Sekar Anindyah Lamase | Thedora Telaubun
Zine Breaking The Chain oleh Gevi Noviyanti dan Nisa R.A. (Dok. Pribadi/Thedora Telaubun)
Thedora Telaubun

Yogyakarta, 2025 - Sore itu, di ruang kecil penuh buku seni di Toko Buku TOS, sekelompok orang berkumpul dalam suasana akrab. Tidak ada panggung, tidak ada jarak antara pembicara dan pendengar. Hanya percakapan kecil antara dua seniman muda perempuan, Gevi Noviyanti dari Cirebon dan Nisa R.A. dari Banda Aceh, yang berbagi cerita tentang proyek seni mereka bertajuk Breaking the Chain: sebuah zine dan inisiatif kolaboratif yang menyoroti isu pernikahan anak melalui medium seni dan riset partisipatif.

Acara ini digagas oleh TOS Art Bookshop and Library by Sokong, yang secara rutin membuka ruang pertemuan lintas komunitas untuk membicarakan isu sosial lewat seni, buku, dan percakapan santai. 

Di pertemuan kali ini, Nia dari TOS membuka sesi dengan memperkenalkan kedua seniman yang sebelumnya telah melakukan pameran di Yogyakarta dan Cirebon, dan tengah bersiap untuk membawa proyeknya ke Aceh pada Oktober mendatang.

Zine sebagai Ruang Proses dan Arsip Perlawanan

Suasana Percakapan Kecil (Dokumentasi Pribadi/ Thedora Telaubun)

Dari riset tersebut lahirlah zine “Breaking the Chain”, bukan katalog pameran, melainkan catatan proses kreatif, refleksi emosional, dan metode riset etnografis dua seniman muda ini. Mereka menuliskan perjalanan, percakapan, hingga dilema etis selama mendekati subjek.

Nisa misalnya memilih untuk tidak menampilkan wajah para subjek foto. “Aku motret ruang-ruangnya saja: kamar, dapur, halaman, karena aku gak mau mengulang praktik eksotisasi terhadap perempuan Aceh,” ujarnya. Dari potret ruang domestik itu, lahir nuansa keheningan yang justru terasa paling lantang.

Tentang Emosi, Batas, dan Keberanian Bercerita

Salah satu bagian paling menarik dalam percakapan adalah saat keduanya membahas bagaimana mengelola emosi selama bekerja dengan isu yang berat. Nisa mengaku proyek ini terasa lebih ringan dibanding riset sebelumnya tentang perceraian pascapandemi yang membuatnya “draining secara psikologis.”

“Sebelum mulai, aku udah nentuin batas. Aku gak mau nanya hal-hal yang bisa ngetrigger trauma subjek, karena aku sendiri masih belajar cara mendengarkan dengan sehat,” ujarnya.

Gevi menambahkan, “Banyak seniman yang fokus pada hasil karya, tapi kami ingin prosesnya juga terbaca. Karena di situ justru ada etika, ada kemanusiaan.”

Dari Pameran ke Percakapan Kolektif

Zine Breaking The Chain oleh Gevi Noviyanti dan Nisa R.A. (Dokumentasi Pribadi/ Thedora Telaubun)

Breaking the Chain kemudian berkembang dari proyek residensi menjadi kolektif kecil yang melibatkan banyak pihak lintas disiplin: mulai dari komunitas perempuan, NGO, akademisi, hingga instansi lokal seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Diskusi di TOS memperlihatkan bahwa proyek ini bukan sekadar kerja seni, melainkan upaya memulihkan kesadaran bersama. “Kita gak bisa kerja sendirian,” kata Gevi. “Seniman itu cuma pembuka gerbang. Supaya rantai bisa benar-benar putus, kita perlu kerja bareng orang-orang yang sudah lama di lapangan.”

Menjadikan Seni sebagai Dialog

Di akhir sesi, pengunjung diajak membaca dan membahas isi zine. Beberapa menyampaikan pengalaman pribadi: tentang teman yang menikah muda, tentang keluarga yang masih menganggap isu ini tabu. Ada rasa hangat sekaligus getir di ruang itu: percakapan kecil, tapi penuh makna.

Sore menjelang malam itu, Breaking the Chain bukan hanya nama proyek. Ia menjadi ajakan untuk bicara, untuk memulai percakapan baru tentang tubuh, pilihan, dan masa depan perempuan muda di Indonesia.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS