Titip absen. Kita mungkin sudah akrab dengan dua kata ini. Entah saat sekolah, kuliah, seminar, atau kegiatan lainnya. Alasannya beragam. Sebagian besar mungkin karena malas, ada juga yang mengantuk atau capek, tapi ada juga yang punya kegiatan lain di jam yang sama.
Fenomena ini tentu menggelitik kita. Dimana kejujuran masih menjadi kemewahan di dunia pendidikan. Masih banyak orang yang merasa kalau belajar hanya sekedar mengejar presensi. Bukan karena kebutuhan akan ilmu.
Bahkan, yang awalnya menentang keras titip absen, suatu saat juga terjebak atau terpaksa titip absen.
Bisa karena kondisi yang tidak memungkinkan atau bisa juga karena terseret arus pergulan. Hingga di waktu hening, tanpa sadar kita sudah banyak melakukan titi absen. Padahal sebelumnya sangat anti atau bahkan mengolok-ngolok mereka yang melakukannya.
Sama seperti kelas wajib di sekolah atau di bangku kuliah, kita wajib tidak wajib untuk selalu hadir. Dalam artian, kita diberi kesempatan untuk absen maksimal dalam jumlah tertentu karena berbagai alasan.
Bisa karena sakit, kondisi yang tidak memungkinkan, atau psikis yang terguncang. Alasan terakhir mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang. Namun sama seperti sakit fisik, mental kita pun juga bisa sakit.
Oleh karenanya normal dan lumrah untuk mengambil jeda sesaat untuk menyembuhkan diri. Misalnya saat kehilangan atau pukulan besar dalam hidup terjadi.
Karena mau masuk kelas pun pasti pikiran nggak bakal konsen kan?
Selain itu, seiring waktu, kita tahu kalau nggak cuma anak kecil dan anak muda yang duduk di kelas. Namun ada juga mahasiswa S2 atau S3 yang mungkin sudah memiliki kehidupan yang kompleks.
Di usia ini tentu "hadir" 100% menjadi semakin sulit. Karenanya, tidak semua mahasiswa itu mereka yang berusia gen Z.
Namun di sisi berseberangan, titip absen masih menjadi PR besar bagi guru dan dosen. Karena seharusnya murid dan mahasiswa punya kesadaran penuh untuk belajar. Seharusnya mereka menganggap ilmu sebagai kebutuhan, bukan sekadar kewajiban atau formalitas belaka.
Di era digital dan pergaulan yang semakin sulit dikontrol, pendekatan bagi masing-masing individu untuk lebih menghargai waktu dan ilmu memang dibutuhkan. Sehingga bisa menekan angka titip absen yang sudah menjadi budaya sejak lama.
Baca Juga
-
Bukan Cuma Guru Honorer, Freelancer Nyatanya Juga Tak Kalah Ngenes
-
Dijadwalkan 2026, Pernikahan Azriel Hermansyah dan Sarah Menzel Usung Konsep Tiga Budaya
-
Ulasan Film The Shadow's Edge: Pertarungan 2 Aktor Veteran di Kejahatan Cyber
-
Chat Makin Seru dan Gaul, Cara Bikin Stiker WhatsApp Bergerak dari Video
-
Realistis! Cinta yang Tak Selalu Manis di Drama China Exclusive Fairytale
Artikel Terkait
-
Kamu Salah Jurusan? Ini Rahasia Roy Nugroho yang Bikin Kamu Tetap Cumlaude
-
Biaya Hidup Melonjak, Mengapa Bantuan Living Cost Penting bagi Mahasiswa di Yogyakarta?
-
Ketua Komisi X Minta Guru Honorer Senior Dapat Akses Prioritas dalam Proses Penataan
-
Pendidikan adalah Tanggung Jawab Bersama, Bukan Hanya Milik Guru
-
Serba-serbi Momen Hari Guru: Disentil Netizen sebagai Hari Wali Kelas
Kolom
-
Menghilang Demi Waras: Fenomena Anak Muda di Tengah Riuhnya Dunia Modern
-
Mengenal Fenomena Pink Tax: Kenapa Produk Perempuan Selalu Lebih Mahal?
-
Mengenal Fenomena Pink Tax: Kenapa Produk Perempuan Selalu Lebih Mahal?
-
Keadilan atau Intervensi? Prerogatif Presiden dalam Kasus Korupsi ASDP
-
Bom di Sekolah, Game Jadi Sasaran: Ketika Kebijakan Pemerintah Salah Fokus
Terkini
-
Inara Rusli Ternyata Pernah Ngaku Bersedia Dipoligami: Iya, Mau Dapat yang Gimana Lagi
-
Tambah 4 Pemain Diaspora, Harusnya PSSI Berani Revisi Target SEA Games 2025
-
Ada Mauro Zijlstra, Intip Skuad Final Timnas Indonesia untuk SEA Games 2025
-
Kimetsu no Yaiba: Infinity Castle Tembus Nominasi Astra Film Awards 2025
-
Arkhan Fikri Dicoret, Harapan Kolaborasikan Trio Gelandang Maut di SEA Games Urung Terlaksana