Hayuning Ratri Hapsari | Alikta Hasnah Safitri
Siswa berpose salam literasi (dok pribadi)
Alikta Hasnah Safitri

Sejak tahun 2019, perjalanan saya sebagai guru dimulai. Dalam prosesnya, saya mengamati berbagai perubahan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam hal pergantian kurikulum. Pada tahun pertama saya menjalani peran sebagai guru, saya masih menggunakan kurikulum 2013 yang telah direvisi. Pembelajaran yang saya lakukan berpedoman pada kurikulum ini berfokus pada pembelajaran dengan pendekatan saintifik, pembelajaran berbasis proyek, dan penilaian autentik.

Tak lama berselang, pandemi Covid-19 melanda. Dunia pendidikan harus beradaptasi dengan cepat, karena pembelajaran di berbagai daerah terpaksa diselenggarakan secara daring maupun tatap muka terbatas. Pemerintah memperkenalkan Kurikulum Darurat sebagai penyederhanaan dari Kurikulum 2013. Sebagai guru, saya diberikan keleluasaan untuk mengurangi beban belajar siswa dengan menyusun kompetensi esensial yang sesuai dengan target pembelajaran.

Perubahan berikutnya terjadi pada tahun 2022 saat program Merdeka Belajar secara resmi memperkenalkan Kurikulum Merdeka. Saat itu, penerapan kurikulum ini sifatnya opsional. Sekolah masih diberi pilihan untuk menerapkan kurikulum sebelumnya atau Kurikulum Merdeka. Kemudian, pada tahun 2024, Kurikulum Merdeka resmi ditetapkan sebagai kurikulum nasional, serta penerapannya dilakukan bertahap di seluruh satuan pendidikan, termasuk sekolah tempat saya mengajar.

Perjalanan belum usai, sebab tahun 2025 pemerintah melakukan penyegaran pada Kurikulum Merdeka dengan pendekatan pembelajaran mendalam, penguatan delapan dimensi profil lulusan, kegiatan kokurikuler sebagai pengganti Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), dan adanya mata pelajaran Coding dan Artificial Intelligence (AI) sebagai mata pelajaran pilihan.

Tak pelak, berbagai macam pelatihan diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG) baik di tingkat gugus, kecamatan, sampai kabupaten agar guru segera beradaptasi dengan berbagai perubahan kurikulum. Saya pun termasuk dari guru-guru yang kerap mengikuti berbagai macam diklat, bimtek, dan workshop terkait.

Lantas, tentu jadi pertanyaan: apa sebenarnya kurikulum dan mengapa ia perlu berubah? Sebenarnya, kata kurikulum sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan bukan berasal sebagai terminologi yang dipakai dalam dunia pendidikan. Akar katanya berasal dari bahasa latin curere yang memiliki arti “lintasan lari”. Seperti yang kita tahu, dalam lomba lari, terdapat garis “start” untuk menunjukkan tempat mulai berlari dan “finish” yang menunjukkan tempat mengakhiri perlombaan.

Kata ini kemudian diadopsi dalam dunia pendidikan sebagai kurikulum. Sehingga, secara sederhana, kurikulum bisa dimaknai sebagai sebuah jalur lintasan belajar yang memiliki awal, proses, dan tujuan akhir yang ingin dicapai. Hal ini sejalan dengan  UU Sisdiknas tahun 2023 yang memaparkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran, dan metode pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Pada dasarnya, dunia pendidikan adalah dunia yang dinamis. Sebagaimana ilmu pengetahuan selalu berkembang, perubahan kurikulum pun adalah keniscayaan yang tak terelakkan sebagai respon kebutuhan siswa dan karakteristik belajarnya, penyelarasan kurikulum dengan perkembangan zaman, serta sebagai bentuk evaluasi sistem pendidikan kita.

Dalam sudut pandang ini, perubahan kurikulum tak hanya perubahan istilah dan perombakan dokumen. Guru pun dituntut untuk segera beradaptasi dengan perubahan itu, sebab guru memiliki peran penting untuk memastikan bahwa tujuan pendidikan tercapai meski jalur dan aturan kerap kali berubah.

Di tengah ruwetnya proses perubahan kurikulum, ada satu tantangan yang dihadapi guru dalam proses adaptasi tersebut, yakni cara kita sebagai guru dalam memaknai dan melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas. Sebab, terkadang, meski kurikulum telah diperbarui, kita masih terjebak dalam praktik pembelajaran yang tak sejalan dengan semangat perubahan yang diusung. Thomas Armstrong, Ph.D, seorang pakar pendidikan yang mendalami Multiple Intelligence menyebutnya sebagai penyakit disteachia. Dalam buku “Sekolahnya Manusia”, Munif Chatib menjelaskan tiga penyakit disteachia yang mengandung tiga T, yakni: Teacher Talking Time, Task Analysis, dan Tracking.

Teacher talking time adalah sebuah anggapan bahwa guru mengajar dan siswa belajar adalah satu proses yang berjalan bersamaan. Jadi, kerapkali kita terjebak dalam pandangan untuk mengalokasikan sebagian besar waktu mengajar dengan ceramah untuk didengar oleh siswa. Tak jarang, kita jumpai siswa mengobrol dengan temannya atau melamun. Namun anehnya, kita merasa telah menyelesaikan kewajiban kita sebagai pengajar.

Task Analysis adalah pola pemberian materi ajar tanpa melalui penjelasan kegunaan materi dalam kehidupan sehar-hari. Padahal, pemberian global analysis dalam tiap materi pelajaran amat penting, sehingga siswa dapat memahami manfaat dan inspirasi dari materi ajar yang disampaikan.

Tracking adalah pengelompokkan siswa ke dalam beberapa kelas berdasar kemampuan kognitifnya, akibatnya akan muncul atmosfer kelas dan iklim kompetetif yang tidak kondusif.

Sebagai guru yang menjadi garda terdepan dalam mengawal perubahan kurikulum, sudah selayaknya kita bersedia terus belajar dan mengasah kesadaran diri agar terhindar dari penyakit disteachia. Mengurangi teacher talking time, artinya memberikan kesempatan pada siswa untuk berkreasi, kritis, dan didengar suaranya. Menghindari task analysis artinya menjadikan pembelajaran bermakna dan terkait dengan dunia nyata. Menghilangkan tracking, artinya menghapus diskriminasi dan memberikan penghargaan pada keunikan setiap diri siswa.

Menjadi guru yang mengawal perubahan kurikulum bagi saya, bukan hanya memahami perubahan dokumen kurikulum atau kesediaan mengikuti ragam pelatihan, tetapi juga menumbuhkan semangat transformatif. Perubahan kurikulum adalah ruang bagi guru untuk tumbuh dan menghadirkan pendidikan yang memanusiakan manusia: pendidikan yang melatih kemampuan berpikir kritis, membangun keteguhan prinsip, serta mengembangkan empati dan integritas. Sebagaimana yang disampaikan Tan Malaka tentang tujuan pendidikan, “... untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.”

Baca Juga