Hayuning Ratri Hapsari | Akrima Amalia
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kiri) dan pejabat lama Sri Mulyani Indrawati saat serah terima jabatan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Akrima Amalia

Beberapa hari terakhir, kabar pergantian Menteri Keuangan membuat heboh media. Sri Mulyani, sosok yang sudah belasan tahun dikenal sebagai "bendahara negara", diganti oleh Purbaya Yudhi Sadewa.

Untuk sebagian orang, ini mungkin hanya rotasi jabatan dalam kabinet. Tetapi tidak untuk rakyat biasa yang setiap hari bersinggungan dengan harga sembako, tagihan listrik, dan ongkos transportasi. Pertanyaannya: apa bedanya untuk isi dompet kita?

Dari Sri Mulyani ke Purbaya

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kiri) menandatangani memori jabatan dari pejabat lama Sri Mulyani Indrawati saat serah terima jabatan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Nama Sri Mulyani sudah begitu melekat di benak publik. Ia bukan hanya pejabat negara, tetapi juga simbol disiplin fiskal. Di banyak kesempatan, Sri Mulyani dikenal sebagai "tameng" ekonomi Indonesia, sosok yang dipercaya pasar global. Karena itulah, kepergiannya mengejutkan banyak pihak.

Pasar pun langsung bereaksi. Rupiah sempat melemah, arus modal asing keluar, dan investor asing bertanya-tanya: apa arah baru kebijakan fiskal Indonesia? Di media sosial, warganet bersuara: ada yang sedih kehilangan figur Sri Mulyani, ada juga yang optimis menyambut wajah baru.

Purbaya Yudhi Sadewa, yang ditunjuk sebagai pengganti, sebenarnya bukan orang asing di dunia ekonomi. Lulusan Purdue University ini pernah menjadi ekonom di Danareksa dan terakhir menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Track record-nya jelas ada. Tetapi memimpin Kementerian Keuangan jelas level yang berbeda.

Harapan Baru

Ilustrasi matahari terbit(Unsplash/DawidZawia)

Dalam pidato awalnya, Purbaya menyebut target pertumbuhan ekonomi 8% bukan hal yang mustahil. Untuk rakyat, angka itu terdengar seperti kabar gembira. Siapa yang tidak senang kalau ekonomi tumbuh pesat? Harapannya, pertumbuhan itu bakal terasa sampai ke dapur rumah tangga: gaji naik, pekerjaan lebih banyak, dan harga barang lebih stabil.

Kita selalu punya ruang untuk berharap setiap kali kursi menteri berganti. Mungkin kali ini pajak bisa lebih adil, subsidi tepat sasaran, atau bantuan sosial tidak lagi tersendat. Rakyat sederhana tentu ingin sekali punya alasan untuk percaya. Apalagi di tengah beban hidup yang semakin berat, wajar kalau kita menaruh doa pada wajah baru di pemerintahan.

Realitas Bisa Berbeda

Ilustrasi perdebatan(Unsplash/Sebastian Herrmann)

Namun, kita juga tahu, angka 8% di atas kertas belum tentu terasa di pasar. Di warung dekat rumah, harga cabai bisa tetap pedas meski grafik ekonomi naik. Ongkos transportasi tetap membuat kantong tipis, meski APBN katanya sehat.

Pergantian menteri sering diwarnai euforia sesaat. Tetapi dalam jangka panjang, apakah benar hidup kita menjadi lebih ringan? Di era Sri Mulyani pun, banyak orang mengeluh harga-harga naik. Sehingga wajar jika muncul pertanyaan: apa benar menteri baru ini bisa memberi perubahan nyata, atau hanya melanjutkan cerita lama dengan aktor yang berbeda?

Apalagi, pasar keuangan sudah menunjukkan reaksi yang agak pesimis. Rupiah melemah, modal asing keluar. Itu artinya, Purbaya harus bekerja ekstra keras untuk meyakinkan publik dan investor bahwa ia bisa menjaga stabilitas fiskal.

Tantangan besar menunggunya: menjaga defisit anggaran tetap sehat, sekaligus memenuhi janji program populis yang dijanjikan pemerintah.

Sri Mulyani vs Purbaya: Dua Gaya, Dua Era

Ilustrasi panah(Unsplash/Claudio Schwarz)

Sri Mulyani identik dengan ketegasan. Ia menjaga aturan defisit maksimal 3% dan dikenal berani menolak program yang dinilai membebani anggaran. Kadang langkah ini membuatnya tidak populer, tetapi pasar menghormatinya.

Purbaya datang dengan gaya berbeda. Ia terdengar lebih optimis, bahkan cenderung ambisius dengan target pertumbuhan tinggi. Gaya ini bisa memberi energi baru, tetapi juga rawan dianggap "terlalu berani". Jika kebijakan yang diambil tidak konsisten, pasar bisa cepat hilang kepercayaan.

Bagi rakyat kecil, perbedaan gaya ini mungkin tidak terlalu kentara. Jauh lebih penting, harga sembako tidak melonjak, biaya sekolah terjangkau, listrik tidak naik mendadak. Tetapi justru di situlah tantangannya: bagaimana menerjemahkan kebijakan fiskal yang rumit menjadi keseharian yang terasa oleh masyarakat.

Rakyat dan Isi Dompet

Ilustrasi pasar tradisional(Unsplash/EstefaniaRainie)

Jika dipikir-pikir, rakyat sebenarnya jarang bisa ikut campur dalam debat ekonomi tingkat tinggi. Kita tidak ikut rapat anggaran, tidak paham istilah teknis soal fiskal. Tetapi kita paham rasanya ketika gaji UMR habis hanya dalam dua minggu. Kita paham perasaan harus mikir ulang beli lauk karena harga ayam mendadak naik.

Itulah mengapa setiap pergantian Menkeu selalu terasa personal. Karena pada akhirnya, yang kita tunggu bukan sekadar laporan keuangan negara, melainkan dampak nyata ke dompet kita. Apakah kali ini ada kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil? Atau kita hanya menjadi penonton dari drama politik-ekonomi yang berlangsung di layar kaca?

Harapan, Keraguan, dan Doa

Ilustrasi mimpi(Unsplash/SashaFreemind)

Sebagai rakyat biasa, kita berada di persimpangan: antara ingin percaya dan terpaksa realistis. Kita ingin percaya bahwa wajah baru ini membawa harapan baru. Tetapi kita juga realistis, bahwa sering kali pergantian orang belum tentu mengubah nasib.

Mungkin pergantian ini bisa memberi semangat baru. Tetapi mungkin juga, ujung-ujungnya sama saja. Harapan dan keraguan berjalan berdampingan. Dan di tengah semua itu, kita tetap harus hidup: tetap bayar sewa, tetap cari makan, tetap menabung meski tipis.

Purbaya Yudhi Sadewa kini resmi menjadi Menteri Keuangan. Harapan dan keraguan menyertai langkah awalnya. Kita bisa saja optimis pada target pertumbuhan 8%, tetapi juga harus siap jika realitas berkata lain.

Bagi rakyat kecil, pertanyaan itu akan selalu sama: apakah kebijakan besar di Jakarta benar-benar akan terasa sampai ke dompet kita?

Entah harapan baru atau sama saja, waktu yang akan menjawab. Sementara itu, kita hanya bisa berharap angka-angka indah di atas kertas benar-benar menjelma menjadi kehidupan yang lebih ringan di dunia nyata.