Belakangan ini, saya sering bertanya pada diri sendiri: kapan terakhir kali kita benar-benar menikmati kegiatan membaca? Bukan membaca pesan singkat, notifikasi, atau potongan caption media sosial, melainkan membaca dengan penuh perhatian—menyimak setiap kalimat dan merenungkan maknanya. Pertanyaan sederhana ini justru membawa pada refleksi yang cukup dalam tentang kondisi literasi dan minat baca di sekitar kita hari ini.
Di era digital seperti sekarang, informasi datang tanpa henti. Setiap hari kita disuguhi berita, opini, dan berbagai konten yang berlomba-lomba merebut perhatian. Ironisnya, di tengah kelimpahan informasi tersebut, membaca justru sering terasa seperti aktivitas yang melelahkan. Banyak orang mengaku ingin rajin membaca, tetapi selalu merasa tidak punya waktu. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, waktu itu sering kali habis untuk menggulir layar tanpa arah yang jelas.
Literasi sering disalahpahami hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis. Padahal, maknanya jauh lebih luas. Literasi berkaitan dengan cara seseorang memahami informasi, menafsirkan makna, lalu bersikap secara bijak terhadap apa yang ia baca dan dengar. Literasi juga berhubungan dengan kemampuan berpikir kritis, memilah informasi, serta tidak mudah terpengaruh oleh kabar yang belum tentu benar.
Minat baca sendiri bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Ia tumbuh dari kebiasaan dan pengalaman. Banyak orang mungkin memiliki kenangan bahwa membaca identik dengan tugas sekolah, ujian, atau kewajiban akademik. Tidak heran jika membaca kemudian terasa sebagai beban, bukan sebagai kebutuhan atau kesenangan. Ketika sejak awal membaca tidak dikenalkan secara menyenangkan, sulit berharap kebiasaan itu tumbuh dengan sendirinya saat dewasa.
Di sisi lain, lingkungan juga memegang peranan penting. Anak-anak yang tumbuh di rumah dengan buku, cerita, dan obrolan ringan tentang berbagai hal biasanya lebih akrab dengan aktivitas membaca. Mereka melihat langsung bahwa membaca adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sesuatu yang asing. Sayangnya, tidak semua lingkungan memiliki kesempatan yang sama. Akses terhadap bahan bacaan, ruang baca, atau contoh dari orang dewasa masih menjadi tantangan di banyak tempat.
Namun, menyalahkan keadaan tentu bukan solusi. Justru di sinilah pentingnya refleksi bersama. Kita hidup di zaman ketika teknologi sebenarnya membuka peluang besar untuk meningkatkan literasi. Buku digital, artikel daring, dan platform berbagi tulisan bisa diakses dengan mudah. Banyak tulisan ringan dan reflektif yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, termasuk artikel opini seperti yang sering kita temui di berbagai media. Artinya, membaca tidak selalu harus berat dan tebal, tetapi bisa dimulai dari hal-hal yang dekat dengan pengalaman pribadi.
Saya pribadi melihat bahwa minat baca sering tumbuh ketika seseorang merasa “terhubung” dengan apa yang dibacanya. Ketika tulisan terasa jujur, membumi, dan mewakili kegelisahan atau pengalaman hidup, membaca tidak lagi terasa sebagai kewajiban. Ia berubah menjadi ruang untuk merasa dipahami. Dari sinilah biasanya muncul keinginan untuk membaca lebih banyak, lalu perlahan membangun kebiasaan.
Di tengah derasnya arus informasi, kemampuan literasi juga menjadi semacam pelindung diri. Kita hidup di masa ketika hoaks, potongan informasi menyesatkan, dan opini tanpa dasar mudah menyebar. Tanpa literasi yang baik, seseorang bisa dengan mudah terpancing emosi, ikut menyebarkan informasi keliru, atau menilai sesuatu secara terburu-buru. Membaca dengan kritis membantu kita berhenti sejenak, berpikir, dan mempertanyakan kembali apa yang kita terima.
