Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rion Nofrianda
Ilustrasi dosen mengikuti kegiatan pelatihan (pexels/Luis Quintero)

Di perguruan tinggi, relasi antara dosen dan mahasiswa tidak bisa lagi dipahami seperti hubungan guru dan murid di sekolah dasar atau menengah. Mahasiswa bukan anak-anak yang harus disuapi informasi, dilatih patuh, atau diarahkan secara sepihak. Mereka adalah individu yang sedang tumbuh menuju kedewasaan intelektual dan personal. Oleh karena itu, pendekatan mengajar di universitas harus berangkat dari prinsip-prinsip andragogi, yakni seni dan ilmu membelajarkan orang dewasa.

Namun realitasnya, masih banyak dosen yang menjalankan proses pembelajaran dengan pendekatan pedagogis mengajar seolah mahasiswa adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa, tidak punya pengalaman hidup, dan hanya perlu mendengarkan. Padahal, mahasiswa zaman sekarang memiliki akses luas terhadap informasi, kemampuan berpikir kritis yang berkembang, dan pengalaman personal yang beragam. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar ceramah dan slide presentasi. Mereka membutuhkan ruang dialog, pembelajaran partisipatif, dan pengakuan sebagai pembelajar yang aktif.

Di sinilah pentingnya dosen terus belajar. Dosen harus belajar untuk mengajar, dalam arti memahami bagaimana mahasiswa belajar, bukan hanya menguasai apa yang diajarkan. Dosen bukan sekadar penyampai informasi, tetapi fasilitator proses belajar yang bermakna. Untuk itu, dosen perlu terus update terhadap perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir, sekaligus upgrade dalam hal pendekatan pedagogi dewasa yakni kemampuan untuk membelajarkan mahasiswa sebagai orang dewasa yang berpikir, merasakan, dan bertindak secara mandiri.

Mengajar mahasiswa dewasa memerlukan pemahaman tentang prinsip-prinsip andragogi. Pertama, mahasiswa datang ke ruang kuliah dengan pengalaman hidup yang berbeda-beda, dan pengalaman itu adalah sumber belajar yang penting. Dosen perlu mengaitkan materi dengan pengalaman mereka. Kedua, mahasiswa memiliki kebutuhan untuk merasa otonom, merasa dihargai sebagai individu yang berdaya. Maka, pendekatan instruktif satu arah yang kaku, hanya akan mematikan rasa ingin tahu mereka. Ketiga, motivasi belajar mahasiswa seringkali berasal dari dalam dirinya bukan sekadar karena nilai, tetapi karena keinginan memahami dunia dan menemukan posisi dirinya di dalamnya. Dosen yang memahami ini akan lebih mampu memfasilitasi pembelajaran yang menggugah dan memerdekakan.

Sayangnya, kesadaran akan hal ini belum banyak menjelma dalam praktik pengajaran sehari-hari. Di berbagai ruang kelas, kita masih menjumpai model pembelajaran yang monoton, tidak partisipatif, dan tidak menyentuh realitas hidup mahasiswa. Materi kuliah disampaikan secara linier, tanpa memberi ruang pada mahasiswa untuk bertanya, mempertanyakan, atau memaknai secara kritis. Dalam suasana seperti ini, mahasiswa hadir secara fisik tapi absen secara intelektual dan emosional. Mereka duduk, mencatat, dan menunggu waktu berlalu. Tidak ada kehidupan dalam pembelajaran. Padahal universitas seharusnya menjadi ruang dialektika, tempat tumbuhnya kesadaran kritis dan kemandirian berpikir.

Mengapa ini terjadi? Salah satunya karena sebagian dosen menganggap bahwa mengajar adalah sekadar menyampaikan isi buku ajar. Mereka lupa bahwa penguasaan materi tidak cukup tanpa penguasaan cara menyampaikannya. Di sinilah perlunya pembelajaran terus-menerus bagi dosen itu sendiri. Dosen perlu belajar tentang strategi pembelajaran aktif, tentang bagaimana memfasilitasi diskusi, bagaimana menyusun pertanyaan yang merangsang analisis, dan bagaimana menciptakan suasana belajar yang aman secara psikologis bagi mahasiswa untuk mengekspresikan pikirannya.

