Lintang Siltya Utami | Davina Aulia
Ilustrasi transaksi pedagang dan pembeli di Pasar (Unsplash.com/Falaq Lazuardi)
Davina Aulia

Harga sembako kembali naik. Tidak ada sirene, tidak ada pengumuman resmi yang mencolok. Kenaikan itu hadir tiba-tiba, baru terasa ketika uang belanja tak lagi cukup seperti biasanya. Bagi banyak orang, situasi ini dipahami sebagai bagian dari dinamika ekonomi. Harga memang naik, pasar memang berubah. Setelah mengeluh sebentar, kehidupan berjalan seperti biasa. Hampir tidak ada yang berhenti sejenak untuk bertanya, mengapa kenaikan itu terjadi dan siapa yang menentukan arahnya.

Dalam keseharian, persoalan seperti harga beras, minyak goreng, atau gula sering dianggap sebagai urusan dapur dan dompet semata. Itu ditempatkan sebagai masalah praktis, bukan persoalan politik.

Padahal, di balik angka yang tertera di etalase toko, terdapat rangkaian keputusan yang tidak lahir secara alamiah. Kebijakan impor, subsidi, distribusi, hingga prioritas anggaran negara turut menentukan apakah harga bahan pokok stabil atau justru melonjak. Namun relasi ini jarang disadari karena politik kerap dipahami sebagai sesuatu yang abstrak dan jauh dari kehidupan nyata.

Hal serupa terjadi pada jam kerja. Banyak pekerja menjalani rutinitas panjang tanpa benar-benar mempertanyakan mengapa waktu kerja diatur sedemikian rupa, mengapa upah sering kali terasa tidak sebanding dengan beban kerja, atau mengapa waktu istirahat terasa semakin sempit.

Semua itu diterima sebagai konsekuensi dunia kerja modern. Padahal, aturan tentang jam kerja, upah minimum, cuti, dan perlindungan tenaga kerja adalah produk keputusan politik. Ia dirumuskan melalui regulasi dan kebijakan yang dampaknya langsung dirasakan oleh jutaan orang setiap hari.

Keputusan politik bekerja dengan cara yang sunyi. Tidak selalu hadir dalam bentuk perdebatan panas atau konflik terbuka, melainkan lebih sering hadir dalam bentuk kebiasaan yang dinormalisasi. Mulai dari harga yang pelan-pelan naik, jam kerja yang semakin padat, atau layanan publik yang semakin terbatas. Karena dampaknya hadir bertahap, banyak orang tidak mengaitkannya dengan proses politik yang melatarbelakanginya.

Di titik inilah jarak antara politik dan kehidupan sehari-hari terbentuk. Politik dianggap milik elit, sementara masyarakat merasa berada di posisi sebagai penerima pasif. Ketika kebijakan terasa rumit dan penuh jargon, wajar jika banyak orang memilih untuk tidak peduli. Apatisme muncul bukan karena kurangnya kepedulian terhadap hidup sendiri, melainkan karena politik tidak pernah diperkenalkan sebagai sesuatu yang dekat dan relevan.

Namun, ketidakpedulian tidak membuat seseorang bebas dari dampak politik. Keputusan tetap diambil, kebijakan tetap dijalankan, dan konsekuensinya tetap dirasakan. Ketika masyarakat tidak terlibat secara sadar, ruang pengambilan keputusan menjadi semakin sempit dan jauh dari pengalaman nyata kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi ini, diam bukanlah solusi, melainkan bentuk penerimaan tanpa tawar-menawar.

Melek terhadap politik tidak harus berarti terjun ke arena kekuasaan atau terlibat dalam konflik ideologis. Kesadaran politik dapat dimulai dari hal paling dasar, yaitu dengan menyadari bahwa pengalaman personal tidak berdiri sendiri. Bahwa kesulitan memenuhi kebutuhan, tekanan kerja, dan keterbatasan akses layanan publik memiliki akar struktural yang lebih luas. Dari kesadaran inilah muncul ruang untuk bertanya, memahami, dan secara perlahan mengkritisi. 

Mengkritisi keputusan politik juga tidak identik dengan sikap bermusuhan. Kritik adalah bagian dari upaya menjaga agar kebijakan tetap berpijak pada realitas sosial. Tanpa kritik, keputusan politik berisiko menjauh dari kebutuhan masyarakat yang seharusnya menjadi titik tolak utama. Dalam jangka panjang, absennya kesadaran dan kritik justru memperlemah posisi masyarakat itu sendiri.

Pada akhirnya, dari harga beras yang terus berubah hingga jam kerja yang mengatur ritme hidup, hampir tidak ada aspek kehidupan yang benar-benar lepas dari keputusan politik. Politik bukan sekadar urusan kekuasaan, melainkan mekanisme yang membentuk bagaimana manusia hidup, bekerja, dan bertahan. Menyadari hal ini bukan soal memilih pihak, tetapi soal memahami bahwa kehidupan sehari-hari selalu bersinggungan dengan keputusan yang dibuat atas nama publik.