Tidak bosankah mereka mengintimidasi pilihan hidup dengan mengatasnamakan kemurkaan Allah? Sekian tahun nasihat demi nasihat seolah-olah ditujukan padaku, si manusia berdosa besar. Kata-kata mereka telah memekakkan gendang telinga sekaligus batinku.
Ketahuilah, andai boleh memaksa-Nya, aku ingin dijadikan hamba paling suci atau dilahirkan kembali bukan dalam rupa seperti ini.
Terkadang aku mempertanyakan ihwal keapatisan-Nya. Apakah Dia sungguh telah mencabut urat maluku, lalu hanya memandang dari langit tanpa pernah turun sebentar untuk bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Di rumah sederhana yang sunyi—seluruh penghuni pergi menghadiri pengajian—aku lagi sibuk merias wajah. Ya, kebutuhan hidup memaksaku terus tampil prima, terus cantik. Ini malam kesekian kalinya aku menjelma menjadi Kupu-Kupu Senja.
Di dalam kamar, aku kebingungan memilih rok mini dan tatanan rambut apa yang pantas menjadi mahkota di kepala. Setelah memoles wajah dengan bedak tebal, menarik garis mata dengan eye-liner hitam, melentikkan bulu mata dengan maskara, dan mengoles lipstik merah ke bibir, aku lantas ke dapur. Kulkas kubuka. Sebotol bir kuambil tanpa rasa bersalah, toh memang tak ada satu pun penghuni rumah yang berani mengomentari kebiasaanku menenggak minuman ini.
Ini memang rutinitas diriku. Sebelum pergi ke tempat remang-remang, aku meneguk bir agar rasa malu enyah.
Di sekitar kompleks perumahan kumuh, aku melangkah ‘luwes bin lenjeh’ untuk mencuri perhatian. Aku tak lagi memedulikan laknat dari Pencipta, juga tak peduli lirikan para pencibir. Toh sebagian dari mereka, yang paling lantang merasa suci, justru gemar merayuku, bahkan sampai ada yang doyan melecehkan.
Menyebalkan memang, menjumpai ibu-ibu yang menyipitkan mata seakan-akan mereka adalah calon ahli surga, ibarat tak pernah menanam benih dosa. Padahal merekalah yang paling rajin menggunjingkan tetangga, lalu berpura-pura tak pernah ikut mendikte tabiat sesamanya. Ya, beginilah tanah kelahiranku: panas cuaca, juga panas hati.
Seorang pria berkulit hitam mendekat saat aku tiba di lokasi. Terjadi transaksi singkat terkait ‘berapa nominal untuk jual diri malam ini dan berapa jam tubuhku menjadi aset pelampiasan nafsu’. Pria itu mengangguk, setuju. Aku tersenyum kecil. Tumben, ada orang bersedia membayar jutaan per jam.
Aku masuk ke dalam mobil. Namun, di tengah perjalanan, dia mendadak menghentikan laju kendaraan lalu mengacungkan pistol tepat ke wajahku. Dunia seketika serasa beku. Tanpa banyak kata, borgol melingkar di pergelangan tanganku. Jebakan. Polisi.
Lagi-lagi aku mendengar ceramah! Katanya demi membersihkan lingkungan, demi menunda kiamat yang dipercaya semakin dekat. Tubuhku dijadikan contoh paling mudah tentang dosa yang kasatmata. Ceramah dari orang-orang sok paling suci di dunia yang padahal mereka juga doyan!
Di kantor polisi, aku duduk gemetar, menanti satu-satunya manusia yang masih mau menyebut namaku tanpa ludah kebencian. Tiga jam berlalu. Abaz datang membawa uang tebusan. Aku dilepas. Tidak ada permintaan maaf. Tidak juga penjelasan.
Menjelang subuh, kami pulang. Di rumah, seluruh anggota keluarga menutup rapat pintu kamar, seolah-olah aku wabah yang mesti dihindari. Gila banget, kan? Katanya keluarga, tapi tingkah mereka tampak tidak memandangku keluarga sedarah.
Aku dan Abaz berada di ruang tamu. Lampu menyala setengah, membuat bayang-bayang bergeser di dinding. Aku duduk di atas sofa berlapik, punggungku kaku, tangan terlipat di pangkuan. Abaz berdiri tak jauh dariku. Dia tak bertanya, tak menegur. Hanya napasnya yang terdengar, berat dan teratur.
Detik-detik berjalan lambat. Jam dinding berdetak terlalu nyaring. Abaz mendadak melangkah mendekat ke hadapanku. Aku menunduk, menatap lantai yang dingin, tetapi aku bisa melihat kedua kakinya. Mendadak, tanpa kata, lututnya menyentuh ubin. Dia menunduk dalam-dalam, kedua telapak tangannya menyentuh pergelangan tanganku dengan gemetar. Aku tercekat. Dadaku sesak.
“Berubahlah.”
Aku menangis mendengarnya.
“Abaz sayang Ayah,” katanya lirih sambil lebih erat menggenggam kedua telapak tanganku. “Jadilah penuntun sesuai kodrat. Abaz ingin Ayah menjadi imam.”
Lidahku kelu. Tuhan, maafkan aku.
Baca Juga
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Tampil Menawan Saat Natal, Coba 4 Mix and Match OOTD ala Wonyoung IVE Ini!
-
SM Konfirmasi Lay Absen, EXO Ladder Dipastikan Tayang dengan 5 Anggota
-
Performa Apik di Serie A, Market Value Jay Idzes Tembus Rp173 Miliar
-
Hidup Selaras dengan Laut: Nilai Ekologis dalam Tradisi dan Praktik Pesisir
-
Bukan Malas, Hanya Lelah: Kisah Pribadi Mengatasi Kelelahan Mental