Jujur, setiap kali ada pengumuman pergantian menteri pendidikan, atau bahkan sekadar wacana kebijakan baru, reaksi pertama saya bukan antusias. Reaksi saya: capek.
Ya, capek.
Bagi kita yang hidup dan merasakan langsung dinamika pendidikan di negara ini, frasa "ganti menteri ganti kurikulum" sudah jadi semacam lelucon getir. Sebuah tradisi yang seolah wajib dilestarikan, padahal dampaknya bikin pusing tujuh keliling mulai dari guru, siswa, orang tua, sampai pembuat buku pelajaran.
Ini adalah keresahan personal saya, dan saya yakin juga keresahan banyak orang. Saat ini, kita bahkan sedang menanti hasil Survei PISA 2025 yang baru saja selesai dilaksanakan di Indonesia, yang hasilnya baru akan diumumkan pada Desember 2026, seperti dilansir dari Jurnalzone.id. Sambil menunggu rapor terbaru itu, mari kita refleksi sejenak: kenapa kita seolah terjebak dalam siklus yang "gitu-gitu saja"?
Kita semua mau pendidikan maju, tapi rasanya kita ini cuma lari di tempat. Kita sibuk "bongkar pasang" sistem, tapi lupa memperbaiki fondasinya. Pertanyaannya, kalau begini terus, pendidikan kita kapan majunya?
Kerancuan Abadi: Menambal atau Mengganti Total?
Opini personal saya, masalah terbesar dari hobi ganti kurikulum ini adalah kerancuan. Setiap pergantian pasti menimbulkan kebingungan baru. Bayangkan sebuah sistem yang sedang berjalan. Tentu sistem itu tidak ada yang sempurna.
Tapi, alih-alih kurikulum yang sebenarnya memang kurang sempurna itu ditingkatkan, dievaluasi bagian mana yang bolong, lalu ditambal, kita malah memilih menggantinya total dengan yang baru. Hasilnya? Kita akan menemui permasalahan yang sama lagi, hanya dengan nama dan istilah yang berbeda.
Bahkan, dokumen resmi pemerintah pun mengakui kelemahan sistem sebelumnya. Mengutip Kajian Akademik Kurikulum Merdeka dari Kemendikbudristek (Maret 2024), Kurikulum 2013 (K-13) dievaluasi memiliki beberapa persoalan. Persoalan itu antara lain "beban materi pelajaran... terlalu banyak", "kurangnya keselarasan isi kurikulum", "beratnya beban administrasi guru", dan "kurangnya fleksibilitas penerapan kurikulum".
Ini adalah bukti bahwa masalahnya sudah teridentifikasi lama. Namun, solusinya bukan menambal K-13 agar lebih fleksibel dan ringan, tapi melahirkan kurikulum baru yang (lagi-lagi) menuntut adaptasi total dari nol.
Realitas Lapangan vs. Ambisi di Ruang Rapat
Inilah inti keresahan saya: kurangnya riset dari pemerintah terkait topografi masyarakat dan lingkungan. Kebijakan pendidikan kita seringkali terasa top-down, seolah diputuskan di ruang rapat ber-AC di Jakarta dan lupa bahwa Indonesia itu bukan cuma Pulau Jawa.
Pemerintah sepertinya sering abai pada realitas di lapangan. Padahal, tantangan pendidikan kita sangat khas. Seperti yang pernah diulas laman Sekretariat Negara (Setneg.go.id), pemerataan pendidikan di Indonesia menghadapi "tantangan geografis" yang luar biasa. Tantangan ini termasuk "kondisi infrastruktur dan akses" yang sulit di wilayah terpencil.
Bagaimana kita bisa bicara standar yang sama, ketika masih banyak daerah yang terkendala "keterbatasan fasilitas pendukung seperti listrik, jaringan internet, serta sarana prasarana yang tidak memadai"? Belum lagi masalah klasik "kekurangan tenaga pengajar".
Ketika kebijakan baru diluncurkan, ia seolah menganggap semua sekolah "siap". Padahal, realitasnya, ada kesenjangan besar antara sekolah di kota dan di pelosok.
Kurikulum Merdeka: Solusi Fleksibel atau Paksaan Digital?
Sekarang mari kita bedah contoh paling aktual: Kurikulum Merdeka.
Banyak yang bertanya, apakah Kurikulum Merdeka ini berbasis teknologi? Jawabannya jelas, ya. Jika kita melihat Kajian Akademik Kurikulum Merdeka, landasan sosiologisnya sangat erat dengan "Revolusi Industri 4.0", "Masyarakat 5.0", dan potensi "teknologi digital". Salah satu pilar utamanya adalah "Platform Merdeka Mengajar (PMM)", sebuah platform digital untuk guru belajar dan berbagi.
