Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Ilustrasi Cinema (Pexels)
Athar Farha

Banyak yang percaya kalau film panjang pertama adalah ‘penentu’ karir seorang sutradara. Ungkapan ini sering banget terdengar, terutama di lingkaran perfilman independen atau festival. Seolah-olah, begitu debutnya gagal, tamatlah riwayat sutradara itu. Namun, kalau mau dibedah lebih kritis, anggapan ini sebenarnya problematis.

Pertama, memang benar film panjang pertama punya bobot besar. Dari situ biasanya publik, kritikus, sampai industri melihat ‘DNA’ seorang sutradara. Dari cara dia bercerita, bagaimana dia mengolah visual, sampai bagaimana dia menggabungkan emosi dengan teknik. Kalau debutnya memukau, otomatis ada legitimasi instan. 

Di Indonesia, kita bisa lihat Edwin lewat Blind Pig Who Wants to Fly (Babi Buta yang Ingin Terbang), yang dari awal udah nunjukin keberanian gaya dan tema. Film pertama bisa jadi semacam kartu nama yang sulit dihapus dari ingatan.

Namun masalahnya, kalau kita bilang film panjang pertama itu ‘penentu’, seakan-akan kita menutup ruang tumbuh bagi para sutradara. Padahal, perjalanan kreatif itu nggak selalu instan. Banyak sutradara yang justru butuh beberapa film untuk menemukan suara sejatinya. 

Ridley Scott misalnya, debut lewat ‘The Duellists’ (1977). Film itu dihargai, tapi belum bikin dia mendunia. Baru ketika ‘Alien’ (1979) dan ‘Blade Runner’ (1982) hadir, namanya jadi kokoh. Atau Christopher Nolan saat bikin Following, film panjang pertamanya, tapi publik dan industri baru benar-benar melihat potensinya lewat Film Memento. Jadi, debut nggak selalu langsung jadi tonggak utama.

Kritiknya begini, obsesi pada debut sering kali lebih banyak dipengaruhi oleh pola pikir festival dan pasar yang ingin ‘menemukan’ talenta baru. Festival besar suka banget dengan narasi ‘sutradara muda debutan yang jenius’. Ini bagus buat branding, tapi berbahaya juga karena bisa jadi beban. Sutradara yang karyanya biasa-biasa saja di film pertama sering dicap gagal, padahal mungkin mereka hanya butuh ruang eksplorasi lebih jauh. Industri seharusnya nggak menuntut semua orang lahir dalam keadaan sudah matang.

Di sisi lain, kita juga nggak boleh menyepelekan arti debut. Film pertama tetap penting sebagai pijakan awal. Kalau debutnya kuat, otomatis lebih mudah dapat akses. Iya, produser percaya, distributor tertarik, festival mau mengundang. Karir bisa melesat. Namun itu baru starting point. Pertanyaan berikutnya, apakah dia bisa mempertahankan atau bahkan melampaui kualitas debutnya? Di sini lah peran konsistensi dan daya adaptasi jadi lebih menentukan ketimbang debut itu sendiri.

Contoh ekstrem bisa kita lihat dari Sutradara M. Night Shyamalan. ‘The Sixth Sense’ (sebenarnya bukan debut, tapi dianggap sebagai ‘film panjang pertamanya yang dikenal dunia’ dan langsung mengangkat namanya. Namun, di film-film berikutnya, kualitasnya naik turun. Hasilnya, publik jadi sinis. Atau Richard Kelly dengan Donnie Darko, debutnya dipuja, tapi film-film berikutnya gagal, sampai sekarang kesulitan bangkit lagi. Jadi jelas, debut cemerlang pun bisa menjerat kalau nggak diikuti konsistensi.

Sebaliknya, ada juga sutradara yang debutnya biasa saja, tapi karirnya berkembang luar biasa. Taika Waititi misalnya, lewat Film Eagle vs Shark, banyak yang menilai kurang maksimal. Namun setelah itu, dia terus berkembang sampai dipercaya Marvel menggarap Film Thor: Ragnarok. Hal yang sama terjadi pada Denis Villeneuve, Film August 32nd on Earth dan Film Maelström bukan debut yang bikin dunia heboh, tapi bertahun-tahun kemudian dia menjelma jadi salah satu sutradara paling berpengaruh lewat Film Arrival, Film Blade Runner 2049, sampai Film Dune.

Jadi, menurut aku, film panjang pertama lebih tepat disebut uji coba bukan ‘penentu final’. Ini penting sebagai pernyataan niat, semacam “hello world” dari seorang sutradara. Nah, yang benar-benar menentukan karir adalah bagaimana seorang sutradara belajar dari film pertamanya (baik sukses maupun gagal) lalu membangun konsistensi, keberanian bereksperimen, dan kemampuan bertahan di industri yang keras.