Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi sekolah kedinasan (Unsplash/CHUTTERSNAP)

Di negeri +62 ini, ada banyak cara menjadi "anak emas", tapi salah satu cara paling mulia adalah... ya, masuk sekolah kedinasan. Bayangkan: dibiayai penuh oleh negara, disiapkan jadi pejabat, dan—dalam banyak kasus—langsung digaransi kerja.

Sementara itu, 62 juta anak lain—dari Sabang sampai Merauke, dari siswa SD di Sumba hingga mahasiswa di Unhas—harus berbagi satu kue anggaran yang lebih kecil, lebih tipis, dan tanpa topping.

Data tahun 2024 menunjukkan bahwa Rp104 triliun digelontorkan untuk hanya 13 ribu mahasiswa sekolah kedinasan. Bandingkan dengan Rp92 triliun untuk 62 juta pelajar sekolah formal lainnya.

Artinya, setiap mahasiswa kedinasan mendapat kucuran sekitar Rp8 miliar, sementara pelajar lain hanya kebagian Rp1,48 juta per kepala. Rasanya seperti membandingkan mobil dinas mewah dengan sepeda tanpa rem.

Padahal, konstitusi kita secara sakral telah menetapkan bahwa 20% dari APBN harus untuk pendidikan. Dari total APBN 2024 sebesar Rp3.325 triliun, jatah pendidikan sebesar Rp665 triliun. Dan dari itu, hampir 30% untuk sekolah kedinasan yang hanya menampung 0,02% peserta didik nasional. Kalau ini bukan favoritisme fiskal, entah apa namanya.

Ketika Negara Menyusu Hanya pada Satu Bayi

Bayangkan seorang ibu dengan 62 juta anak. Tapi, ia hanya menyusui satu anak yang paling bongsor dan berbaju rapi. Sementara anak-anak lain dibiarkan makan nasi tanpa lauk, belajar tanpa meja, bahkan tidur tanpa atap. Begitulah kira-kira wajah kebijakan pendidikan Indonesia saat ini.

Alokasi anggaran yang timpang ini bukan hanya masalah angka. Ini adalah manifestasi dari kebijakan elitis yang secara sistemik mengabaikan keadilan.

Seperti yang ditunjukkan oleh Gumilar et al. (2024), alokasi anggaran yang tidak merata memperkuat ketimpangan sosial dan ekonomi. Di desa-desa, sekolah rusak tetap rusak. Di pinggiran kota, guru tetap honorer. Tapi di kampus kedinasan, gaji dosen mengilap, seragam bersih, dan makan siang bergizi.

Mari jujur, siapa yang merancang kebijakan ini? Ya, tentu saja mereka yang pernah jadi bagian dari sistem ini. Dalam banyak kasus, kebijakan di negeri ini memang seperti reuni akbar dari alumni yang ingin mengamankan jalur untuk adik kelasnya. Kalau dulu mereka makan dari piring perak, kini ingin anak didiknya makan dari nampan emas.

Jika logika penganggaran lebih mengutamakan keterpanggilan birokrasi ketimbang pemerataan akses, maka pendidikan bukan lagi alat pemberdayaan, melainkan sekadar warisan kekuasaan.

APBN: Anggaran Pernah Buat Negara atau Buat Negeri Pejabat?

Kita perlu bedakan antara negara dan negeri. Negara adalah institusi—dengan kementerian, direktorat, dan baju safari. Negeri adalah kita—rakyat yang menonton sinetron, bayar cicilan, dan ngopi sambil misuh. Sayangnya, APBN kita sering lebih berpihak pada negara (dalam arti sempit: birokrasi), bukan negeri (dalam arti luas: rakyat).

Dana Rp104 triliun untuk sekolah kedinasan bukan semata demi pendidikan, tapi demi menyiapkan "aparatur negara" yang loyal, rapi, dan patuh SOP.

Tak heran, porsi luar biasa besar itu dianggap wajar. Padahal, jika tujuan kita adalah menciptakan masyarakat cerdas dan berdaya, mengapa tidak mengalirkan dana itu ke SMK di Papua? Ke madrasah di Lombok? Ke pustaka digital di Wamena?

Taylor et al. (2025) mengingatkan bahwa penganggaran partisipatif—di mana masyarakat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan—dapat meningkatkan keadilan dan kualitas pendidikan. Tapi di sini, partisipasi rakyat hanya sebatas menyaksikan. Seperti penonton konser, kita bersorak tapi tak bisa memilih lagu.

