Di tengah transformasi dunia kerja yang semakin cair dan cepat, persoalan mendasar yang kerap luput dari sorotan adalah bagaimana manusia bukan sekadar sumber daya diperlakukan dalam organisasi. Dalam realitas yang kian digerakkan oleh efisiensi dan target jangka pendek, keterlibatan kerja sering kali direduksi menjadi angka: seberapa keras seseorang bekerja, seberapa lama ia bertahan di meja kerja, dan seberapa cepat ia menyelesaikan tugas. Namun, di balik semua metrik tersebut, ada dimensi lain yang lebih mendalam dan menentukan: bagaimana budaya belajar dihidupkan dalam organisasi dan bagaimana individu meresponsnya sebagai ruang untuk bertumbuh, bukan sekadar bertahan.
Tulisan ilmiah yang disusun oleh Iman, Salendu, dan Qotrunnada (2025) dalam Psikologia: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi membawa kita menyusuri ruang-ruang psikologis yang selama ini terabaikan. Alih-alih menyederhanakan keterlibatan kerja sebagai hasil dari motivasi individu semata, mereka membongkar mekanisme yang lebih subtil dan kompleks: bahwa keterlibatan yang sejati lahir dari proses mediatif yang melibatkan kompetensi dan job crafting, dan bahwa seluruh proses itu berakar dari kultur belajar yang terinternalisasi di dalam organisasi. Budaya belajar bukan sekadar simbol kemajuan, melainkan sistem nilai yang memampukan manusia untuk menyusun ulang pengalaman kerja mereka dalam kerangka otonomi dan makna.
Apa yang menarik dari pendekatan mereka adalah keberanian untuk menyandingkan budaya belajar dengan teori Conservation of Resources sebuah pendekatan yang memandang sumber daya psikologis sebagai inti daya juang individu. Budaya belajar, dalam konteks ini, bukan hanya alat pengembangan SDM, tetapi sebuah sumber daya organisasi yang memberi energi pada agen-agen mikro yang ada di dalamnya. Ketika kompetensi berkembang, individu bukan hanya merasa mampu tetapi juga merasa berhak untuk merancang ulang pekerjaannya baik secara kognitif, sosial, maupun struktural. Dari sinilah keterlibatan kerja tumbuh, bukan sebagai reaksi terhadap kontrol eksternal, melainkan sebagai ekspresi dari keutuhan diri dalam relasi kerja.
Namun refleksi lebih dalam perlu diarahkan pada realitas organisasi kontemporer di Indonesia. Banyak institusi mengklaim membangun budaya belajar, tetapi hanya sebatas pelatihan teknis atau seminar motivasi yang dangkal. Tidak jarang pula organisasi mengabaikan dinamika pembelajaran sebagai sesuatu yang mahal, membuang waktu, atau bahkan mengancam struktur kekuasaan yang telah mapan. Padahal, seperti ditunjukkan dalam artikel tersebut, budaya belajar yang autentik justru memampukan individu untuk menciptakan ruang dialogis antara pekerjaannya dengan eksistensi dirinya. Di sinilah job crafting memainkan peran kunci sebagai ruang di mana pekerja bukan hanya menjadi objek tugas, melainkan subjek yang menegosiasikan makna.
Jika kita telaah lebih lanjut, implikasi dari riset ini menyentuh sisi paling filosofis dari kerja: bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk bertumbuh melalui pekerjaan, bukan semata-mata untuk mendapatkan nafkah, tetapi juga untuk meraih keutuhan diri. Budaya belajar yang hidup memberi jalan bagi proses ini ia menjadi arena tempat individu bereksperimen, gagal, bangkit, dan menemukan cara-cara baru untuk membuat pekerjaannya berarti. Dalam konteks ini, organisasi tak ubahnya ekosistem hidup, tempat pertumbuhan psikologis menjadi prasyarat bagi keberlanjutan.
Karena itu, kerja tidak lagi cukup dilihat sebagai tanggung jawab ekonomi, melainkan sebagai pengalaman eksistensial yang melibatkan perasaan kompeten, otonom, dan terhubung. Budaya belajar menjadi fondasi yang menyatukan seluruh pengalaman itu. Dan ketika organisasi gagal membangun fondasi ini, maka yang lahir bukanlah pekerja yang terlibat, tetapi tubuh-tubuh yang hadir secara fisik namun kosong secara psikologis sekadar memenuhi jam kerja tanpa menyentuh makna dari pekerjaan itu sendiri.
Tulisan ini penting bukan karena menawarkan sesuatu yang sepenuhnya baru, tetapi karena berhasil menyatukan berbagai elemen budaya organisasi, kompetensi, job crafting, dan keterlibatan kerja dalam kerangka yang utuh dan terintegrasi. Ia menjadi refleksi bahwa perubahan dalam organisasi tak bisa digerakkan hanya lewat sistem, struktur, dan target, melainkan harus dimulai dari cara organisasi memperlakukan belajar sebagai inti kehidupan kolektif. Belajar bukan aktivitas insidental, tetapi napas yang memungkinkan organisasi bernalar, beradaptasi, dan bertumbuh.
Jika hari ini banyak organisasi mengalami stagnasi kreativitas, kehilangan loyalitas karyawan, atau menurunnya makna kerja, bisa jadi karena mereka mengabaikan satu hal mendasar: bahwa tanpa budaya belajar yang hidup, organisasi hanyalah mesin produksi yang dingin. Dan manusia, yang seharusnya menjadi jiwa dari mesin itu, akhirnya hanya menjadi bayangan dari potensinya sendiri.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Tag
Baca Juga
-
Ruang Publik yang Terkolonisasi: Literasi, Media, dan Pertarungan Wacana
-
Kesadaran Diri, Antara Jalan Menuju Kebebasan atau Jerat Overthinking
-
Komunikasi Massa: Antara Kuasa Informasi dan Manipulasi Realitas
-
Aroma Cempaka: Kesederhanaan yang Menyimpan Kemewahan Rasa
-
Mencicip Pindang Khas Jambi di Telago Biru: Rasa, Cerita, dan Suasana yang Mengikat
Artikel Terkait
-
Penyebab Gagal Dapat BSU dan Solusinya, Karyawan Lakukan Ini Agar Tak Menyesal
-
Jakarta Mau Bebas Macet: Siapkah Karyawan Swasta Naik Transum Tiap Rabu?
-
Daftar Gaji Karyawan Mie Gacoan per Level, Mulai dari Rp1 Jutaan
-
Mungkinkah Karyawan Swasta di Jakarta Diwajibkan Naik Angkutan Umum Tiap Rabu?
-
Demi Efisiensi, Amazon Pangkas 100 Karyawan
Kolom
-
Pendidikan Etika Digital sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
-
Foto Manipulatif AI, Pelecehan Seksual, dan Kegeraman Publik di Era Digital
-
Kencing di Dalam Bioskop, Pentingnya Jaga Adab Ruang Publik
-
Ironi Kebijakan Prabowo: Smart TV Dibeli, Guru Honorer Terlupakan
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
Terkini
-
Effortless Abis! Intip 4 OOTD Kasual Kece ala Huening Bahiyyih Kep1er
-
Liga Italia Serie A: Saat Eks MU dan Kiper Termahal Asia Kalah Kualitas dari Emil Audero
-
Emil Audero, Liga Italia Serie A dan Perjodohan Dirinya dengan Tim-Tim Medioker
-
Politisi, Komedian, Kepala Keluarga: Tiga Peran Eko Patrio di Tengah Krisis
-
Lapangan Kecil, Jangkauan Besar: Futsal di Dunia Digital