Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Salim Ma'ruf
Ilustrasi makanan enak dari nasi bungkus yang disajikan dalam piring. (Tim Desain Grafis Suara.com)

Isak tangis. Sedu sedan seorang bocah. Bukan karena jatuh. Bukan pula karena mainan yang rusak. Saat itu, tangisan hadir hanya karena satu hal sederhana: aku ingin dibelikan nasi bungkus.

Ceritanya, aku masih kecil. Belum mengenal deadline, belum paham arti uang belanja, apalagi soal cicilan atau beban hidup orang dewasa. Dunia terasa begitu sederhana. Hal-hal kecil bisa membuat bahagia, dan hal yang tampaknya sepele bisa membuat sedih. Misalnya perihal nasi bungkus itu.

Nasi bungkus dari warung dekat rumah. Isinya pun sederhana: nasi putih dan ayam masak habang (bumbu merah khas Banjar). Tapi untukku tak sederhana saat itu, nasi bungkus itu terasa seperti hidangan paling mewah di dunia.

Hal yang membuatnya lebih istimewa: almarhum ayah yang membelikannya.

Aku masih ingat dengan jelas, hari itu aku menangis keras. Merengek tanpa henti. Padahal, aku tidak sedang lapar. Aku hanya ingin nasi bungkus itu, karena entah kenapa, dalam bayanganku, hanya itu yang bisa menenangkan perasaanku.

Ayah datang tergesa, napasnya sedikit terengah. Di tangannya, sebungkus nasi yang masih hangat. Tangis itu pun langsung reda. Aku menyambutnya dengan gembira, lalu duduk di beranda rumah. Di situ, di bawah langit yang mendung dan semilir angin pagi, aku menikmati nasi bungkus itu dengan lahap.

Adapun yang tidak kuketahui waktu itu, dan baru kusadari sekarang, mungkin ayah harus mengorbankan sesuatu demi nasi bungkus itu. Mungkin uang untuk beli obat, atau jatah makan siangnya. Aku tak tahu pasti. Tapi yang jelas, ia memilih melihat anaknya tersenyum, dibanding memenuhi kebutuhannya sendiri.

Ayah adalah marbot musalla. Sosok yang hidup dalam kesederhanaan. Ia tidak punya banyak harta, tapi cintanya begitu luas. Dari tangannya yang kasar dan penuh bekas kerja keras, ia mengajarkanku makna memberi, tanpa pernah berkata-kata.

Setiap kali ayah membawa pulang nasi bungkus, entah dari warung, dari acara tahlilan, atau dari kegiatan di musalla, ada kehangatan yang menyertainya. Ibu pun tak ketinggalan, sering kali datang dari dalam rumah dengan secangkir teh hangat, disajikan di atas nampan kecil yang sudah tua tapi masih setia.

Itulah momen-momen yang kini terasa sangat mahal dan mewah.

Kini aku dewasa. Sudah bekerja. Sudah bisa membeli nasi bungkus kapan saja, dengan lauk apa saja. Tapi, tiap kali melihat kertas nasi warna cokelat di sebuah warung makan, ada desir yang menyusup tiba-tiba di dada. Ada kenangan yang diam-diam menyelinap. Ada rasa yang tak bisa lagi kupeluk secara nyata.

Rasa kehilangan itu paling tajam datang ketika aku menyantap nasi bungkus sendirian. Rasanya tak sama. Sekalipun lauknya lebih banyak, porsinya lebih besar, dan tempatnya lebih nyaman, tetap saja ada yang hilang. Kehangatan itu tak lagi lengkap tanpa ayah dan ibu di sisiku.

Bagiku, nasi bungkus bukan sekadar makanan.

Bagi banyak orang, ia hanya sarapan murah meriah. Tapi bagiku, ia adalah kenangan, pelukan yang tak kasat mata, dan cinta yang pernah ditaruh di atas piring, dengan diam-diam, dan magis.

Sekarang, setiap kali aku memakan nasi bungkus, aku tak hanya menyantap nasi dan lauk. Aku juga menelan rindu.

Rindu pada masa lalu. Rindu pada sosok sederhana yang memberiku cinta paling nyata, tanpa banyak kata.

Ayah dan ibu memang sudah tiada. Tapi lewat nasi bungkus, aku tahu: cinta mereka masih terus hidup di dalam ingatanku. Hangat, seperti secangkir teh dan nasi bungkus yang dulu mereka sajikan di pagi penuh damai.

Salim Ma'ruf

Baca Juga