Lintang Siltya Utami | Budi Prathama
Ilustrasi sampah. (Pixabay.com/@RitaE)
Budi Prathama

Di Ciputat, pagi hari kadang tidak perlu alarm. Bau sampah sudah cukup jadi penanda waktu. Ia menyelinap dari sudut jalan, menabrak hidung sebelum mata benar-benar terbuka. Plastik, sisa makanan, dan limbah rumah tangga bertumpuk seperti monumen kecil kegagalan tata kelola. Warga melintas sambil menutup hidung, seolah itu ritual wajib: cuci muka, gosok gigi, lalu kompromi dengan bau.

Aneh memang. Sampah menumpuk, tapi yang diminta selalu warga untuk “memaklumi”. Tidak marah, tidak ribut, apalagi protes keras. Karena katanya, semua sedang diusahakan. Entah di mana, entah oleh siapa. Yang jelas, sampah tetap ada. Konsisten. Lebih konsisten dari jadwal pengangkutan.

Sejak TPA Cipeucang ditutup, urusan sampah berubah jadi teka-teki publik. Sampah rumah tangga tetap diproduksi tiap hari—karena manusia belum bisa hidup dari udara bersih dan niat baik saja—tapi jalur pembuangannya limbung. Di level warga, mereka tidak sedang membahas skema kebijakan atau peta darurat persampahan. Yang mereka tahu sederhana: sampah di depan rumah makin lama tinggalnya, baunya makin matang.

Lucunya, kita sering menganggap sampah cuma urusan visual dan kebersihan. Seolah dampaknya berhenti di hidung dan mata. Padahal, ia juga punya efek samping ke kepala. Lingkungan yang kotor membuat rumah kehilangan statusnya sebagai tempat pulang. Teras tak lagi nyaman, jendela jarang dibuka, dan jalan depan rumah berubah jadi pengingat harian bahwa ada yang salah, tapi sepertinya bukan prioritas.

Sampah yang dibiarkan berhari-hari menumbuhkan satu perasaan khas: tidak berdaya. Warga mengeluh, lalu lelah. Mengeluh lagi, lalu makin lelah. Sampai akhirnya, berhenti berharap. Bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu sering dikecewakan. Di titik ini, kepasrahan bukan pilihan filosofis, tapi mekanisme bertahan hidup.

Dampaknya jarang dramatis. Tidak ada pengumuman massal tentang krisis mental akibat sampah. Tapi gejalanya terasa: orang jadi mudah tersinggung, cepat emosi, dan enggan berlama-lama di rumah. Riset kesehatan lingkungan sudah lama bilang bahwa kondisi fisik lingkungan—termasuk soal kebersihan—berkaitan dengan kesejahteraan emosional masyarakat (Sukesi et al., 2023). Artinya, sampah tidak cuma bikin kotor, tapi juga bikin penat secara kolektif.

Sayangnya, setiap kali isu kesehatan mental dibahas, solusinya nyaris selalu diarahkan ke individu. Disuruh mengelola stres, disuruh berpikir positif, disuruh healing. Seolah bau sampah bisa dikalahkan dengan afirmasi diri. Seolah ketenangan batin bisa tumbuh subur di lingkungan yang setiap hari mengingatkan bahwa sistem sedang tidak bekerja.

Lingkungan tempat tinggal sering luput dari pembahasan kesehatan mental, padahal ia bekerja tanpa henti. Tidak ada cuti, tidak ada jam istirahat. Bau sampah tidak peduli kita sedang ingin tenang atau tidak. Ia hadir konsisten, seperti pengingat bahwa beban psikologis tidak selalu datang dari masalah besar, tapi dari ketidakberesan kecil yang terus diulang.

Sejumlah kajian kesehatan lingkungan menegaskan bahwa kualitas lingkungan fisik dan dukungan sosial ikut membentuk kesehatan mental masyarakat (Sukesi et al., 2023). Lingkungan buruk adalah stresor jangka panjang: pelan, stabil, dan sering kali tidak disadari. Sampah menjadi produsen tekanan mental yang efisien—murah, rutin, dan dampaknya kolektif.

Kasus sampah di Ciputat memperlihatkan satu ironi: masalahnya dianggap sepele, tapi dampaknya serius. Sampah dibiarkan, warga disuruh kuat. Lingkungan rusak, individu diminta beradaptasi. Padahal, tidak semua hal harus ditoleransi atas nama kesabaran.

Kalau pengelolaan sampah terus setengah hati, jangan heran kalau kejenuhan dan kelelahan emosional warga ikut menumpuk. Karena sebelum bicara soal kesehatan mental, mungkin ada satu langkah dasar yang perlu dibereskan lebih dulu: memastikan warga tidak harus menghirup bau kegagalan sistem setiap pagi.