Pemerintah kembali melayangkan wacana yang bikin timeline ramai, yaitu memblokir gim Roblox. Alasannya karena banyak konten kekerasan di dalamnya.
Pemerintah ingin memblokir Roblox untuk melindungi anak-anak dari pengaruh buruk dunia digital. Sekilas terdengar heroik. Tapi sebenarnya, apakah pemblokiran itu benar-benar melindungi, atau cuma memberi rasa aman semu?
Roblox adalah platform kreatif tempat pemain membuat dunia virtual, menulis skrip, mendesain karakter, bahkan menjual karya mereka. Bukan sekedar gim tembak-tembakan atau adu kekerasan. Anak-anak yang tertarik coding bisa belajar bahasa pemrograman sederhana lewat Roblox Studio.
Banyak yang menjadikan Roblox sebagai batu loncatan untuk keterampilan digital. Tapi ya, sama seperti YouTube, TikTok, atau media sosial lainnya, kontennya tergantung siapa yang membuat, dan tidak semua kreator peduli soal keamanan anak.
Masalahnya, pemblokiran sering dilakukan tanpa memisahkan mana sisi positif yang bisa dimanfaatkan, dan mana yang harus diawasi.
Psikolog anak sudah bilang, regulasi yang tepat lebih penting daripada blokir total. Verifikasi usia, standar keamanan, sampai kampanye literasi digital harusnya jadi fokus.
Soalnya, anak-anak yang mau mengakses konten tertentu selalu menemukan cara. Hari ini Roblox diblokir, besok mereka mungkin pindah ke platform lain yang malah lebih gelap dan tidak terpantau.
Di Indonesia, literasi digital memang masih jadi PR besar. Pemahaman soal keamanan daring, etika, dan penggunaan teknologi belum merata. Banyak orang tua yang bahkan tidak tahu gim apa yang dimainkan anaknya, apalagi cara mengaktifkan parental control. Jadi kalau Roblox diblokir sekalipun, risiko anak terpapar konten serupa di tempat lain tetap tinggi.
Di sisi lain, pemblokiran juga sering jadi cara instan pemerintah untuk menunjukkan respons cepat. Publik lihat ada masalah, pemerintah keluarkan kebijakan larangan, semua terlihat tanggap.
Pakar pendidikan seperti Ubaid Matraji dari JPPI sudah mengingatkan, “Pemblokiran hanya solusi jangka pendek. Yang mendesak adalah literasi digital bagi orang tua dan anak.” Dan ini bukan cuma teori. Di banyak negara, literasi digital dijadikan kurikulum sejak dini. Anak-anak belajar mengenali hoaks, mengatur privasi, dan menolak interaksi mencurigakan di dunia maya.
Sayangnya, di sini pendekatannya masih reaktif. Tunggu masalah besar muncul, baru ada kebijakan. Padahal kalau literasi digital sudah kuat, kasus-kasus seperti konten kekerasan di Roblox bisa diminimalisir tanpa harus memblokir platform.
Kita juga perlu bicara tentang akses dan pengawasan. Banyak keluarga yang membiarkan anak bermain gim online berjam-jam tanpa pengawasan karena menganggap itu aman selama anaknya anteng. Di sinilah masalahnya. Anak bisa masuk ke ruang obrolan dengan orang asing, mengakses game tematik yang tidak sesuai usia, atau melihat konten yang menormalisasi kekerasan. Dan ini berarti bukan masalah Roblox saja.
Maka, kalau wacana blokir Roblox benar-benar dijalankan, apa yang sebenarnya kita dapat? Apakah anak-anak akan otomatis aman? Atau justru mereka akan beralih ke platform lain yang jauh lebih sulit diawasi karena namanya tidak seterkenal Roblox?
Mungkin yang kita harus kita lakukan adalah memperbesar pengawasan yang bijak, memberi orang tua alat dan pengetahuan untuk memantau aktivitas anak secara efektif. Memberi anak pemahaman bahwa dunia digital punya sisi gelap yang harus dihindari.
Karena melindungi anak di dunia digital itu tidak cukup hanya dengan memutus kabel internet mereka. Tapi juga dengan membekali mereka dengan kemampuan mengenali risiko, memilih dengan bijak, dan berani berkata “tidak” pada konten yang berbahaya.
Baca Juga
-
Persaingan atau Kemitraan? Pertamina vs SPBU Swasta
-
Like A Rolling Stone (2024): Sebuah Refleksi untuk Kaum Perempuan
-
6 Short Movie Jakarta World Cinema 2025 yang Wajib Kamu Tonton di KlikFilm
-
Ironi Kebijakan Prabowo: Smart TV Dibeli, Guru Honorer Terlupakan
-
Influencer vs Aparat Negara: Siapa yang Lebih Berkuasa di Era Digital?
Artikel Terkait
-
5 Fakta Penting Aksi Bendera One Piece Ustaz Felix yang Jadi Uji Kebijakan Publik
-
Buka-bukaan Ustaz Felix Siauw Soal One Piece: Bukan Sekadar Hobi, tapi Pesan untuk Pemerintah
-
Prabowo Instruksikan Pangkas Birokrasi: Dana Desa dan Makan Gratis Jadi Prioritas
-
Sindir Keras Pemerintah, Sujiwo Tejo: Takut Sama Simbol One Piece Itu Tanda Trauma
-
Kiat Sukses Andira Reoputra Pimpin Perumda Sarana Jaya: Sistem Rapi dan Efisien
Kolom
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Ungkap Masalah Gizi MBG dan Luka di Meja Makan Sekolah, Apa Ada yang Salah?
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Santri Pelopor dan Pelapor: Melawan Bullying di Pesantren
Terkini
-
Di Balik Senyum Buruh Gendong Beringharjo: Upah Tak Cukup, Solidaritas Jadi Kekuatan
-
Benturan di Jalan, Harmoni di Lapangan Futsal
-
Kreativitas Strategi dan Seni Bermain di Lapangan Futsal
-
Debut di Pentas Eropa, Calvin Verdonk Hapus Kenangan Pahit yang Digoreskan Klub Marselino Ferdinan
-
Nana Mirdad Soroti Program MBG, Sebut Gagal Total dan Buang Anggaran?