Secara konsep, ini brilian. Fleksibel, fokus pada esensi, dan adaptif.
Masalahnya, seperti opini saya, pemerintah terlalu serampangan dalam implementasinya.
Bagaimana mungkin kita memaksakan sebuah kurikulum yang sangat bergantung pada platform digital, ketika pemerintah tahu persis masih banyak wilayah yang "blank spot"? Bagaimana guru di pedalaman Papua atau di pulau kecil di Sulawesi mau mengakses PMM, jika, mengutip Setneg.go.id, mereka masih terkendala "jaringan internet" dan "listrik"?
Ironisnya, Kajian Akademik itu sendiri mengakui bahwa salah satu tantangan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemi adalah "keterbatasan akses internet, perangkat digital serta kapasitas baik guru, orang tua, maupun peserta didik".
Pemerintah tahu ada masalah ini, tapi tetap memaksakan solusi yang berbasis teknologi secara merata. Inilah yang saya sebut serampangan. Implementasi yang dipaksakan ini hanya akan menciptakan kesenjangan baru: "sekolah kaya" yang makin melesat, dan "sekolah miskin" yang makin tertinggal karena bingung dengan teknologi yang tidak mereka miliki.
Yang Lelah (Lagi-Lagi) Guru dan Murid
Pada akhirnya, korban dari tradisi "ganti baju" ini selalu sama: guru dan murid.
Guru lagi-lagi jadi ujung tombak yang paling pusing. Baru saja mulai paham K-13, sekarang harus belajar lagi terminologi baru di Kurikulum Merdeka. Waktu mereka habis untuk adaptasi dan memenuhi tuntutan administrasi baru.
Bahkan, Kajian Akademik mengakui dalam evaluasi awalnya, "sebagian guru mengalami kebingungan" dan masih terjebak paradigma lama. Ini adalah bukti nyata kerancuan itu terjadi di lapangan. Murid? Kita hanya jadi "kelinci percobaan" abadi dari setiap eksperimen kebijakan baru.
Jadi, kapan pendidikan kita majunya?
Opini saya, masalahnya bukan pada nama kurikulumnya. Kurikulum Merdeka, dengan prinsip fleksibilitasnya, mungkin adalah konsep terbaik yang kita punya. Tapi, konsep hebat akan gagal jika implementasinya buta pada realitas.
Berhentilah ganti-ganti kurikulum. Fokuskan anggaran dan energi untuk menyelesaikan masalah fundamental yang selalu terlupakan: pemerataan fasilitas, selesaikan masalah kekurangan guru, dan tingkatkan kesejahteraan pengajar.
Selama akar masalah itu tidak disentuh, dan kita masih hobi "bongkar pasang" sistem tiap 5 tahun sekali, pertanyaan "pendidikan kita kapan majunya?" cuma akan jadi lelucon abadi. Kapan kita berhenti ganti 'baju' dan mulai mengobati 'badannya'?
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Merespons Anak yang Malas Sekolah Tanpa Marah, Mama Ini Beri Reaksi Cerdas
-
Pandji Pragiwaksono Lulusan Apa? Minta Maaf Imbas Candaan Singgung Adat Toraja
-
Kecurangan Pelaksanaan TKA 2025: Cermin Buram Rapuhnya Nilai Integritas?
-
Beda Latar Belakang Pendidikan Raisa Vs Sabrina Alatas, Hamish Daud Terpikat Wanita Cerdas?
-
Selamatkan Bumi dari Sekolah: 5 Alasan Pendidikan Lingkungan Harus Dimulai dari Kebiasaan Jajan
Kolom
-
Ilmu Perempuan Tak Berhenti di Dirinya, tapi Hidup di Generasi Setelahnya!
-
Bangga! Omara Esteghlal muncul di 'Romantics Anonymous' Bareng Bintang Asia
-
Guru yang Menjadi Cermin: Keteladanan yang Membangun Karakter Siswa
-
Terjebak dalam Kritik Diri, Saat Pikiran Jadi Lawan Terberat
-
Takut Dinilai Buruk, Penjara Tak Terlihat di Era Media Sosial
Terkini
-
Sebut Fuji seperti Terpenjara, Rachel Vennya Ungkap Fakta Mengejutkan!
-
Warkop DKI Reborn 5 Segera Diproduksi, Siapa Pemeran Dono Kasino Indro?
-
Gak Usah Bingung, 5 Sling Bag Cewek Ini Bikin Tampilanmu Auto Stylish
-
Registrasi Ulang BPJS Dimulai dan Tunggakan Dihapus, Apa Artinya untuk Kita?
-
4 Krim Oil-Control yang Ampuh Kurangi Sebum Berlebih dan Kilap di Wajah