Hayuning Ratri Hapsari | Angelia Cipta RN
Tumbler Tuku (Instagram/tokoserbatuku)
Angelia Cipta RN

Pasca viral kasus tumbler ‘tuku’ seorang penumpang Kereta Api yang tertinggal beberapa hari ini hingga berakhir pemecatan seorang pegawai KAI atas keteledoran sang penumpang yang menjadi viral.

Banyak netizen yang menghakimi atas perbuatannya yang mana mereka mendukung sang pegawai KAI dan mengklaim itu kesalahan pribadi dan kecerobohan diri yang memberikan kerugian pada orang lain.

Tapi, siapa sangka obsesi botol minum cantik atau tumbler memang menjadi viral di media sosial bahkan hal ini disebut dengan hydration culture.

Budaya hidrasi atau hydration culture sedang menjadi tren besar, terutama di media sosial. Botol minum yang dulu hanya dianggap alat sederhana kini berubah menjadi ikon gaya hidup modern. Warna pastel, bentuk ergonomis, sedotan stainless, hingga edisi terbatas membuat tumbler menjadi objek yang diinginkan banyak orang.

Namun, fenomena ini bukan hanya soal minum air. Ada proses psikologis, tren digital, dan kebutuhan gaya hidup yang membentuk obsesi masyarakat terhadap botol minum yang estetik.

Untuk memahami fenomena ini, kita bisa melihatnya dari tiga sudut yakni dari sisi estetika yang memberi rasa nyaman, dorongan sosial media, dan perubahan gaya hidup yang lebih mindful.

Estetika dan Emosi, Tumbler Menjadi Sumber Small of Joy

Salah satu alasan utama tumbler estetik menjadi viral adalah kemampuannya memberikan sensasi menyenangkan. Warna-warna pastel seperti beige, sage green, lavender, atau dusty pink secara psikologis menenangkan dan memicu sedikit pelepasan dopamine, hormon yang menciptakan rasa puas.

Fenomena ini sering disebut sebagai dopamine aesthetics, yaitu kenyamanan visual yang muncul saat melihat benda-benda cantik yang rapi dan harmonis. Bentuk tumbler yang clean dan minimalis juga mencerminkan gaya hidup yang teratur.

Bagi kebanyakan orang, tumbler bukan hanya wadah minum, tetapi benda kecil yang membantu menghadirkan rasa kontrol di tengah kesibukan hidup.

Ketika meja kerja terasa berantakan atau tugas menumpuk, melihat tumbler estetik yang senada dengan alat tulis atau laptop bisa memberi efek menenangkan yang sulit dijelaskan.

Inilah yang mendasari mengapa banyak pengguna merasa lebih semangat bekerja atau belajar ketika menggunakan botol minum yang mereka anggap cantik, lucu dan nyaman dipakai.

Viral di Media Sosial dan Pembentukan Tren

Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial memainkan peran besar dalam membentuk budaya hidrasi ini. TikTok, Instagram, dan Pinterest dipenuhi konten bertema hidrasi seperti drink more water challenge, water tracking, atau desk setup yang selalu menampilkan tumbler estetik di samping laptop.

Algoritma platform digital sangat menyukai visual yang bersih dan simetris, sehingga foto atau video tumbler cepat sekali masuk ke For You Page jutaan pengguna. Influencer dan micro-influencer juga membantu memperkuat tren minuman ini.

Mereka membagikan unboxing, review, dan rekomendasi tumbler favorit yang katanya membuat mereka lebih rajin minum air atau lebih produktif. Meskipun kedengarannya sederhana, konten semacam ini menciptakan keinginan kolektif.

Lebih jauh lagi, pengguna yang merasa terinspirasi lalu mengunggah konten tumbler versi mereka sendiri, sehingga viralitasnya terus berulang. Budaya ini membentuk persepsi bahwa memiliki tumbler estetik adalah bagian dari identitas digital seseorang. Tidak hanya sehat, tetapi juga stylish dan mengikuti perkembangan tren.

Gaya Hidup Mindful dan Representasi Diri

Dengan semakin banyaknya kampanye kesehatan dan kesadaran diri, minum air kini dianggap sebagai bagian dari gaya hidup mindful upaya untuk menjalani hidup lebih sadar dan penuh perhatian.

Tumbler estetik menjadi simbol bahwa seseorang sedang berusaha hidup lebih sehat. Menggunakan tumbler juga terkait dengan nilai keberlanjutan, karena membantu mengurangi penggunaan botol plastik sekali pakai. Ini memberi rasa bangga tersendiri bagi pengguna yang ingin tampil sebagai individu yang peduli lingkungan.

Selain itu, tumbler berperan sebagai aksesori gaya hidup yang mempertegas identitas seseorang. Orang yang membawa tumbler besar 2 liter misalnya, ingin menunjukkan kedisiplinan. Sementara yang memilih tumbler kecil dan minimalis mungkin ingin menonjolkan gaya yang clean dan praktis.

Dalam budaya digital, benda sehari-hari seperti botol minum pun bisa menjadi bagian dari self-branding, yaitu cara seseorang membangun citra dirinya di mata publik. Tidak heran jika tumbler menjadi bagian dari rutinitas harian bukan sekadar kebutuhan kesehatan, tetapi juga ekspresi diri.

Hydration culture membuktikan bahwa kebiasaan sederhana seperti minum air dapat menjadi fenomena sosial yang lebih besar dari yang kita kira.

Tumbler estetik bekerja pada dua lapis kebutuhan manusia seperti kebutuhan fungsional untuk tetap terhidrasi, dan kebutuhan emosional untuk merasa nyaman, tertata, dan terhubung dengan tren. Apakah semua ini berlebihan? Tentu bisa diperdebatkan.

Namun jika botol minum cantik membuat seseorang lebih rajin minum, lebih senang menjalani hari, dan merasa hidupnya sedikit lebih rapi maka tidak ada salahnya mengikuti tren ini. Toh, air tetaplah air, dan hidrasi adalah kebutuhan dasar. Yang berubah hanyalah bagaimana cara kita merayakannya.