Akhir-akhir ini, topik seputar hak cipta dan royalti musik kembali hangat dibicarakan. Perdebatan ini tidak hanya terjadi di kalangan musisi besar, tetapi juga menyentuh para pelaku usaha kecil seperti pemilik kafe, restoran, hingga event organizer.
Pada dasarnya, setiap kali sebuah karya musik, baik lagu, melodi, atau liriknya diciptakan, karya tersebut secara otomatis dilindungi oleh hak cipta. Hak cipta ini memberikan hak eksklusif kepada pencipta atau pemiliknya untuk mengendalikan penggunaan karyanya.
Nah, royalti adalah bentuk kompensasi finansial yang diberikan kepada pemilik hak cipta ketika karya mereka digunakan oleh orang lain. Sederhananya, jika kita menggunakan karya orang lain untuk kepentingan komersial, kita wajib membayar royalti.
Lalu, bagaimana ini relevan dengan kafe atau restoran? Seringkali, pemilik kafe memutar musik untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi pengunjung. Tanpa disadari, musik yang diputar itu adalah karya cipta seseorang. Jika kafe tersebut beroperasi untuk mencari keuntungan (komersial), maka secara hukum, mereka harus membayar royalti atas penggunaan musik tersebut.
Masalahnya, banyak pemilik usaha yang tidak tahu atau tidak paham dengan aturan ini. Mereka mengira bahwa dengan membeli CD atau mendengarkan lagu di platform streaming sudah cukup. Padahal, izin yang mereka dapatkan hanya untuk penggunaan pribadi, bukan untuk penggunaan publik atau komersial.
Di Indonesia, ada lembaga yang bertugas mengelola royalti ini. Ada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang membawahi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti WAMI, KCI, dan RAI. Tugas mereka adalah mengumpulkan royalti dari berbagai pihak yang menggunakan musik secara komersial, lalu mendistribusikannya kepada para musisi, pencipta lagu, dan penerbit musik.
Namun, proses ini tidak selalu berjalan mulus. Sering kali muncul keluhan dari musisi bahwa royalti yang mereka terima tidak transparan atau tidak sebanding dengan seberapa sering lagu mereka diputar.
Di sisi lain, para pelaku usaha juga mengeluhkan biaya royalti yang dianggap mahal dan prosedur yang rumit. Terkadang, mereka merasa dipaksa membayar oleh pihak-pihak yang tidak jelas kewenangannya.
Salah satu perdebatan yang paling ramai adalah ketika ada musisi yang secara terbuka menyatakan bahwa lagu mereka gratis untuk diputar di kafe. Niatnya baik, yaitu untuk mendukung para pelaku usaha kecil. Namun, pernyataan ini menimbulkan kebingungan besar. Sebab, meskipun sang pencipta lagu mengizinkan, ada pihak lain yang juga memiliki hak, yaitu penerbit musik atau label rekaman.
Mereka juga memiliki hak ekonomi atas lagu tersebut dan harus mendapatkan bagian dari royalti. Inilah yang membuat masalah royalti menjadi sangat kompleks, karena melibatkan banyak pihak dengan kepentingan yang berbeda.
Penting untuk dipahami bahwa hak cipta musik terdiri dari dua jenis:
1. Hak Cipta Lagu (Komposer & Penulis Lirik): Hak ini dimiliki oleh pencipta lagu.
2. Hak Terkait (Produser Rekaman & Penampil): Hak ini dimiliki oleh label rekaman yang memproduksi lagu dan para penyanyi atau musisi yang terlibat.
Ketika sebuah lagu diputar di tempat umum, royalti harus dibayarkan kepada kedua jenis hak tersebut. Jadi, meskipun seorang musisi menggratiskan karyanya, label atau pihak lain yang memiliki hak terkait tetap bisa menuntut pembayaran. Inilah mengapa masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan izin lisan dari satu pihak saja.
Lalu, bagaimana solusinya? Pemerintah melalui PP No. 56 Tahun 2021 sudah mencoba mengatur hal ini. Namun, implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Diperlukan edukasi yang lebih masif dan transparan.
Para pelaku usaha perlu tahu bahwa membayar royalti adalah sebuah kewajiban hukum yang melindungi hak kekayaan intelektual. Di sisi lain, lembaga pengelola royalti juga harus lebih terbuka dan efisien dalam mendistribusikan royalti kepada para musisi.
Polemik royalti musik ini adalah cerminan dari dilema besar antara menghargai karya seni dan menjalankan roda ekonomi. Kita tidak bisa terus-menerus menggunakan karya orang lain tanpa kompensasi yang layak.
Namun, di sisi lain, aturan yang ada juga harus adil dan mudah dipahami oleh semua pihak. Hanya dengan saling pengertian dan transparansi, polemik ini bisa diselesaikan, sehingga para musisi mendapatkan haknya, dan para pelaku usaha bisa menjalankan bisnis mereka dengan tenang.
Baca Juga
-
Revolusi Digital Detox: Bukan Sekadar Tren, Tapi Kebutuhan
-
4 Rekomendasi Film tentang Menemukan Tujuan Hidup, Penuh Inspirasi!
-
Futsal sebagai Cerminan Ekonomi Mikro di Lingkup Generasi Muda
-
Di Lapangan Futsal, Kami Belajar Menjadi Tim Sejati
-
Masa Depan Lapangan Futsal: Antara Mimpi dan Ambisi di Dunia Maya
Artikel Terkait
-
Ariel NOAH Curhat di DPR: Mekanisme Izin Lagu Bikin Bingung Penyanyi
-
Ariel NOAH 'Belanja Masalah' di DPR, Siap Bongkar Habis-habisan Penderitaan Penyanyi Soal Royalti
-
BCL Keluhkan Perizinan Lagu di DPR: Kalau Salah Satu Pencipta Gak Setuju, Penyanyi Bisa Apa?
-
Sedih, Penuh Mimpi, dan Ceria! aespa Ungkap Highlight Medley Album Rich Man
-
Haechan NCT Ungkap Kisah Romansa Manis dan Patah Hati di Album Solo 'Taste'
Kolom
-
Revolusi Digital Detox: Bukan Sekadar Tren, Tapi Kebutuhan
-
Rangkap Jabatan Pejabat Publik: Krisis Etika, Krisis Lapangan Kerja
-
Soimah dan Ospek Pacar Anak: Realita Tersembunyi Drama Mertua-Menantu
-
Negara Rawan Bencana, Anggaran BNPB Dipangkas: Siapkah Indonesia?
-
Kereta Api Bebas Rokok: Menjaga Kesehatan atau Mengurangi Kebebasan?
Terkini
-
Sinopsis The Ideal City, Drama Terbaru Kem Hussawee dan Pinkploy Paparwadee
-
Curug Anom: Di Antara Jatuhnya Air, Kita Belajar Merelakan
-
Sadis! Ustaz Evie Effendi Diduga KDRT Putrinya hingga Ponsel Dirampas
-
Futsal Fun Match: Nongkrong Sehat ala Gen Z
-
4 Rekomendasi Film tentang Menemukan Tujuan Hidup, Penuh Inspirasi!