Ada pepatah lama yang bilang, “Don’t judge a book by its cover.” Namun, di dunia yang penuh etalase ini, sepertinya kita paling sering menilai dari sampul. Mungkin itu sebabnya, aku tertarik dengan Film A Normal Woman (2025) garapan Lucky Kuswandi yang tayang di Netflix sejak 24 Juli 2025.
Dari luar, kisahnya seperti drama rumah tangga kelas atas yang dibalut horor psikologis. Namun, semakin dipikir-pikir, film ini sebenarnya ibarat cermin yang memantulkan satu kenyataan pahit, yakni hidup yang tampak indah seringkali menyembunyikan retakan yang dalam.
Cerita film ini tertuju pada Milla (Marissa Anita), perempuan ‘biasa’ yang menikah dengan Jonathan (Dion Wiyoko), pebisnis sukses dari keluarga borjuis. Dari luar, mereka terlihat sempurna. Rumah besar, pakaian mahal, pesta yang glamor, lengkap dengan senyum yang selalu terpasang rapi di depan kamera. Terlepas dari itu, di balik pintu rumah mewah, Milla harus menghadapi ibu mertua, Liliana (Widyawati), yang memandangnya rendah hanya karena dia nggak lahir dari keluarga kaya. Belum lagi ibunya sendiri (Maya Hasan) yang masih terjerat kebiasaan berjudi, dan putrinya Angel (Mima Shafa) yang terus dihujani komentar buruk soal fisiknya yang gemuk.
Secara garis besar, sinopsisnya terdengar seperti drama keluarga biasa. Namun, Lucky Kuswandi menambahkan bumbu misteri. Ya, Milla mulai mengalami gatal-gatal aneh di leher dan dihantui penampakan gadis kecil bernama Grace. Dari sini, rasa ‘nggak nyaman’ dalam rumah mewah itu semakin menguat.
Kemewahan Nggak Selalu Identik dengan Kebahagiaan
Nah, yang menarik bagiku adalah bagaimana Film A Normal Woman memperlihatkan kontras antara keindahan luar dan kekacauan dalam. Rumah keluarga Jonathan didesain dengan detail yang mewah, lampu yang membentuk salib di kamar tidur, perabotan mahal, bahkan setiap sudutnya seolah-olah layak masuk majalah interior. Semua itu membuat rumah terlihat seperti istana. Yup, di ‘istana’ inilah Milla terjebak, bukan sebagai ratu, melainkan tawanan.
Dan dari apa saja yang disuguhkan film ini, aku jadi teringat betapa seringnya kita (baik di media sosial maupun kehidupan nyata) tertipu sama visual. Seseorang bisa terlihat bahagia di foto, berpose di dapur yang kinclong, mengenakan busana desainer, tapi nggak ada yang tahu di balik itu ada pertengkaran, rasa kesepian, atau bahkan rasa nggak dianggap. ‘A Normal Woman’ membuat diriku bertanya-tanya, seberapa banyak orang yang hidupnya sebenarnya seperti Milla?
Ada adegan ketika Milla tersenyum sopan di hadapan keluarga, tapi matanya kosong, seakan-akan menjerit tanpa suara. Itulah momen yang membuat diriku sadar bahwa ‘cantik’ di sini bukan lagi soal penampilan, tapi topeng. Dan topeng, seperti kita tahu, lama-lama berat juga dipakai.
Yang aku sukai dari penggambaran ini, terkait bagaimana filmnya nggak sebatas memposisikan Milla sebagai korban pasif. Meski tertekan, dia tetap punya sisi keras kepala, dan itu tersirat dalam caranya melindungi Angel atau menahan diri agar nggak sepenuhnya tunduk pada Liliana. Eh, tapi tetap saja, rasa ‘terjebak’ itu tetap kuat. Mungkin karena rumahnya sendiri bukanlah tempat aman, melainkan panggung tempat dirinya harus berperan sebagai ‘istri sempurna’ setiap saat.
Bagiku Film A Normal Woman adalah pengingat bahwa kemewahan nggak selalu identik dengan kebahagiaan. Ada orang yang bekerja keras untuk bisa masuk ke ‘lingkaran eksklusif’, tapi begitu sampai di sana, justru merasa lebih sendirian daripada sebelumnya. ‘Keindahan luar’ bisa saja hanya dekorasi yang dipasang untuk menutupi dinding yang retak. Dan retakan itu, cepat atau lambat, akan terlihat. Entah lewat penyakit misterius, mimpi buruk, atau sebatas tatapan kosong yang nggak bisa disembunyikan.
Kalau dipikir-pikir, hidup Milla mungkin jauh dari kata normal. Namun, di dunia yang penuh kepura-puraan ini, justru banyak orang yang bernasib sama. Bedanya, mereka mungkin nggak punya rumah semewah Milla, tapi punya topeng yang sama rapatnya.
Buat Sobat Yoursay yang lagi merasa terkekang, hidup penuh kepura-puraan, atau merasa nggak dianggap hidup, percayalah kamu nggak sendirian dan yakinlah bahwa dirimu mampu meraih kebahagiaan dengan tanganmu sendiri. Semangat!
Baca Juga
-
Review What Does That Nature Say to You: Calon Mertua yang Bikin Canggung
-
Review Film An Officer and a Spy: Skandal di Balik Seragam Militer Prancis
-
Review Film Memories of a Burning Body: Luka yang Dulu Padam Dibuka Lagi
-
Nggak Harus Sedarah, Keluarga Bisa Lahir dari Tempat yang Tidak Terduga
-
Potret Rumitnya Keluarga dalam Film My Mother's Wedding
Artikel Terkait
-
Dipecat dari Serikat Penulis, Park Chan-wook Tepis Isu Tak Ikut Mogok 2023
-
Sutradara Akui Malu Gaet Artis Ternama untuk Film Merah Putih One For All
-
Review What Does That Nature Say to You: Calon Mertua yang Bikin Canggung
-
Kasih Sayang Debt Collector yang Tak Terhingga dalam Film Panggil Aku Ayah
-
Film Merah Putih One For All Tetap Tayang Hari Ini, Tersedia di 3 Bioskop XXI Jakarta
Kolom
-
Paradoks Media Sosial: Semakin Lama Online, Ternyata Semakin Tidak Bahagia
-
Objektifikasi di Balik Akun Kampus Cantik: Siapa yang Diuntungkan?
-
Roblox dan Budaya Panik Moral: Apakah Kita Terlalu Cepat Menghakimi?
-
Generasi Z, UMKM, dan Era Digital: Kolaborasi yang Bikin Bisnis Naik Level
-
Bung Hatta, Ekonomi Kerakyatan, dan Misi Besar Membangun Kesejahteraan
Terkini
-
Dipecat dari Serikat Penulis, Park Chan-wook Tepis Isu Tak Ikut Mogok 2023
-
Janjikan Album Baru, Yuqi (G)I-DLE Dikonfirmasi Comeback Bulan September!
-
Acer TravelMate P614 AI: Laptop Ringan, Kuat, dan Gak Takut Diajak Lembur
-
Mun Ka Young Terpilih Menjadi MC untuk Acara Band Survival Milik Mnet TV
-
Keping-Keping Cinta ala Tere Liye di Buku Sepotong Hati yang Baru