Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Umi Khoiriyah
Soto ayam (Dok.Pribadi/Umi Khoiriyah)

Sebagai anak rantau, libur dua hari atau tiga hari itu sangat berharga sekali karena bisa pulang sebentar ke kampung halaman. Jadi, aku memutuskan untuk pulang pas libur Iduladha kemarin. Hanya tiga hari saja, tapi cukup buat mengisi ulang hati dan pikiran yang sempat lelah.

Di rumah, sudah pasti bau semerbak dari olahan daging kambing mulai mengusik ketenanganku. Entah kenapa dari dulu aku tidak pernah akrab dengan daging kambing. Mungkin karena aromanya yang kuat, atau karena sejak kecil lidahku lebih nyaman dengan rasa yang ringan.

Tentu saja ibu tahu dengan hal itu. Hal istimewa yang selalu ibu lakukan adalah sengaja membeli bahan makanan lain biar bisa aku olah sendiri nanti. Dan benar saja, ibu sudah menyimpan daging ayam di kulkas, kentang, terong, dan bahan-bahan favoritku yang lain.

Dan seperti biasa, libur rasanya cepat banget selesai. Tiba-tiba sudah mendekati hari aku harus balik ke rantau lagi. Tapi di situ juga ada satu momen yang ingin aku pause, “Mau dimasakin apa, nduk?”. Selalu pertanyaan itu, dengan nada lembut khas Ibu yang berhasil membuatku diam beberapa detik.

Rasanya mau bilang, “Nggak usah masak Bu, aku nggak jadi balik kos aja boleh nggak?” Tapi tentu saja, aku sudah memikirkan masakan apa yang mau dibawa.

Dengan pelan aku jawab, “Mau dimasakin soto ayam.” Ibu langsung saja mengangguk dan bergegas menyiapkan soto ayam buat anak perempuannya.

Pagi-pagi sekali beliau sudah sibuk di dapur, mengiris bawang, menyiapkan ayam, dan memasak soto kesukaanku. Kuah kuning cerah, irisan daun bawang dan potongan tomat jadi ciri khas soto buatan Ibu. Aromanya harum sekali, ah rasanya makin nggak mau balik ke rantau.

Setelah matang, langsung saja aku siapkan wadah buat bekal. Semuanya sudah siap, dan akhirnya kembali menikmati perjalanan panjang ke tempat rantau. Sampai di kos, aku buka bekal yang isinya soto ayam tadi. Dan entah kenapa baru suapan pertama mataku mulai panas dan berair.

Air mataku jatuh sambil menguyah ayam dan menikmati kuah soto buatan Ibu. Bukan karena sambalnya yang pedas, tapi karena rindu yang datang lagi dan lagi. Rasanya seperti membawa rumah dalam kotak makan. Hangat, tapi juga menyesakkan.

Bagi orang lain, mungkin hanya semangkuk soto biasa. Tapi bagiku, itu adalah bentuk cinta paling nyata dan perhatian yang nggak pernah diminta tapi selalu diberi. Rasa soto ayam buatan ibu nggak akan pernah bisa ditiru siapa pun.

Beliau memang nggak pandai buat berkata manis dan mengekspresikan rindu lewat pelukan atau ucapan. Tapi lewat semangkuk soto, beliau ingin aku merasa nyaman, merasa di rumah, dan memastikan kalau aku bisa makan enak setelah sampai kos.

Sampai hari ini, setiap kali Ibu bertanya “Mau dimasakin apa, Nduk?”, aku tahu itu bukan sekadar soal makanan. Itu cara Ibu menunjukkan cinta yang tak banyak bicara tapi selalu terasa. Mungkin aku nggak bisa pulang sesering yang aku mau, tapi setiap masakan Ibu selalu berhasil membuatku merasa dekat, meski jarak memisahkan.

Di antara kesibukan kerja, kamar kos yang sunyi, rasa soto itu seperti selimut hangat ynag mengingatkanku kalau ada rumah yang selalu menunggu, dan seorang Ibu yang mencintai tanpa batas.

Dan aku, akan selalu rindu pulang hanya untuk menjawab, “Mau dimasakin soto lagi, Bu.” Lucunya, kadang aku berpikir mungkin alasan aku selalu lapar di rantau bukan cuma karena makanan kos yang ala kadarnya, tapi karena perutku tahu, di tempat ini tak ada rasa yang bisa menyaingi tangan Ibu.

Masakan Ibu bukan cuma tentang kenyang, tapi tentang perasaan dicintai tanpa syarat. Tentang perhatian kecil yang disisipkan lewat irisan daun bawang dan taburan bawang goreng.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Umi Khoiriyah