Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ridho Hardisk
Ilustrasi perundungan mahasiswa (freepik.com)

Bayangan tentang kampus seringkali begitu indah. Tempat buat mikir, cari jati diri, berdiskusi sampai malam, ikut organisasi, jadi aktivis, atau sekadar ngopi sambil ngerjain tugas. Tapi makin ke sini, makin banyak cerita lain yang bikin mikir ulang. Emangnya kampus masih bisa dibilang ruang aman?

Soalnya, banyak juga mahasiswa yang bukan lagi berkembang di kampus, tapi justru harus bertahan. Bukan karena tugas yang numpuk, tapi karena suasana akademik yang bikin sesak. Perundungan akademik—yang kadang dibungkus “tradisi”, kadang dibungkam atas nama “nama baik kampus”—jadi salah satu penyebabnya.

Ketika Kampus Pilih Diam, Korban yang Harus Menahan Luka

Kita nggak ngomongin teori. Ini kejadian nyata. Salah satunya di Universitas Islam Jember (UIJ). Ada mahasiswa yang ngeluh soal kampusnya di media sosial. Isinya biasa aja: kritik soal fasilitas dan sistem. Tapi balasan dari kampus? Intimidasi. Si mahasiswa bahkan sampai takut beasiswanya dicabut. Kritik dijawab dengan ancaman. Kampus tempat berdialog? Kok rasanya jadi tempat menakutkan.

Lain lagi kasus tragis di Universitas Diponegoro (Undip). Seorang mahasiswi program spesialis kedokteran diduga meninggal karena tekanan akademik yang berat—dan ya, diduga juga ada unsur perundungan di balik itu. Dekan fakultasnya sendiri mengakui, budaya toxic memang ada di sistem pendidikan itu. Dan ini bukan cerita satu kampus aja.

Di Universitas Padjadjaran (Unpad), sebelas mahasiswa program pendidikan dokter spesialis juga kena sanksi karena terbukti melakukan perundungan. Bahkan UIN Jambi sempat jadi sorotan karena seorang mahasiswi mengalami intimidasi di lift kampus, tapi malah disuruh bikin surat pernyataan maaf. Korbannya siapa, yang minta maaf siapa?

Kalau mau bicara angka, dari 2021 sampai 2024, Kementerian Pendidikan mencatat ada 310 laporan kekerasan di kampus, dan hampir 40% di antaranya adalah perundungan. Itu yang lapor. Yang nggak lapor? Mungkin lebih banyak lagi.

“Uji Mental” atau Cuma Dalih Buat Menindas?

Yang bikin sedih, banyak orang masih nganggep hal kayak gini biasa. Dalihnya, “Kita juga dulu digituin dan baik-baik aja kok.” Padahal, cuma karena lo dulu disakitin, bukan berarti sekarang boleh nyakitin balik. Lingkaran setan namanya.

Perundungan di kampus sering disamarkan sebagai “proses pendewasaan” atau “bentuk pembinaan”. Tapi kenyataannya, banyak mahasiswa yang malah kehilangan semangat, kehilangan percaya diri, bahkan ada yang kehilangan kesehatan mentalnya.

Dan sering kali, ini semua dibungkus dalam relasi kuasa. Senior merasa lebih hebat, dosen merasa paling benar, dan mahasiswa merasa nggak punya pilihan selain nurut. Di tengah semua itu, institusi kampus kadang lebih fokus jaga nama baik daripada jaga keamanan mahasiswanya.

Ada juga kampus yang mulai menyuarakan kampanye anti-perundungan. Misalnya Universitas Nusa Mandiri yang mendeklarasikan kampus bebas perundungan. Oke, bagus. Tapi kalau cuma jadi spanduk atau seremoni, ya percuma. Yang dibutuhin itu sistem seperti tempat pengaduan yang aman, pendampingan psikologis buat korban, sanksi yang jelas buat pelaku, dan keberanian institusi buat bilang “Kami bersama korban.”

Soalnya, selama ini, korban perundungan akademik lebih sering disuruh diam daripada didengar. Dan makin lama dibiarkan, makin dalam lukanya.

Kalau kampus masih memilih diam saat ada perundungan terjadi, jangan heran kalau mahasiswa makin nggak percaya. Kalau suara korban terus diabaikan, lama-lama yang tumbuh bukan generasi kritis, tapi generasi yang capek, takut, dan kehilangan kepercayaan. Mungkin sekarang saatnya kita nanya lagi: kampus ini sebenarnya tempat buat belajar dan tumbuh, atau tempat buat diam dan bertahan?

Kalau kampus cuma peduli reputasi dan bukan keselamatan warganya, maka kita semua perlu mulai berpikir ulang. Karena ruang aman itu bukan cuma tempat bebas tugas, tapi tempat di mana siapa pun, nggak peduli statusnya, bisa merasa aman, didengar, dan dilindungi.

Ridho Hardisk