M. Reza Sulaiman | Budi Prathama
Foto udara Sejumlah warga korban bencana yang terisolir melintasi Daerah Aliran Sungai (DAS) lewat jembatan tali darurat penghubung dari Desa Bergang Kecamatan Ketol, Aceh Tengah dan Desa Simpang Rahmat, Gajah Putih, Bener Meriah, Aceh, Minggu (14/12/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nz]
Budi Prathama

Setiap kali ada daerah yang kena hantam bencana, entah itu banjir bandang seperti di Sumatra atau tanah longsor di tempat lain, pola yang muncul selalu sama. Isinya cuma dua: kabar duka di grup WhatsApp keluarga dan imbauan dari otoritas agar kita “tetap percaya”.

Kita diminta percaya pada alam yang katanya lagi "marah" (padahal, ya, kita yang merusak), percaya pada sistem mitigasi yang katanya canggih (padahal praktiknya ambyar), dan tentu saja, percaya pada negara yang katanya "hadir".

Masalahnya, kepercayaan itu bukan seperti token listrik yang kalau habis tinggal isi ulang. Percaya itu lebih mirip hubungan asmara yang dikhianati berkali-kali: mau balikan tapi trauma, mau pergi tapi tidak punya pilihan.

Bencana yang rajin mampir ke Indonesia ini sebenarnya bukan sekadar musibah takdir. Ini adalah pengingat kasar bahwa ada yang busuk dalam cara kita mengurus bumi. Rakusnya eksploitasi lahan belum ada obatnya, tata kelola lingkungan cuma jadi pelengkap dokumen AMDAL yang bisa disuap, dan ketidakadilan ekologis tetap konsisten terjadi.

Namun, di tengah semua kebobrokan itu, pemerintah dengan santainya meminta rakyat melakukan hal yang paling mustahil: saling percaya dan tetap tenang.

Mari kita berbicara jujur. Tanpa kepercayaan, istilah "gotong royong" itu cuma jadi jargon basi di buku teks sekolah atau sekadar pemanis pidato kenegaraan. Virginia Held pernah bilang kalau kerja sama itu cuma bisa tegak kalau ada kepercayaan timbal balik.

Namun, bagaimana mau timbal balik kalau yang satu benar-benar kerja, yang satu lagi cuma sibuk membuat konten? Percaya itu artinya kita berani menitipkan nasib ke pihak lain. Dan di negeri ini, menitipkan nasib ke sistem itu sering kali berakhir jadi kekecewaan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Maka jangan heran kalau slogan “warga bantu warga” itu selalu lebih kencang daripada bantuan dinas terkait. Itu bukan sekadar romantis-romantisan kemanusiaan agar kelihatan kompak. Itu adalah bentuk mosi tidak percaya yang nyata. Rakyat sadar betul kalau bantuan yang tulus itu datangnya dari tetangga sebelah, bukan dari pejabat yang baru muncul setelah tenda pengungsiannya jadi dan lighting-nya pas buat masuk berita malam.

Bantuan rakyat itu cepat karena didorong rasa lapar, bantuan birokrasi itu lambat karena harus menunggu disposisi dan tanda tangan basah.

Kepercayaan yang matang itu lahir dari pikiran yang dewasa, bukan kepasrahan yang buta. Namun, di lapangan, yang kita lihat malah sebaliknya. Para pengungsi dipaksa bertahan di tenda-tenda yang fasilitasnya lebih buruk daripada kandang ternak. Air bersih susah, makanan ala kadarnya, dan trauma mental anak-anak cuma diobati pakai acara trauma healing sekali jalan yang isinya cuma bernyanyi-nyanyi tidak jelas. Di tengah situasi segetir itu, menyuruh orang buat "percaya" adalah bentuk penghinaan logika yang paling nyata.

Lalu, di mana para pemegang kebijakan? Mereka hadir, tentu saja. Namun, sering kali kehadirannya terasa seperti pertunjukan sirkus simbolik. Datang memakai seragam rapi, dikawal ajudan, foto sambil memberi mi instan, melontarkan kalimat-kalimat normatif yang isinya "sabar dan tawakal", lalu pulang naik mobil yang harga bannya saja bisa buat makan satu kecamatan sebulan. Ada juga yang lebih parah: menjadikan lokasi bencana sebagai panggung kampanye terselubung.

Dari sini, wajar kalau publik mulai bertanya: "Memangnya kalian ini siapa sampai kami harus percaya?"

Di sinilah ironinya. Negara yang seharusnya jadi pelindung, malah sering jadi kontributor utama bencana melalui izin tambang yang ugal-ugalan dan tata ruang yang berantakan. Kepercayaan publik bukan tergerus lagi, melainkan sudah amblas.

Akhirnya, "ketangguhan" rakyat yang selama ini dipuji-puji pemerintah sebenarnya adalah bentuk kemandirian yang terpaksa. Kita tangguh karena kita tahu kalau kita tidak bisa berharap banyak kepada kalian.

Pada akhirnya, bencana itu seperti cermin besar yang dilarang buat diedit pakai filter. Ia memperlihatkan borok sistem kita dengan sangat jelas. Kepercayaan publik tidak akan bisa sembuh cuma pakai gimmick bagi-bagi sembako atau retorika manis di media sosial.

Kepercayaan itu seperti kaca: sekali kamu pecahkan pakai kebijakan yang tidak pro-rakyat, bekas retakannya bakal selalu diingat. Dan saat ini, rakyat sudah terlalu pintar untuk sekadar dibohongi pakai janji-janji manis di atas puing-puing penderitaan.