Proses belajar dosen tidak berhenti saat ia lulus S3 atau menyandang gelar akademik tertentu. Justru saat itu, proses belajarnya baru dimulai. Dunia berubah dengan sangat cepat mulai dari perkembangan teknologi, teori-teori baru dalam ilmu sosial dan humaniora, hingga perubahan cara berpikir dan berperilaku generasi mahasiswa hari ini. Jika dosen tidak terus belajar, maka ia akan semakin tertinggal, dan materi yang diajarkannya akan semakin tidak relevan. Dosen yang tidak belajar, sesungguhnya sedang memenjarakan mahasiswa dalam kebekuan wacana dan kehilangan daya hidup intelektual.

Mahasiswa hari ini adalah generasi digital yang terbiasa mencari informasi sendiri, membandingkan pendapat, dan membangun opini. Mereka bukan sekadar objek pendidikan, tapi subjek yang berpikir. Maka, jika dosen tidak belajar untuk mengelola kelas sebagai ruang dialog, ia akan kehilangan kepercayaan mahasiswa. Dosen perlu mengembangkan empati akademik kemampuan untuk memahami bagaimana mahasiswa belajar, apa yang mereka alami, dan bagaimana mereka memaknai ilmu. Ini semua hanya mungkin jika dosen memiliki semangat belajar yang tinggi.

Pendidikan tinggi harus bertransformasi menjadi ekosistem belajar bagi semua bukan hanya mahasiswa, tetapi juga dosennya. Kampus harus menjadi komunitas pembelajar. Dosen senior bisa belajar dari dosen muda tentang pendekatan digital dan cara berkomunikasi dengan generasi Z. Dosen muda belajar dari dosen senior tentang kedalaman teoritik dan pengalaman etis mengajar. Dosen lintas disiplin belajar satu sama lain tentang bagaimana ilmu saling beririsan dan memperkaya. Belajar di sini tidak berarti formal, tetapi sebuah praktik keseharian yang hidup, penuh gairah, dan berlandaskan rasa ingin tahu.

Kritik terhadap sistem pendidikan tinggi yang terlalu birokratis memang valid. Banyak dosen dibebani oleh laporan administratif, tekanan publikasi, dan tekanan akreditasi yang kadang justru menjauhkan mereka dari mahasiswa. Tetapi solusi tidak bisa hanya menyalahkan sistem. Perubahan harus dimulai dari kesadaran dosen sebagai aktor utama pembelajaran. Dosen perlu mengambil kembali otonomi intelektualnya, menjadikan belajar sebagai praktik profesional sekaligus moral. Karena ketika dosen berhenti belajar, ia berhenti menjadi pendidik.

Mahasiswa di perguruan tinggi tidak butuh dosen yang sempurna. Mereka butuh dosen yang autentik, yang mau belajar bersama, yang bersedia mengakui bahwa ilmu terus berkembang dan tidak ada satu jawaban mutlak. Mahasiswa tidak butuh diktator intelektual, tapi mitra dialog yang memicu pertumbuhan. Dosen yang belajar untuk mengajar tidak hanya mengubah cara menyampaikan materi, tetapi mengubah relasi kuasa dalam kelas. Kelas menjadi ruang tumbuh bersama, bukan ruang indoktrinasi.

Kita sedang hidup di masa perubahan besar, dan universitas harus menjadi tempat lahirnya agen perubahan. Tetapi perubahan itu hanya bisa dimulai jika para dosennya juga bersedia berubah. Belajar untuk mengajar bukan sekadar tuntutan profesi, tetapi panggilan etik dan intelektual. Ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap mahasiswa, terhadap masyarakat, dan terhadap masa depan.

Karena pada akhirnya, kualitas pendidikan tinggi Indonesia sangat ditentukan oleh sejauh mana dosennya memiliki semangat belajar yang tak pernah padam. Dan semangat itu hanya bisa tumbuh jika kampus memberi ruang, dosen membuka hati, dan semua pihak bersedia menyadari satu hal penting: bahwa untuk mengajar mahasiswa sebagai orang dewasa, dosen terlebih dahulu harus menjadi pembelajar yang dewasa pula.

Rion Nofrianda