Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi judi online (Unsplash/Tero Vesalainen)

Pagi itu, langit belum sepenuhnya terang ketika Mukidi membuka ponselnya. Sebuah notifikasi dari bank muncul, menandakan bahwa dana bantuan sosial telah masuk ke rekeningnya.

Di dapur, istrinya menanak nasi dengan sisa beras semalam. Anak bungsunya masih tidur pulas, belum tahu bahwa hari ini akan menjadi hari biasa yang terasa lebih ringan—setidaknya begitu harapannya.

Namun langkah Mukidi bukan menuju warung atau toko sembako. Ia duduk di teras, membuka aplikasi yang hanya dikenali oleh sebagian orang sebagai “hiburan cepat kaya”. Jemarinya lincah menavigasi antarmuka yang berwarna mencolok itu, lalu dengan tenang ia menekan tombol “deposit”.

Uang yang baru saja dikirim pemerintah, entah lewat program pemulihan ekonomi atau bantuan sosial tunai, mengalir deras ke akun permainan slot digitalnya. Sekali tekan, ia memasuki dunia lain—dunia ilusi dengan bunyi koin digital dan janji jackpot yang menggiurkan.

Adegan seperti ini mungkin terdengar dramatis, tapi nyatanya menjadi nyata bagi ratusan ribu warga di Indonesia. Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan ada 550 ribu penerima bansos yang tercatat melakukan transaksi judi online.

Rp 900 miliar menguap dalam bentuk deposit ke situs-situs gelap itu, dilakukan dalam lebih dari 7 juta transaksi. Sebuah angka yang menggetarkan, tak hanya karena besarnya dana, tapi karena maknanya: jaring pengaman sosial ternyata bocor tepat di bawah kaki penerimanya sendiri.

Jembatan Bantuan yang Malah Jadi Jalan Menuju Kehancuran

Ketika pemerintah memperkenalkan sistem distribusi bansos berbasis rekening bank, banyak yang menyambutnya sebagai lompatan modern. Tak ada lagi antrean panjang, tak ada lagi potongan dari pihak tak bertanggung jawab.

Uang langsung masuk ke rekening, dan bisa digunakan dengan lebih fleksibel. Tapi seperti pisau bermata dua, fleksibilitas ini justru menjadi celah.

Tidak semua penerima bansos menggunakan bantuan itu untuk membeli kebutuhan pokok. Sebagian, seperti Mukidi dalam kisah sebelumnya, justru menemukan “jalan lain”—tempat di mana uang bisa berlipat dalam hitungan detik, atau hilang dalam kecepatan yang sama.

Situs judi online, dengan kemampuannya beradaptasi secara visual dan algoritmik, menyasar segmen masyarakat yang paling rapuh secara ekonomi.

Iklannya muncul di media sosial, dikemas dengan narasi kemenangan, dan menyelip di antara konten hiburan yang ringan. Dalam situasi seperti ini, bansos menjadi bahan bakar bagi mimpi semu: dari miskin ke kaya hanya dengan menekan tombol “spin”.

Narasi ini bukan dongeng. Ini adalah cermin dari apa yang kita biarkan tumbuh dalam ruang digital tanpa pagar.

Rekening Sunyi yang Mendadak Bersuara

Sementara itu, dari meja kerja PPATK, muncul temuan yang bahkan lebih ganjil. Dari satu bank BUMN saja, mereka berhasil membekukan dana hingga Rp 2 triliun, yang mengalir ke praktik judi online.

Dalam banyak kasus, rekening-rekening penerima bansos tampak tidak layak menerima bantuan. Ada yang menyimpan saldo jutaan rupiah. Ada pula yang tidak aktif lebih dari lima tahun, namun tetap menerima transfer dana.

Dalam dunia perbankan, rekening mati biasanya dipetakan sebagai akun dorman. Tapi di sistem distribusi bansos, dormansi tidak berarti kehilangan hak. Pemerintah tampaknya lebih sibuk mencairkan anggaran daripada memperbarui database. Hasilnya: bansos masuk ke rekening yang tak lagi dimiliki oleh orang yang benar-benar membutuhkan.

Dari sisi administratif, ini kegagalan. Dari sisi moral, ini penghinaan. Karena setiap rupiah yang salah sasaran, berarti ada satu keluarga yang benar-benar lapar dan tak mendapat bantuan.

