Sekar Anindyah Lamase | Rahmah Nabilah Susilo
Ilustrasi Olahraga (Unsplash/Nathan Nuyda)
Rahmah Nabilah Susilo

Rasanya kalau belum nyobain pilates, padel, atau lari, kita takut dianggap “nggak gaul”, seolah hidup datang dengan daftar hobi yang harus dipenuhi agar terlihat relevan.

Di linimasa media sosial, tren hobi berubah secepat FYP berganti. Hari ini pilates jadi primadona, besok padel memenuhi story, lalu muncul lagi tren lari, merajut, cold plunge, bersepeda, hingga “healing trip” yang lebih sering diabadikan daripada dinikmati.

Di tengah arus tren yang cepat ini, banyak anak muda sebenarnya tidak benar-benar tertarik pada hobinya. Mereka hanya takut tertinggal atau ingin terlihat sesuai dengan standar sosial yang sedang populer.

Tidak sedikit yang mengikuti sebuah hobi bukan karena benar-benar suka, melainkan karena FOMO. Menurut halodoc, Fear of Missing Out (FOMO) merupakan fenomena psikologis yang semakin marak di kehidupan serba modern seperti sekarang. 

Kondisi ini menggambarkan ketakutan melewatkan momen, pengalaman, atau aktivitas yang sedang populer di lingkungan sekitar. 

Ketika timeline dipenuhi kegiatan yang sama, FOMO menimbulkan kecemasan halus: kalau tidak ikut, kita merasa kurang relevan atau berbeda sendiri dalam circle. 

Dorongan ini membuat orang mendadak mendaftar kelas pilates atau membeli perlengkapan padel, padahal belum tentu mereka benar-benar ingin menjalaninya.

Selain FOMO, pencitraan juga menjadi alasan kuat. Banyak anak muda yang mencoba hobi tertentu karena ingin terlihat keren, produktif, atau punya gaya hidup tertentu. 

Pilates memberi citra elegan dan sehat, padel memberi kesan aktif dan sporty, sementara cold plunge atau hiking menghadirkan aura disiplin dan “mental kuat”. 

Tanpa disadari, hobi menjadi alat branding diri. Yang dikejar bukan aktivitasnya, tetapi bagaimana aktivitas itu akan tampak ketika diunggah ke media sosial.

Akibatnya, banyak yang sebenarnya tidak menikmati hobinya. Ada yang bermain padel demi story yang terlihat enerjik, bukan karena olahraga itu menyenangkan. 

Ada pula yang ikut pilates karena ingin terlihat “wellness-oriented”, meski sebenarnya tidak nyaman di kelasnya. Hobi yang harusnya menjadi ruang personal, berubah menjadi panggung untuk menunjukkan versi diri yang ideal di mata orang lain.

Tak heran jika banyak hobi hanya bertahan selama tren itu viral. Setelah ramai mereda, matras pilates kembali menggulung di bawah ranjang, raket padel berdebu, dan peralatan hobi lainnya tersimpan di sudut kamar.

Bukan karena hobinya membosankan, tetapi karena sejak awal motivasinya bukan minat melainkan tekanan sosial dan kebutuhan validasi.

Meski begitu, fenomena ini tidak sepenuhnya buruk. Ada kalanya seseorang memulai dari sekadar ikut-ikutan lalu justru menemukan hobi yang benar-benar mereka sukai. 

Banyak yang awalnya mencoba pilates demi foto cantik, lalu merasakan manfaatnya. Ada juga yang ikut padel demi terlihat keren, tetapi akhirnya rutin bermain karena benar-benar jatuh cinta dengan olahraga itu. Eksplorasi tetap hal wajar, selama kita jujur pada diri sendiri.

Cara sederhana membedakan minat dan pencitraan adalah melihat apakah kita tetap ingin menjalani hobi tanpa kamera dan tanpa penonton. 

Jika tetap membuat kita senang, itu mungkin hobi sungguhan. Tetapi jika semangat itu hilang ketika tidak ada yang melihat, mungkin yang kita cari selama ini hanyalah validasi.

Pada akhirnya, tidak apa-apa mencoba tren. Yang penting, kita tidak kehilangan esensi bahwa hobi seharusnya memberi kenyamanan, bukan tekanan untuk selalu tampil relevan. Hobi yang paling jujur adalah yang tetap kita lakukan meski tidak ada yang melihat.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS