Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi guru mengajar di kelas. (Pixabay/SyauqiFillah)

Ungkapan "guru, pahlawan tanpa tanda jasa" telah lama menjadi kredo yang menghiasi narasi pendidikan kita. Ia ditanamkan sejak dini, seolah menggambarkan kemuliaan dan pengorbanan tak terhingga seorang guru. Namun, di tengah gemuruh tuntutan zaman dan realitas pahit yang mereka hadapi, apakah frasa ini masih relevan?

Alih-alih memuliakan, istilah ini justru terasa seperti tabir yang menutupi luka, justifikasi atas ketidakadilan, bahkan mungkin pemicu ironi yang menyayat hati. Sudah saatnya kita menyingkirkan label usang ini dan menggantinya dengan apresiasi nyata serta pemenuhan hak yang layak.

Dulu, posisi guru bak mercusuar moral dan intelektual. Suara mereka adalah kebijaksanaan, dan kehadiran mereka membawa ketenangan sekaligus ketegasan. Sayangnya, era keemasan respek itu perlahan memudar.

Kita kerap disuguhi berita pilu tentang siswa yang berani melawan, memaki, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap guru mereka. Fenomena ini bukan lagi anomali, melainkan cerminan dari erosi etika dan budi pekerti yang mengkhawatirkan.

Peran orang tua dalam dinamika ini tak kalah krusial. Dalam semangat melindungi anak, tak jarang mereka justru mengesampingkan wibawa guru, mengintervensi urusan disiplin sekolah secara berlebihan, dan secara tidak langsung mengirimkan pesan kepada anak bahwa "guru bisa dilawan."

Insiden seperti laporan polisi terhadap guru yang menegur siswa, atau tuntutan atas hukuman ringan yang diberikan demi membentuk karakter, semakin melemahkan posisi pendidik. Lingkungan masyarakat pun turut andil.

Pemberitaan negatif tentang guru sering kali lebih viral ketimbang kisah inspiratif mereka, membentuk stigma negatif dan mereduksi peran mulia profesi ini di mata publik. Ketika guru tak lagi disegani, bagaimana mungkin proses pendidikan dapat berjalan optimal?

Bicara soal pahlawan tanpa tanda jasa, sering kali kita abai pada "tanda jasa" yang paling mendasar: penghargaan finansial yang setimpal.

Realitas upah guru, terutama bagi para guru honorer dan mereka yang mengabdi di pelosok negeri, sering kali jauh dari kata layak. Bagaimana mungkin kita menuntut kualitas pengajaran setinggi langit, sementara para pahlawan ini harus berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka?

Di negeri ini, mereka dituntut untuk selalu berinovasi, menguasai teknologi terbaru, mengikuti kurikulum yang terus berubah, bahkan sering kali merangkap berbagai tugas administrasi dan ekstrakurikuler.

Namun, semua dedikasi itu sering kali hanya dihargai dengan upah yang tak cukup untuk biaya transportasi sehari-hari, apalagi untuk menunjang kebutuhan keluarga atau mengembangkan diri.

Istilah "pahlawan tanpa tanda jasa" dalam konteks ini seolah menjadi pembenaran pasif terhadap eksploitasi, menjadikan pengorbanan mereka sebagai "bumbu penyedap" tanpa ada kemauan konkret untuk meningkatkan kesejahteraan. Ini adalah ironi yang menyakitkan: mereka yang bertugas mencerdaskan bangsa, justru hidup dalam bayang-bayang kemiskinan.

Selain upah, banyak hak guru yang masih terabaikan dan dikesampingkan. Jaminan kesehatan yang memadai, fasilitas penunjang pembelajaran yang modern dan lengkap, serta kesempatan pengembangan profesional yang merata adalah beberapa di antaranya.

Banyak guru, khususnya di daerah terpencil, mengajar di bangunan yang tidak layak, dengan minimnya buku dan peralatan penunjang, bahkan tanpa akses internet. Bagaimana mereka bisa bersaing dengan tuntutan pendidikan global jika infrastruktur dasar saja belum terpenuhi?

Kesempatan untuk meningkatkan kompetensi melalui pelatihan dan studi lanjut sering kali terbatas, baik karena keterbatasan anggaran maupun akses informasi.

Beban administrasi yang kian menumpuk, mulai dari pengisian data pokok pendidikan (Dapodik) hingga pelaporan kinerja yang rumit, semakin menyita waktu dan energi guru.

Waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk merancang pembelajaran inovatif, melakukan penelitian tindakan kelas, atau berinteraksi lebih personal dengan siswa, justru habis untuk bergelut dengan tumpukan kertas dan aplikasi. Ketika hak-hak fundamental ini diabaikan, semangat mengajar bisa luntur, dan kualitas pendidikan akan menjadi taruhannya.

Sudah saatnya kita mengakhiri era "guru, pahlawan tanpa tanda jasa." Bukan karena kita ingin melupakan jasa mereka, melainkan karena kita harus berani menghadapi kenyataan bahwa label itu kini lebih banyak menyembunyikan masalah daripada menginspirasi. Ia telah menjadi simbol ketidakadilan yang harus segera diakhiri.

Kita harus mulai dengan langkah konkret, yaitu memberikan upah yang layak dan kompetitif, memastikan bahwa setiap guru dapat hidup sejahtera tanpa harus memikirkan pekerjaan sampingan.

Kemudian, jaminan hak-hak lain seperti jaminan kesehatan, fasilitas kerja yang memadai, dan kesempatan pengembangan profesional yang berkelanjutan harus menjadi prioritas. Pemerintah, masyarakat, dan seluruh elemen bangsa harus bersinergi untuk mengembalikan marwah profesi guru.

Ketika guru dihargai, difasilitasi, dan didukung sepenuhnya, barulah mereka dapat mencurahkan seluruh potensi dan semangatnya untuk mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas, berkarakter, dan berdaya saing.

Maka, mari kita kubur istilah "pahlawan tanpa tanda jasa" dan gantikan dengan "guru adalah profesi mulia yang harus dihargai dan dijamin hak-haknya secara adil". Hanya dengan demikian, kita dapat membangun fondasi pendidikan yang kokoh dan masa depan bangsa yang lebih cerah.

Christina Natalia Setyawati