Sistem yang kita bangun terlalu percaya pada data statis, seolah-olah kemiskinan itu tak berubah dari tahun ke tahun. Tidak ada audit sosial yang aktif. Tidak ada verifikasi berkala. Yang ada hanyalah spreadsheet dan angka-angka yang menua di meja kementerian.

Ketimpangan yang Menjepit, Judi yang Menjanjikan

Untuk memahami mengapa praktik judi online begitu menggoda bagi penerima bansos, kita harus masuk lebih dalam: ke lapisan psiko-sosial masyarakat.

Penelitian oleh Pabayo et al. (2023) di Kanada menunjukkan adanya hubungan signifikan antara ketimpangan ekonomi dan peningkatan perilaku judi online, terutama di kalangan remaja laki-laki.

Ketika seseorang merasa tertinggal secara sosial dan ekonomi, mereka cenderung mencari jalan pintas untuk mengejar ketertinggalan itu. Dan judi online memberikan narasi sederhana, "siapa pun bisa kaya, asal berani ambil risiko".

Penelitian lain oleh Hahmann et al. (2020) mempertegas bahwa kelompok miskin, pengangguran, atau yang hidup di bawah tekanan sosial, lebih rentan terhadap kecanduan judi. Judi menjadi ruang pelarian, eskapisme yang dijual dalam bentuk animasi dan musik digital.

Dalam konteks Indonesia, kombinasi antara ketidakstabilan ekonomi, akses digital yang cepat, dan kurangnya pengawasan, menjadi ladang subur bagi meledaknya fenomena ini.

Apalagi, seperti dijelaskan oleh Prasertsiwaporn & Chomtohsuwan (2023), di era ekonomi digital, perlindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi prioritas. Tanpa itu, bansos akan terus menguap, dan rakyat akan makin dalam terjebak dalam spiral kemiskinan dan ilusi kaya.

Di Balik Layar, Ada Yang Lebih Gelap

Di saat publik masih terperangah oleh data PPATK, tersiar kabar lain, yaitu dugaan suap terhadap pejabat yang diduga terkait dengan praktik judi online. Isu ini mengalir liar di media, menguap lalu mengendap, seperti aroma busuk yang sesekali tercium tapi tak pernah diusut sampai tuntas.

Skema ini mengingatkan kita bahwa judi online bukan hanya “permainan warga”. Ia adalah industri—besar, gelap, dan punya pelindung.

Kita sudah terlalu sering melihat kasus-kasus besar yang menguap begitu saja. Hari ini dibongkar, besok dilupakan. Padahal, selama mata rantai antara industri judi, pengguna, dan pelindungnya tak diputus, maka berapa pun jumlah rekening yang diblokir, sistem tetap akan mencari celah baru.

Sudah saatnya pemerintah berhenti main cantik. Pemblokiran harus disertai investigasi mendalam. Edukasi harus menyentuh akar. Dan distribusi bansos harus dilakukan dengan sistem berbasis keadilan sosial, bukan hanya kecepatan penyerapan anggaran.

Ketika Rakyat Tak Lagi Percaya pada Keajaiban Negara

Kita hidup di zaman yang aneh. Di mana kepercayaan rakyat kepada negara sudah begitu tipis, hingga mereka lebih percaya pada keajaiban mesin slot daripada program pemerintah. Di mana bantuan sosial bukan lagi simbol empati negara, melainkan sekadar saldo sementara yang bisa diuangkan ke meja judi.

Tapi bukan mereka yang harus disalahkan sepenuhnya. Karena di balik setiap transaksi, ada sistem yang longgar. Di balik setiap rekening bodong, ada data yang tak pernah diperbarui. Dan di balik setiap pejabat yang diam, ada kemungkinan bahwa diam itu bukan tanpa sebab.

Negara tak bisa terus memelihara ilusi. Bansos harus kembali ke tujuannya, yaitu menyejahterakan, bukan mempermainkan nasib. Kita butuh distribusi yang adil, pengawasan yang cermat, dan keberanian untuk membersihkan sistem dari mereka yang bermain di dua kaki—sebagai pejabat dan penjudi.

Dan kepada mereka yang tergoda oleh janji mesin slot, barangkali sudah waktunya kita buka ruang dialog. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengingatkan bahwa tidak ada jalan pintas menuju sejahtera. Bahwa spin yang menang itu langka. Dan bahwa harapan sejati tidak datang dari layar gawai, tapi dari kebijakan yang adil, pendidikan yang merata, dan solidaritas yang nyata.

Yudi Wili Tama