Hikmawan Firdaus | Suhendrik Nur
Ilustrasi Guru (Pexels/Max Fischer)
Suhendrik Nur

Kita selalu didoktrin bahwa pendidikan kita itu memiliki sebuah tujuan untuk mencetak generasi yang kreatif. Tapi mari kita jujur-jujuran sebentar: kreatif di sini merupakan kreatif yang dimaksud siapa? Kreatif versi siapa? Yang menjadi kreatif siapa? Gurunya kah, atau muridnya? Jika pada akhirnya yang menjadi tolak ukur ialah tentang penaklukan akan rumus-rumus matematika, menghafal reaksi kimia, atau menyalin definisi fisika, maka kreativitas itu sejatinya telah dipenjara sejak awal.

Di ruang kelas, “anak pintar” biasanya identik dengan mereka yang mampu menjawab soal eksak dengan cepat dan tepat. Sementara anak yang mahir menggambar, menulis puisi, atau punya kepekaan rasa terhadap teman sekelasnya seringkali dicap tidak serius, tidak fokus, bahkan pembuat masalah. Padahal, bukankah kreativitas lahir dari kepekaan semacam itu, dari keberanian untuk menyelami rasa, bukan sekadar mengolah angka?

Lembaga pendidikan, baik dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan segala aturan dan kurikulumnya, terlalu sibuk untuk melatih otak rasional: hitung cepat, hafalan akan definisi dan sejarah, kuasai rumus. Akan tetapi, mereka sering lupa bahwa manusia dengan segala keunikannya juga hidup dengan “rasa” dengan intuisi, imajinasi, dan tentunya empati. Kreativitas yang sejati lahir bukan hanya dari menyalin rumus-rumus semata, melainkan dari sebuah kemampuan untuk merasakan, menafsirkan, bahkan hingga mempertanyakan.

Bukankah pada masa kanak-kanak merupakan masa di mana seorang manusia melatih daya imajinasi dan kreativitasnya? Ironisnya, begitu anak memasuki sekolah, ruang bermain imajinasi itu pelan-pelan dirampas. Anak-anak yang dulunya bebas menggambar di tembok, menulis cerita absurd, atau bercakap-cakap dengan imajiner teman khayalan, tiba-tiba harus duduk manis, patuh pada pola yang seragam. Imajinasi yang liar dianggap gangguan, rasa ingin tahu yang tak terbatas dicap membuang waktu, dan keberanian mempertanyakan justru dipelintir sebagai sikap melawan.

Lalu apa kabar kreativitas? Ia dibiarkan hidup setengah mati, cukup untuk hiasan brosur pendidikan, tapi tidak pernah benar-benar dipelihara. Sekolah lebih gemar mencetak “generasi seragam” ketimbang membuka ruang bagi yang berbeda. Padahal, kreativitas justru tumbuh dari perbedaan, dari keberanian untuk keluar jalur, dari kepekaan rasa yang tidak bisa diukur dengan angka-angka.

Barangkali saya hanya sedang nyinyir. Saya belum menikah, belum punya anak, dan mungkin belum merasakan bagaimana repotnya mendidik. Tapi bukankah justru karena itulah saya bisa lebih jernih melihat? Bahwa ada yang keliru dalam cara kita memperlakukan kreativitas di sekolah. Dan jika kita terus pura-pura lupa, maka jangan salahkan siapa-siapa ketika generasi mendatang tumbuh jadi generasi fotokopi.

Namun, mari kita bayangkan sejenak: apa jadinya jika sekolah benar-benar menaruh rasa sebagai inti pendidikan? Bayangkan kelas di mana anak boleh salah tanpa takut dimarahi. Bayangkan guru yang tidak sekadar menguji hafalan, tapi mendorong murid untuk bertanya hal-hal yang bahkan belum tentu bisa ia jawab. Bayangkan kurikulum yang memberi ruang untuk melukis, menulis, berteater, bercocok tanam, atau sekadar duduk merenung. Pendidikan yang seperti itu tidak akan melahirkan murid-murid sempurna versi rapor, tapi manusia-manusia utuh yang tahu caranya menjadi manusia.

Dan mungkin memang itu yang kita butuhkan: bukan generasi yang seragam, bukan generasi yang sibuk mengejar angka di raport, melainkan generasi yang berani merasakan, berimajinasi, dan mencipta. Generasi yang bukan hanya bisa menjawab soal, tapi juga mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru. Sebab dunia tidak pernah benar-benar maju hanya dengan menghafal, melainkan dengan keberanian mencipta sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.