Menariknya, membaca juga memiliki sisi yang sangat manusiawi. Ia melatih empati. Lewat tulisan, kita diajak masuk ke pengalaman orang lain, memahami sudut pandang yang berbeda, dan melihat dunia dari kacamata yang mungkin belum pernah kita pakai sebelumnya. Dalam masyarakat yang semakin beragam dan mudah tersulut perbedaan, kemampuan ini menjadi sangat penting.
Minat baca juga tidak selalu harus dimulai dari buku serius atau bacaan berat. Membaca cerita pendek, esai reflektif, kisah kehidupan, atau opini ringan sudah cukup menjadi langkah awal. Yang terpenting adalah konsistensi dan kesadaran. Membaca satu tulisan hari ini jauh lebih berarti daripada berniat membaca banyak buku, tetapi tak pernah memulainya.
Mungkin kita juga perlu mengubah cara pandang tentang waktu. Banyak dari kita merasa tidak punya waktu membaca, padahal tanpa sadar mampu menghabiskan waktu cukup lama untuk hal-hal yang kurang memberi makna. Membaca memang menuntut fokus, tetapi justru di situlah letak nilainya. Ia mengajak kita melambat, berpikir, dan berdialog dengan diri sendiri.
Pada akhirnya, literasi bukan tentang siapa yang paling banyak membaca, melainkan tentang bagaimana bacaan membentuk cara kita memahami hidup. Literasi yang baik melahirkan masyarakat yang lebih bijak, tidak mudah terprovokasi, dan mampu berdiskusi dengan sehat. Minat baca bukan sekadar target atau angka statistik, melainkan kebiasaan kecil yang memberi dampak besar dalam jangka panjang.
Barangkali kita tidak bisa langsung mengubah keadaan secara besar-besaran. Namun, kita selalu bisa memulai dari diri sendiri: membaca satu tulisan dengan penuh perhatian, membagikan bacaan yang bermakna, atau sekadar mengajak orang terdekat berdiskusi ringan tentang apa yang baru dibaca. Dari langkah kecil inilah, budaya literasi perlahan bisa tumbuh kembali, lebih hidup, dan lebih membumi di tengah keseharian kita.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Fenomena Gen Z Rela Kerja Lembur Demi Bisa Berlibur, Tren yang Sepadan?
-
Aplikasi Buy Now Paylater untuk Produktivitas: Bukan Sekadar Gaya Hidup
-
7 Kebiasaan Finansial yang Terbukti Membantu Anda Cepat Kaya Raya
-
Tinggal Dekat Kota, Tetap Dekat dengan Alam: Pilihan Ideal bagi Pasangan Muda
-
Resolusi Sehat Jadi Beban? Ahli Ungkap Cara Mulai Hidup Sehat Tanpa Ikut-ikutan Tren
Kolom
-
Gaslighting dan Bullying: Kombinasi Mematikan dalam Hubungan Pertemanan
-
Efisiensi yang Ditinggalkan: Paspor 5 Tahun dan Cara Berpikir Negara
-
Gerakan Ayah Ambil Rapor: Terobosan Positif atau Intervensi Berlebihan?
-
Paradoks Media Sosial: Semakin Terhubung, Semakin Merasa Kurang, Semakin Tertekan
-
Kegigihan Nelayan Pati di Balik Rasa dan Mutu Laut Terbaik
Terkini
-
Sempat Minta Pisah, Inara Rusli Kini Balik Mesra dengan Insanul Fahmi?
-
CERPEN: Mencari Tulang Rusuk
-
4 Sunscreen Witch Hazel untuk Kulit Terlindungi dari UV dan Cegah Jerawat
-
Lestarikan Bahasa Daerah, Mahasiswa Unila Gelar Layar Sastra Dua Bahasa
-
Akuntansi Keuangan, Manajemen, atau Perpajakan: Mana yang Cocok untuk Anda?