Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Umi Khoiriyah
Ilustrasi Wisuda (Freepik/rawpixel.com)

Kita pasti sudah nggak asing lagi dengan tren kondangan akademik, di mana mahasiswa datang ke seminar, sidang skripsi, atau wisuda teman dengan dandanan rapi, membawa bingkisan, dan mendokumentasikan momen secara formal. Sekilas, ini terlihat sebagai bentuk dukungan yang lucu dan hangat. Tapi kalau ditarik sedikit lebih jauh, fenomena ini juga menyimpan dilema yang layak dipertanyakan.

Memang tidak ada aturan tertulis yang mewajibkan mahasiswa untuk datang ke sidang teman sambil membawa hadiah, bunga, atau bahkan paper bag berisi snack. Tapi kenyataannya, makin ke sini, standar kondangan akademik makin tinggi. Kalau dulu cukup hadir dan memotret dari jauh, kini jadi datang pakai dress code, bawa parcel, dan harus bikin story bareng. Akhirnya, muncul tekanan sosial secara tidak langsung.

Setelah momen bahagia itu, pasti terlintas pikiran, “Kalau aku dibawain bingkisan pas seminar, berarti nanti aku juga harus begitu,” dan begitu terus berulang. Niat awalnya hangat, tapi bisa bergeser menjadi kewajiban tak tertulis yang memberatkan terutama bagi mahasiswa yang sedang kesulitan finansial atau memiliki keterbatasan waktu dan energi.

Bentuk Solidaritas atau Budaya Balas Jasa?

Nggak ada yang salah dari keinginan untuk menunjukkan perhatian. Tapi, kita juga perlu jujur bahwa ternyata banyak mahasiswa ikut kondangan akademik bukan karena murni ingin mendukung, melainkan karena takut dianggap tidak membalas kebaikan yang pernah diterima. Ini masuk ke dalam budaya sosial transaksional, yaitu ketika kita memberi bukan karena ingin, tapi karena merasa harus.

Dalam artikel The Transactional Society: Recognize Its Dangers yang dimuat di Psychology Today, Thomas Henricks menulis, “Relationships, we are told by some, should be ‘transactional.’ That is, they should be seen as exchanges of valued goods and services.” Pola pikir transaksional menjadikan hubungan sebagai pertukaran manfaat, bukan keterikatan emosional.

Budaya transaksional berpotensi melemahkan kepercayaan sosial karena membuat hubungan hanya dinilai dari untung dan rugi. Dalam pola pikir ini, orang cenderung berpikir, “Kalau aku memberikan sesuatu, aku juga harus dapat balasan.” Ini membuat kita tidak tulus dalam memberi, karena semuanya diukur dari timbal balik bukan dari kepedulian terhadap kondisi orang lain.

Seperti dalam fenomena kondangan akademik, seringkali muncul pikiran: “Dia dulu datang ke wisudaku, jadi aku harus datang juga sekarang.” Ini bukan bentuk empati, tapi kalkulasi sosial. Kita datang bukan karena peduli atau ingin mendukung, tapi karena takut kalau utang sosial tidak terbayar. Hubungan jadi seperti transaksi: "Kamu hadir ke acaraku, aku hadir ke acaramu."

Lama-kelamaan, kita mulai berpikir untung rugi sebelum memutuskan untuk datang ke acara teman. “Kalau aku datang ke acaranya, apa nanti dia juga datang ke acaraku?” Artinya, empati dan dukungan berubah menjadi hitung-hitungan. Semangat komunitas akademik yang seharusnya saling membangun justru bergeser ke arah networking berbasis keuntungan.

Karena semuanya dipersempit menjadi kalkulasi, ketidakhadiran seseorang pun langsung dianggap melanggar “kontrak tak tertulis”. Padahal, bisa saja orang itu tidak datang karena alasan pribadi. Tapi di dalam budaya transaksional, semuanya jadi serba, “Dulu aku udah effort ke acara dia, kok dia nggak ke aku?” Ruang untuk memahami alasan dan kondisi orang lain pun makin menyempit dan empati makin memudar.

Kondangan akademik pun kadang bergeser fungsinya bukan lagi soal perayaan pencapaian atau refleksi ilmu, tapi soal siapa hadir dengan siapa, pakai outfit apa, dan seberapa banyak koneksi yang datang.

Budaya transaksional dalam kondangan akademik bukan hanya mengubah makna kehadiran menjadi sekadar balas budi, tapi juga bisa menjadi awal retaknya pertemanan. Saat seseorang merasa dirinya selalu hadir, memberi dukungan, dan berkorban, tapi tidak mendapatkan hal serupa dari temannya, rasa kecewa pun muncul.

Hubungan yang sebelumnya akrab perlahan jadi dingin karena dihantui perasaan, “Kok aku yang effort terus?” Akhirnya, bukan empati yang menjadi jembatan hubungan, melainkan perhitungan. Dan ketika hitungan itu terasa berat sebelah, hubungan pun bisa berakhir begitu saja bukan karena masalah besar, tapi karena tidak adanya saling pengertian.

Umi Khoiriyah