova menjelaskan bahwa kondisi tersebut terjadi karena ulah generasi Anna yang menjadi leluhurnya tidak peduli dan abai untuk menjaga lingkungan.
Gaya hidup modern dan pola hidup konsumtif membuat manusia semakin rakus untuk mengeruk kekayaan bumi dan merusak lingkungan.
Pelaku industri membuang limbah sembarangan, hingga sumber daya tak terbarukan terus dikeruk demi permintaan konsumen. Belum lagi masalah sampah yang terus menggunung serta udara yang kian tercemar.
Jika seandainya kita berada di posisi Anna, lalu bertemu dengan suatu generasi di masa depan yang menuntut tentang upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga bumi, tentu kita harus berpikir dan memulainya dari sekarang.
Mungkin sebagian di antara kita membayangkan beberapa aksi seperti mengurangi pemakaian sampah plastik, hemat energi, penghijauan, hingga mendukung produk berkelanjutan.
Tapi, bagi saya pribadi, menerapkan pola hidup dengan frugal living barangkali bisa menjadi salah satu opsi. Yakni sebuah gaya hidup hemat dan mengedepankan sederhanaan. Lebih memprioritaskan kebutuhan dibanding keinginan.
Sekilas, frugal living memang identik dengan gaya hidup yang biasanya diterapkan dalam rangka pengelolaan keuangan agar tetap efisien.
Bagi sebagian orang yang memilih untuk frugal living, tujuan utamanya sih nggak jauh-jauh dari bagaimana meningkatkan kualitas hidup dari segi finansial. Alasan ini memang seakan sangat personal.
Tetapi jika kita melihat lebih jauh, dampak dari frugal living secara nggak langsung juga berpengaruh pada banyak aspek. Salah satunya adalah kontribusi terhadap lingkungan.
Coba deh bayangkan jika ada banyak orang di dunia ini yang menerapkan gaya hidup frugal. Selain menghindari pemborosan, hidup frugal juga bisa mengurangi penggunaan sampah plastik dan limbah industri.
Frugal living membawa kita pada kecenderungan untuk berbelanja seperlunya, memperpanjang usia barang pakai, hingga memilih transportasi hemat yang lebih ramah lingkungan.
Meskipun kita nggak bisa menampik bahwa modernisasi yang terjadi hari ini sulit untuk ditolak karena begitu memudahkan hidup, tapi memilih untuk mengkonsumsi yang seperlunya saja dengan hidup frugal adalah pilihan yang bijak.
Nah, kembali ke pembahasan novel Dunia Anna. Jika seandainya saya menjadi Anna, saya nggak akan ragu lagi untuk memulai hidup frugal.
Sebab, memilih frugal bukan hanya sekedar hidup hemat dan merdeka dari kecenderungan untuk konsumtif, tapi juga bisa menjadi aksi nyata untuk menjaga bumi tetap lestari demi kelangsungan hidup anak cucu kita nanti.
Baca Juga
-
Ulasan Buku Little Birdies, Empat Burung Kecil dan Kakek yang Penyayang
-
Ulasan Buku Generasi 90an, Kenangan Jadul dan Nostalgia Kaum Milenial
-
Ulasan Buku Passive Income Strategy, Tips Investasi Biar Tetap Cuan
-
Ulasan Buku Hatimu Juga Butuh Pelukan, Quotes dari Seekor Beruang Penyembuh
-
Misteri Raibnya Para Penduduk dalam Buku Spog dan Spiggy di Planet Alotita
Artikel Terkait
-
Polusi di Kota Besar: Penjajahan Baru yang Membelenggu Kehidupan
-
Stop Rusak Bumi! Mulai Sekarang untuk Keberlanjutan Generasi Mendatang
-
Mulai dari Kita: Mengelola Sampah Rumah Tangga Demi Bumi Lestari
-
Ketika Nafsu Belanja Tak Terbendung, Bumi Menjerit Lewat Cuaca Ekstrem
-
Mengompos: Healing Buat Manusia Yang Patah Hati, Healing Buat Bumi
Kolom
-
Bank Indonesia Pangkas Suku Bunga: Apa Artinya bagi Kredit dan Investasi?
-
Dari Girlboss sampai Tradwife: Nostalgia Patriarki dalam Balutan Estetika
-
Paradoks Pengetahuan: Semakin Banyak Membaca, Semakin Merasa Bodoh
-
Saat Film Berani dan Lantang Membahas Amyotrophic Lateral Sclerosis
-
Meme, Maskulinitas, dan Feminitas: Ketika Humor Jadi Alat Kontrol Sosial
Terkini
-
Drama Tes DNA Ridwan Kamil Berakhir: Begini Sikap Atalia Praratya Hadapi Badai di Keluarganya
-
Blake Lively Gabung di The Survival List, Jadi Pemain Sekaligus Produser
-
Sinopsis Bakebake, Drama Jepang Terbaru Akari Takaishi dan Tommy Bastow
-
Blunder Lagi, Nafa Urbach Bela Tunjangan DPR Rp50 Juta hingga Klarifikasi di TikTok
-
Dari Limbah Jadi Tinta: Kreativitas Anak Bangsa