Sementara itu, siswa sekolah umum terus dibebani: beli buku sendiri, bayar LKS, patungan WiFi. Bahkan di beberapa daerah, toilet sekolah harus bayar. Ini ironi dari negara yang katanya menjadikan pendidikan sebagai pilar pembangunan.

Sekolah Kedinasan: Investasi Negara atau Cermin Neofeodalisme?

Mereka yang membela anggaran jumbo sekolah kedinasan biasanya berkata, “Ini investasi jangka panjang. Mereka nanti jadi ASN, pilar pemerintahan, penjamin keberlanjutan negara.” Mungkin itu benar. Tapi, mari kita periksa siapa yang paling diuntungkan dari sistem ini.

Pertama, sistem seleksi sekolah kedinasan tidak sepenuhnya meritokratik. Banyak yang lulus karena koneksi, bukan karena kompetensi. Bahkan, ada yang menyebutnya “jalur cepat menuju kekuasaan”. Dengan gaji tinggi, status mapan, dan akses politik, lulusan sekolah kedinasan adalah kasta baru dalam birokrasi.

Ini bukan investasi, ini replikasi kekuasaan.

Medrano et al. (2021) mencatat bahwa model alokasi yang mengabaikan faktor historis dan budaya akan memperparah ketimpangan. Dalam konteks Indonesia, daerah tertinggal justru semakin tertinggal karena tidak mendapatkan afirmasi anggaran.

Sebaliknya, pusat kekuasaan (baca: Jakarta dan sekitarnya) mendapat porsi lebih besar. Maka, tak heran jika sekolah kedinasan sering dianggap "bukan sekolah", tapi "jalur negara".

Dan jangan lupakan biaya sosialnya. Ketika masyarakat melihat bahwa satu-satunya jalan sukses adalah menjadi ASN lewat sekolah kedinasan, maka profesi guru, petani, seniman, atau ilmuwan akan makin terpinggirkan. Padahal bangsa besar tidak dibangun oleh birokrat saja, tapi oleh masyarakat yang kreatif dan merdeka berpikir.

Gagasan Alternatif: Pendidikan untuk Semua, Bukan Hanya untuk Negara

Alih-alih menggelontorkan Rp104 triliun hanya untuk 13 ribu orang, mengapa tidak menciptakan kebijakan hibrida? Misalnya, anggaran sekolah kedinasan dipotong 50% dan sisanya dialihkan untuk: 1) Menggratiskan kuota internet bagi siswa di daerah 3T, 2) Membangun perpustakaan keliling digital, 3) Memberi insentif guru honorer, 4) Menambah beasiswa bagi siswa miskin di luar Jawa

Selain itu, perlu ada reformasi dalam sistem alokasi. Gunakan data spasial, indeks ketimpangan wilayah, dan partisipasi lokal untuk menentukan alokasi dana pendidikan. Bayangkan jika setiap desa bisa menyusun prioritas pendidikan berdasarkan musyawarah desa. Maka, sekolah tak hanya jadi tempat absen, tapi pusat peradaban lokal.

Dan mari kita dorong kesetaraan status. Jika lulusan sekolah umum diberi akses yang setara dalam rekrutmen ASN, maka dominasi sekolah kedinasan akan berkurang. Keadilan dimulai dari persaingan yang setara, bukan dari skenario yang sudah ditulis dari awal.

Kalau tidak, kita hanya mengulang cerita lama: negara hanya mengurus mereka yang kelak akan mengurus negara. Sementara rakyat? Disuruh bersabar, seperti biasa.

Anak Emas, Anak Tiri, dan Anak Bangsa

Pendidikan adalah jantung dari keadilan sosial. Ketika ia menjadi alat pembeda, bukan pemersatu, maka bangsa kehilangan nadinya. APBN kita kini seperti orang tua yang pilih kasih: menyayangi satu anak secara berlebihan, dan melupakan jutaan lainnya.

Sekolah kedinasan memang penting. Tapi tidak seharusnya jadi pusat semesta. Kalau negara terlalu cinta pada 13 ribu orang, lalu bagaimana dengan 62 juta lainnya? Kita perlu membalik pertanyaan itu: bukan seberapa besar negara membiayai mereka, tapi seberapa adil negara memperlakukan semua anak bangsanya.

Dan jika 20% APBN untuk pendidikan hanya dinikmati oleh 0,02% pelajar, maka kita harus bertanya: pendidikan untuk siapa?

Yudi Wili Tama