Dalam dunia yang semakin individualistik dan pragmatis, nilai-nilai tradisional yang menekankan pentingnya kebersamaan seakan mulai terpinggirkan.
Namun, di tengah arus modernitas dan perkembangan teknologi hari ini, nilai-nilai kearifan lokal masih menjadi perhatian serius bagi masyarakat karena sudah menjadi bagian dari konsep kehidupan sehari-hari mereka.
Tak terkecuali oleh masyarakat Mandar yang ada di Sulawesi Barat, ternyata masih banyak yang memegang teguh prinsip hidup yang disebut Sibaliparriq.
Dari sudut pandang sosiologi kebudayaan, konsep ini bukan hanya sekadar praktik sosial lokal, melainkan bentuk konkret dari solidaritas mekanik dalam masyarakat tradisional sebagaimana dijelaskan oleh Emile Durkheim.
Sibaliparriq, yang secara harfiah berarti, “saling membalut luka,” bukan hanya digunakan saat seseorang mengalami kesulitan fisik, tetapi juga mencakup segala bentuk penderitaan, baik ekonomi, sosial, hingga emosional. Dalam masyarakat Mandar, nilai ini sudah menjadi pilar kehidupan bersama.
Ketika suatu individu mengalami masalah, maka orang-orang di sekitarnya, baik keluarga, tetangga, maupun masyarakat luas akan turut serta membantu tanpa pamrih. Itulah bentuk paling nyata dari korelasi sosial masyarakat.
Dalam jurnal yang ditulis Nasrullah dan kawan-kawan, dengan judul “Budaya Sibaliparriq dalam Perpektif Sosiologi Kebudayaan”, sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Sahur, bahwa Sibaliparriq berarti berbagi suka dan duka antara dua orang atau lebih, bahwa kerjasama suami dan istri sangat diperlukan baik secara materi maupun secara spiritual.
Lebih lanjut, budaya Sibaliparriq merupakan sistem nilai budaya Mandar yang berarti memelihara, yang juga memelihara suami dan istri dan anggota keluarga, terutama mencari nafkah untuk menjaga kebutuhan rumah tangga, Sibaliparriq juga berarti kepedulian masyarakat terhadap berbagai kegiatan sosial, khususnya kepedulian masyarakat terhadap perkembangan wilayah masyarakat.
Dari perspektif sosiologi budaya, Sibaliparriq dapat dipahami sebagai produk konstruksi sosial yang dibentuk oleh pengalaman hidup masyarakat pesisir yang akrab dengan risiko dan ketidakpastian.
Ketergantungan pada alam, terutama laut, membuat komunitas Mandar harus mengembangkan sistem penopang yang tidak hanya mengandalkan pemerintah atau pihak luar, melainkan solidaritas internal. Oleh karena itu, nilai Sibaliparriq bukan sekadar budaya, melainkan sistem adaptasi kolektif.
Dalam praktiknya, Sibaliparriq hadir dalam berbagai aspek kehidupan, seperti saat ada keluarga yang sakit, tetangga akan membantu menjaga; jika ada kematian, masyarakat akan bergotong-royong menyelenggarakan prosesi; dan bila ada pernikahan, warga sekitar turut menyumbang dan membantu prosesinya.
Semua dilakukan tanpa diminta, tanpa kontrak tertulis. Hal ini mencerminkan bahwa dalam budaya Mandar, nilai kebersamaan lebih diutamakan daripada kepentingan individu, utamanya masyarakat yang ada di desa-desa di Sulawesi Barat.
Namun, realitas sosial yang terus berubah memunculkan tantangan baru. Modernisasi, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup membuat generasi muda perlahan menjauh dari nilai-nilai kolektif semacam Sibaliparriq. Banyak anak muda Mandar yang merantau dan tidak lagi mengenal atau mempraktikkan nilai ini dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, upaya revitalisasi budaya menjadi penting. Pendidikan lokal, pelibatan tokoh adat, dan integrasi nilai Sibaliparriq dalam kurikulum sekolah bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menjaga keberlanjutan nilai luhur ini.
Menariknya, Sibaliparriq juga tidak lepas dari dinamika kekuasaan dan peran gender. Dalam beberapa penelitian, nilai ini memperlihatkan adanya kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam konteks membantu sesama.
Perempuan tidak hanya berperan domestik saja, tetapi juga menjadi agen solidaritas sosial di komunitas. Ini membuktikan bahwa nilai Sibaliparriq bersifat inklusif dan adaptif terhadap perubahan sosial.
Dari sisi sosiologi budaya, Sibaliparriq adalah contoh nyata bagaimana budaya lokal bisa menjadi sistem sosial yang kuat. Ia membentuk identitas kolektif, membangun jaringan sosial yang solid, dan menciptakan rasa aman dalam masyarakat. Sebagai warisan tak benda, nilai ini layak dijaga, dikenalkan, dan disebarluaskan, terutama dalam konteks Indonesia yang majemuk.
Sebagai penutup, Sibaliparriq bukan sekadar kearifan lokal dari Mandar, melainkan cermin dari semangat gotong royong yang universal. Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, nilai ini dapat menjadi inspirasi dalam membangun masyarakat yang lebih empatik, inklusif, dan berperadaban.
Baca Juga
-
Kamera Laptop Nggak Nyala? Ini Cara Gampang Biar Muka Muncul Lagi di Layar!
-
QR Code Mau Digunakan tapi HP Ketinggalan? Tenang, Laptop Bisa Jadi Solusinya!
-
9 HP Buat Mahasiswa: Budget Pas-pasan, tapi Fitur Gak Kaleng-Kaleng!
-
Ikon Wi-Fi di Windows 11 Ngilang? Tenang! Ini Cara Mengembalikannya
-
6 Holder HP Motor Terbaik Buat Touring dan Harian, Anti-Goyang dan Anti-Jatuh
Artikel Terkait
Kolom
-
ENDIKUP dan Pidato Terakhir Gustiwiw: Perpisahan yang Tak Pernah Benar Usai
-
Judgemental Culture di Balik Kasus Juliana Marins: Netizen vs Nurani
-
Polri Usul Anggaran Naik Rp63,7 T, tapi Apakah Pelayanan Rakyat Ikut Naik?
-
Membangun Budaya Literasi Lewat Transformasi Perpustakaan Sekolah Dasar
-
Taruh Batu di Atas Rel: Apakah Membahayakan Perjalanan Kereta Api?
Terkini
-
Kasual dan Maskulin, Ini 4 Padu Padan Tampilan Hangout ala Lee Jong Suk
-
Snowy Summer oleh Close Your Eyes: Serunya Main Salju di Juli yang Panas
-
Ulasan Film Selepas Tahlil: Misteri Ilmu Hitam yang Bikin Merinding!
-
Tayang Bulan ini, Simak Sinopsis dan Jadwal Anime Bullet/Bullet di Disney Plus
-
5 Manhwa Bertema Pengkhianatan yang Paling Menggugah, Tawarkan Plot Menarik